Senin, 26 Desember 2016

Menjaga Persatuan Bangsa

Aksi unjuk rasa menuntut penegakan hukum terhadap Gubernur DKI Jakarta non aktif Basuki Tjahaja Purnama (alias Ahok) atas dugaan penistaan agama berlangsung damai. Tidak salah jika peserta unjuk rasa menyebut sebagai aksi super-damai. Terbukti, sejak pagi hingga siang, peserta unjuk rasa dengan tertib mendatangi lapangan Monumen Nasional (Monas), menggelar salat Jumat berjamaah, lalu pulang. Semua berjalan tertib.

Harapan pengujuk rasa yang meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menemui mereka terpenuhi. Presiden Jokowi yang bergabung dalam jamaah untuk melakukan salat Jumat memberi kepuasan bagi pengunjuk rasa. Tak hanya presiden, wakil presiden Jusuf Kalla dan beberapa menteri seperti Menkopolhukam, Wiranto, Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin pun turut menemui masa yang datang dari berbagai daerah.

Ada banyak cerita tersisa dari aksi yang dinamakan 212 (merujuk tanggal aksi=2 Desember) tersebut, salah satunya adalah penangkapan beberapa tokoh masyarakat oleh Polri karena dianggap akan melakukan makar pada saat unjuk rasa. Tokoh-tokoh yang sering didengar publik seperti Kivlan Zein, Ahmad Dhani, Ratna Sarumpaet, Sri Bintang Pamungkas, Adityawarman Thaha, Firza Huzein, Rachmawati Soekarnoputri secara mengejutkan ditangkap karena diduga makar. Polri menganggap mereka akan mengarahkan masa menuju DPR/MPR dan mendesak parlemen menggelar Sidang Istimewa (SI) mencabut mandat Presiden Jokowi.

Lalu, apa sebenarnya “makar” itu? Kamus Besar Bahasa Indonesia (2010) mendefinisikan makar sebagai “perbuatan (usaha) dengan maksud hendak menyerang (membunuh) orang, juga perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintah yang sah”. Anshari (2012) menjelaskan makar sebagai tindakan pengkhianatan terhadap negara dan bangsa. Penjelasan tersebut di atas menunjukkan kata makar bermakna negatif. 

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) pada pasal 107-109, membagi makar dalam tiga ketegori, yaitu makar terhadap keselamatan presiden dan wakilnya; terhadap wilayah negara; serta pemerintahan. KUHAP juga mengatur hukuman yang cukup berat bagi pelaku makar, lima belas tahun penjara hingga seumur hidup.

Kasus dugaan makar kemarin bukan kali pertama terjadi. Sejarah Indonesia mencatat beberapa contoh kasus makar. Anshari mengemukakan peristiwa yang dapat dibilang makar dan terjadi di Indonesia antara lain makar yang dituduhkan kepada Sultan Hamid II pada April 1950; pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM); serta Operasi Papua Merdeka (OPM). Baik Sultan dan organisasi tersebut, berupaya merebut kekuasaan sah Republik Indonesia. 

Isu akan adanya makar pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono 2004-2014 juga beberapa kali senter dibicarakan karena ketidakpuasan sebagian masyarakat atas kinerja SBY. Tetapi, isu itu tak pernah terealisir karena hingga pemerintahan SBY berakhir, tidak ada gejolak politik yang berujung makar. Beberapa dugaan makar tersebut membuktikan bahwa isu makar dengan penggulingan kekuasaan selalu menghantui pemerintahan sah yang sedang berjalan.

Jika benar akan melakukan makar, tentu ada alasan kuat dari tokoh tersebut di atas. Persoalan kebangsaan yang terus mendera seperti kemiskinan, lemahnya penegakan hukum dan HAM, mungkin bisa menjadi alasan. Beberapa kebijakan pemerintah yang tidak menunjukkan keberpihakan kepada rakyat juga menjadi alasan para tokoh untuk melakukan makar.  

Isu makar dan penangkapan sejumlah tokoh terduga makar yang mengiringi aksi unjuk rasa 212 seketika saja menjadi buah bibir masyarakat. Majalah Tempo edisi 5 Desember 2016 merilis hasil jajak pendapat terhadap isu makar ini. Dari total 8.717 responden, 4.210 orang menyatakan tidak membercayai jika demo 212 disusupi upaya makar, 2.931 orang menyatakan percaya dan 1.576 orang menyatakan tidak tahu.

Jauh hari sebelum aksi 212, pernyataan Kapolri Jenderal Tito Karnavian perihal adanya rencana makar beberapa kali disampaikan. Meski demikian ada beberapa pihak yang memandang penyataan itu sebelah mata, tak ditanggapi serius. Meski unjuk rasa melibatkan ratusan ribu bahkan jutaan orang, tetapi para tokoh pemimpin ujuk rasa menegaskan jika unjuk rasa tidak ada kaitannya dengan makar.

Pengalaman dibeberapa negara menunjukkan bahwa makar selalu melibatkan kekuatan militer. Ini bisa dilihat dari kasus Mohamad Mursi yang menjabat Presiden Mesir pada 2012. Ia menggantikan presiden sebelumnya yang menjabat cukup lama, Hosni Mubarok secara demokratis. Pada Juni 2012, Mursi secara sah ditetapkan sebagai pemenang Pemilu Mesir mengalahkan Ahmad Shafiq. Tetapi dalam perjalananya, ia digulingkan oleh Jenderal Abdul Fatah al-Sisi. Belakangan, Mursi justru dijebloskan di penjara dengan dugaan makar. Peristiwa kudeta yang dilakukan oleh Al-Sisi terhadap Mursi seringkali disebut sebagai makar.

Merebaknya isu makar dan berujung penangkapan tokoh-tokoh terduga makar menjadi pelajaran penting bagi Indonesia. Penangkapan beberapa tokoh terduga makar tersebut menunjukkan pemerintah sangat responsif terhadap isu makar. Secara hukum ini tidak salah karena bagaimanapun juga kesatuan bangsa dan keselamatan presiden sebagai kepala negara telah diatur dalam undang-undang. Polri secara sigap mengidentifikasi dan mendeteksi rencana makar tersebut. 

Ditinjau dari perspektif kekuasaan, negara juga disahkan melakukan penangkapan terhadap rakyatnya yang hendak mengacaukan keadaan dengan membuat makar. Negara punya kuasa untuk menundukkan pihak-pihak yang tidak sejalan dengan cita-cita bangsa. Bahkan, dengan cara memaksa, negara dibenarkan untuk melawan kejahatan. Rebertus Robets-Todung Mulya Lubis dkk (2016) mengisahkan bagaimana sebuah negara memberi hukuman mati bagi rakyat yang memberontak, tidak tunduk pada negara.

Mungkin bagi sebagian kalangan penangkapan ini terkesan “lucu” karena tokoh-tokoh masyarakat yang ditangkap tersebut tidak memiliki basis massa yang kuat dan banyak. Bahkan, tokoh-tokoh tersebut kerap membuat pernyataan kontroversi, sehingga citranya tidak terlalu bagus dimata masyarakat. 

Beberapa safari Presiden Jokowi menemui beberapa ulama seperti Said Aqil Siraj (PBNU) dan Haidar Nasir (PP Muhammadiyah), berkunjung ke markas TNI-Polri, hingga konsolidasi dengan para ketua umum partai politik, sebetulnya cukup menjadi pesan bahwa makar tidak mungkin terjadi. Kekuatan politik Presiden telah terkonsolidasi secara mantab. Dukungan di parlemen (DPR) dari yang semula minoritas, kini menjadi mayoritas setelah bergabungnya parpol baru pendukung, PAN dan Golkar. Secara kelembagaaan, Presiden mendapat dukungan kuat di DPR.

Penangkapan tokoh-tokoh yang diduga makar tersebut merupakan suatu tindakan fobia (phobia=sikap takut yang berlebihan) terhadap isu yang berkembang. Tindakan pengangkapan yang dilakukan Polri dianggap berlebihan. Namun, penulis juga menyadari bahwa tindakan itu bisa juga dianggap sebagai tindakan antisipatif pemerintah. Ini tergantung bagaimana kita memaknai langkah Polri menangkap para tokoh tersebut. 

Menjaga Persatuan Bangsa

Di tengah persiapan Pilkada serentak 2017, kita menyadari memanasnya situasi politik akibat pilihan yang berbeda-beda di masyarakat. Sulit rasanya memisahkan unjuk rasa 212 dengan kepentingan politis menjelang Pilkada DKI Jakarta karena yang menjadi tuntutan para pengunjuk rasa adalah memenjarakan salah satu calon di Pilgub, Ahok, atas dugaan penistaan agama. Dalam situasi Pilkada yang sedemikian, sepantasnya masyarakat menjaga persatuan bangsa dan bukan memecah belah. 

Para elite politik, tokoh masyarakat, dan tentu saja ulama telah menunjukkan sikap keteladanan dengan kesediaan berunding mencari titik temu, memecahkan masalah bangsa. Keteladanan itu patut dicontoh oleh masyarakat agar dalam situasi politik apapun, bangsa ini tetap damai, tenteram, senantiasa dalam kesejukan. Isu-isu makar jangan lagi disuguhkan karena hanya membuat kegelisahan masyarakat. Kita tidak ingin bangsa ini berpecah belah.

 *) Tulisan ini juga dimuat di Harian Koran Jakarta, 7 Desember 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar