Aksi unjuk rasa menuntut penegakan hukum
terhadap Gubernur DKI Jakarta non aktif Basuki Tjahaja Purnama (alias Ahok)
atas dugaan penistaan agama berlangsung damai. Tidak salah jika peserta unjuk
rasa menyebut sebagai aksi super-damai. Terbukti, sejak pagi hingga siang,
peserta unjuk rasa dengan tertib mendatangi lapangan Monumen Nasional (Monas),
menggelar salat Jumat berjamaah, lalu pulang. Semua berjalan tertib.
Harapan pengujuk rasa yang meminta Presiden
Joko Widodo (Jokowi) untuk menemui mereka terpenuhi. Presiden Jokowi yang
bergabung dalam jamaah untuk melakukan salat Jumat memberi kepuasan bagi
pengunjuk rasa. Tak hanya presiden, wakil presiden Jusuf Kalla dan beberapa
menteri seperti Menkopolhukam, Wiranto, Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin
pun turut menemui masa yang datang dari berbagai daerah.
Ada banyak cerita tersisa dari aksi yang
dinamakan 212 (merujuk tanggal aksi=2 Desember) tersebut, salah satunya adalah
penangkapan beberapa tokoh masyarakat oleh Polri karena dianggap akan melakukan
makar pada saat unjuk rasa. Tokoh-tokoh yang sering didengar publik seperti
Kivlan Zein, Ahmad Dhani, Ratna Sarumpaet, Sri Bintang Pamungkas, Adityawarman
Thaha, Firza Huzein, Rachmawati Soekarnoputri secara mengejutkan ditangkap
karena diduga makar. Polri menganggap mereka akan mengarahkan masa menuju
DPR/MPR dan mendesak parlemen menggelar Sidang Istimewa (SI) mencabut mandat
Presiden Jokowi.
Lalu, apa sebenarnya “makar” itu? Kamus Besar
Bahasa Indonesia (2010) mendefinisikan makar sebagai “perbuatan (usaha) dengan
maksud hendak menyerang (membunuh) orang, juga perbuatan (usaha) menjatuhkan
pemerintah yang sah”. Anshari (2012) menjelaskan makar sebagai tindakan
pengkhianatan terhadap negara dan bangsa. Penjelasan tersebut di atas
menunjukkan kata makar bermakna negatif.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) pada
pasal 107-109, membagi makar dalam tiga ketegori, yaitu makar terhadap keselamatan
presiden dan wakilnya; terhadap wilayah negara; serta pemerintahan. KUHAP juga
mengatur hukuman yang cukup berat bagi pelaku makar, lima belas tahun penjara
hingga seumur hidup.
Kasus dugaan makar kemarin bukan kali pertama
terjadi. Sejarah Indonesia mencatat beberapa contoh kasus makar. Anshari
mengemukakan peristiwa yang dapat dibilang makar dan terjadi di Indonesia
antara lain makar yang dituduhkan kepada Sultan Hamid II pada April 1950;
pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM); serta Operasi Papua Merdeka (OPM).
Baik Sultan dan organisasi tersebut, berupaya merebut kekuasaan sah Republik
Indonesia.
Isu akan adanya makar pada pemerintahan
Susilo Bambang Yudhoyono 2004-2014 juga beberapa kali senter dibicarakan karena
ketidakpuasan sebagian masyarakat atas kinerja SBY. Tetapi, isu itu tak pernah
terealisir karena hingga pemerintahan SBY berakhir, tidak ada gejolak politik
yang berujung makar. Beberapa dugaan makar tersebut membuktikan bahwa isu makar
dengan penggulingan kekuasaan selalu menghantui pemerintahan sah yang sedang
berjalan.
Jika benar akan melakukan makar, tentu ada
alasan kuat dari tokoh tersebut di atas. Persoalan kebangsaan yang terus
mendera seperti kemiskinan, lemahnya penegakan hukum dan HAM, mungkin bisa
menjadi alasan. Beberapa kebijakan pemerintah yang tidak menunjukkan
keberpihakan kepada rakyat juga menjadi alasan para tokoh untuk melakukan
makar.
Isu makar dan penangkapan sejumlah tokoh
terduga makar yang mengiringi aksi unjuk rasa 212 seketika saja menjadi buah
bibir masyarakat. Majalah Tempo edisi 5 Desember 2016 merilis hasil jajak
pendapat terhadap isu makar ini. Dari total 8.717 responden, 4.210 orang
menyatakan tidak membercayai jika demo 212 disusupi upaya makar, 2.931 orang
menyatakan percaya dan 1.576 orang menyatakan tidak tahu.
Jauh hari sebelum aksi 212, pernyataan
Kapolri Jenderal Tito Karnavian perihal adanya rencana makar beberapa kali
disampaikan. Meski demikian ada beberapa pihak yang memandang penyataan itu
sebelah mata, tak ditanggapi serius. Meski unjuk rasa melibatkan ratusan ribu
bahkan jutaan orang, tetapi para tokoh pemimpin ujuk rasa menegaskan jika unjuk
rasa tidak ada kaitannya dengan makar.
Pengalaman dibeberapa negara menunjukkan
bahwa makar selalu melibatkan kekuatan militer. Ini bisa dilihat dari kasus
Mohamad Mursi yang menjabat Presiden Mesir pada 2012. Ia menggantikan presiden
sebelumnya yang menjabat cukup lama, Hosni Mubarok secara demokratis. Pada Juni
2012, Mursi secara sah ditetapkan sebagai pemenang Pemilu Mesir mengalahkan
Ahmad Shafiq. Tetapi dalam perjalananya, ia digulingkan oleh Jenderal Abdul
Fatah al-Sisi. Belakangan, Mursi justru dijebloskan di penjara dengan dugaan
makar. Peristiwa kudeta yang dilakukan oleh Al-Sisi terhadap Mursi seringkali
disebut sebagai makar.
Merebaknya isu makar dan berujung penangkapan
tokoh-tokoh terduga makar menjadi pelajaran penting bagi Indonesia. Penangkapan
beberapa tokoh terduga makar tersebut menunjukkan pemerintah sangat responsif
terhadap isu makar. Secara hukum ini tidak salah karena bagaimanapun juga
kesatuan bangsa dan keselamatan presiden sebagai kepala negara telah diatur
dalam undang-undang. Polri secara sigap mengidentifikasi dan mendeteksi rencana
makar tersebut.
Ditinjau dari perspektif kekuasaan, negara
juga disahkan melakukan penangkapan terhadap rakyatnya yang hendak mengacaukan
keadaan dengan membuat makar. Negara punya kuasa untuk menundukkan pihak-pihak
yang tidak sejalan dengan cita-cita bangsa. Bahkan, dengan cara memaksa, negara
dibenarkan untuk melawan kejahatan. Rebertus Robets-Todung Mulya Lubis dkk
(2016) mengisahkan bagaimana sebuah negara memberi hukuman mati bagi rakyat
yang memberontak, tidak tunduk pada negara.
Mungkin bagi sebagian kalangan penangkapan
ini terkesan “lucu” karena tokoh-tokoh masyarakat yang ditangkap tersebut tidak
memiliki basis massa yang kuat dan banyak. Bahkan, tokoh-tokoh tersebut kerap
membuat pernyataan kontroversi, sehingga citranya tidak terlalu bagus dimata
masyarakat.
Beberapa safari Presiden Jokowi menemui
beberapa ulama seperti Said Aqil Siraj (PBNU) dan Haidar Nasir (PP
Muhammadiyah), berkunjung ke markas TNI-Polri, hingga konsolidasi dengan para
ketua umum partai politik, sebetulnya cukup menjadi pesan bahwa makar tidak
mungkin terjadi. Kekuatan politik Presiden telah terkonsolidasi secara mantab.
Dukungan di parlemen (DPR) dari yang semula minoritas, kini menjadi mayoritas
setelah bergabungnya parpol baru pendukung, PAN dan Golkar. Secara
kelembagaaan, Presiden mendapat dukungan kuat di DPR.
Penangkapan tokoh-tokoh yang diduga makar
tersebut merupakan suatu tindakan fobia (phobia=sikap takut yang berlebihan)
terhadap isu yang berkembang. Tindakan pengangkapan yang dilakukan Polri
dianggap berlebihan. Namun, penulis juga menyadari bahwa tindakan itu bisa juga
dianggap sebagai tindakan antisipatif pemerintah. Ini tergantung bagaimana kita
memaknai langkah Polri menangkap para tokoh tersebut.
Menjaga Persatuan Bangsa
Di tengah persiapan Pilkada serentak 2017,
kita menyadari memanasnya situasi politik akibat pilihan yang berbeda-beda di
masyarakat. Sulit rasanya memisahkan unjuk rasa 212 dengan kepentingan politis
menjelang Pilkada DKI Jakarta karena yang menjadi tuntutan para pengunjuk rasa
adalah memenjarakan salah satu calon di Pilgub, Ahok, atas dugaan penistaan
agama. Dalam situasi Pilkada yang sedemikian, sepantasnya masyarakat menjaga
persatuan bangsa dan bukan memecah belah.
Para elite politik, tokoh masyarakat, dan tentu saja
ulama telah menunjukkan sikap keteladanan dengan kesediaan berunding mencari
titik temu, memecahkan masalah bangsa. Keteladanan itu patut dicontoh oleh
masyarakat agar dalam situasi politik apapun, bangsa ini tetap damai, tenteram,
senantiasa dalam kesejukan. Isu-isu makar jangan lagi disuguhkan karena hanya
membuat kegelisahan masyarakat. Kita tidak ingin bangsa ini berpecah belah.
*) Tulisan ini juga dimuat di Harian Koran Jakarta, 7 Desember 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar