Sabtu, 26 November 2016

Beretika dalam Pilkada

Oleh: Ali Thaufan DS

“Sebagian besar artikel berita yang beredar di jejaring media sosial adalah artikel dengan judul yang tidak jelas, bombastis, dan ‘murahan’. Parahnya, sebagian besar artikel tersebut berisi informasi-informasi palsu yang asal dibagikan tanpa konfirmasi dan verifikasi”. Demikian tulis sebuah kolom berita di Harian Kompas, 25 November 2016.

Sejak dimulainya pelaksanaan kampanye Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2017, sudah terjadi beberapa kericuhan seperti di Jakarta, yang salah satu calon mengalami penghadangan dari masyarakat. Selain itu deklarasi damai di Pilkada Gorontalo justru berakhir ricuh. Selain itu, pada 19 Desember 2016 kemarin, rumah salah satu pasangan calon di Pilgub Aceh ditembak oleh orang tak dikenal. Penembakan tersebut menunjukkan betapa rawannya pelaksanaan Pilkada. Berbagai tindakan melawan hukum juga marak terjadi. Data Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menyebutkan adanya ketidaknetralan Aparatur Sipil Negara (ASN) diberbagai daerah dalam pelaksanaan Pilkada.

Tidak hanya kericuhan, penembakan juga pelanggaran kampanye yang dilakukan ASN, penulis juga mendapati banyak sekali ujaran kebencian di media sosial dan pesan pribadi (SMS, BBM, maupun Whatsapp) selama masa kampanye ini. Munculnya ujaran kebencian dalam kampanye yang begitu masif, memancing terjadinya konflik antarpemilih di daerah yang menggelar Pilkada.

Kampanye Pilkada diwarnai hal-hal tak beretika. Informasi seputar Pilkada yang menyebar di media sosial hingga pesan pribadi sulit dibuktikan kebenaran. Bahkan, informasi yang beredar tersebut justru merupakan kebohongan. Pada masa kampanye, publik sulit sekali memilih mana berita yang sebenarnya (berdasarkan fakta) begitu sebaliknya. Berita bohong –atau yang populer disebut berita Hoax- menjadi konsumsi sehari-hari.

K. Bertens (2007: 5) dalam bukunya yang cukup terkenal, Etika, mengulas secara panjang lebar tentang apa itu etika. Ia menjelaskan bahwa kata etika sering terdengar ditelinga publik. Mereka yang membaca koran dan mendengar berita mungkin akan sering mendapatkan kata etika. Begitu mudahnya kata etika didapatkan, tetapi amat sulit dikerjakan. Lanjut Bertens, etika bukan saja tentang ilmu yang baik dan buruk, tetapi juga nilai yang berkaitan dengan moral dan nilai mengenai benar dan salahnya sesuatu yang dilakukan sebuah kelompok di masyarakat. Ini menunjukkan betapa pentingnya etika dalam kehidupan.

Oleh sebab itu, ketika etika dijadikan basis kehidupan bermasyarakat, maka muncul kajian mengenai etika politik, bisnis, komunikasi dan sebagainya. Semua itu dimaksud agar etika menjadi penuntun dalam prinsip kehidupan yang lebih baik. Hal-hal yang melanggar prinsip kebaikan disebut tak beretika.

Dalam kaitannya dengan Pilkada, masyarakat menghadapi hal-hal tak beretika. Kampanye penuh dengan tuduhan dan fitnah (atau disebut kampanye hitam) menyebar dengan mudah melalui media sosial. Media sosial menjadi “mesin pengadu domba” pendukung paslon. Akibatnya, benih-benih perpecahan di tengah masyarakat sulit dihindari. Contoh paling riil dan mudah didapati adalah dalam Pilgub DKI Jakarta. Berbagai berita hoax begitu mudah didapati. Hal tersebut sering memancing reaksi kemarahan pihak-pihak yang dirugikan.

Kabar bohong yang menyebar berbuah pada kebencian di masyarakat. Sulitnya mengklarifikasi kebenaran atau kebohongan kabar menjadi tantangan untuk menghentikan sikap saling curiga di tengah masyarakat. Fanatisme yang begitu terpatri dalam hati pendukung paslon tertentu juga membuat sulitnya menegakkan etika di Pilkada.

Kedewasan dalam berpolitik masih jauh implementasinya dalam gelaran Pilkada. Pengetahuan tentang cara-cara meraih kekuasaan secara demokratis tidak diikuti dengan cara-cara yang bijak dan bernilai. Akhirnya, pemimpin yang hadir, minim nilai pula. Substansi Pilkada tidak dipahami sebagai cara sebuah daerah menentukan pemimpin yang akan bertanggung jawab selama beberapa tahun. Pilkada sering dimaknai sekedar mencoblos paslon.

Sungguh, sangat disayangkan berbagai tindakan tak beretika tersebut mewarnai proses Pilkada yang diharapkan berjalan demokratis. Masing-masing pendukung paslon diharapkan mengedepankan cara-cara bijak untuk memenangkan “jagoannya”. Demikian juga masing-masing calon, diharapkan mampu menyejukan pendukung (calon pemilihnya).

Pendidikan politik bagi pemilih menjadi penting ketika banyak daerah mengalami krisis etika dalam Pilkada. Siapa yang paling bertanggung jawab? Tentu, partai politik. Tanggung jawab terhadap pendidikan politik tak dibebankan kepada parpol telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Namun, tak cukup parpol saja, lebih dari itu, masing-masing individu punya peran penting mewujudkan Pilkada yang beretika.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar