Senin, 26 Desember 2016

Natal dan Persatuan Bangsa



Ada ketegangan tersendiri menjelang perayaan Natal kali ini (2016). Di beberapa negera seperti Turki, Jerman dan Swiss, terjadi teror. Puluhan orang tewas dan dan terluka. Teror tersebut menjadi “hantu” menjelang perayaan Natal diseluruh dunia. Duka mereka, duka seluruh manusia. Kejadian teror di negara tersebut ibarat menjadi peringatan bagi pemerintah Indonesia untuk mengamankan Natal dan tahun baru.

Di Indonesia, meskipun tidak sampai terjadi teror yang memakan korban jiwa, persiapan perayaan Natal kali ini diwarnai dengan aksi swepping yang dilakukan oleh organisasi masyarakat Laskar Umat Islam Surakarta (LUIS) di Restoran Sosial Kitchen, Solo. Ormas tersebut berdalih bahwa restoran tersebut menjual minuman keras dan jam buka yang kelewat batas. Selain swepping, juga terdapat penangkapan teroris di Tangerang Selatan, Banten.

Terhadap ulah swepping yang dilakukan Ormas, Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian memerintahkan jajaranya untuk menegakan hukum atas pelanggaran tersebut. Ketua MUI, Ma’ruf Amin juga mengajak seluruh umat beragama untuk menjaga kerukunan beragama, tidak melakukan tindakan yang merugikan pihak lain. Kapolri juga telah menyiapkan personilnya untuk menjelang perayaan Natal dan menjamin keamanannya. (Media Indonesia 23/12/2016)

Ketegangan perayaan Natal kali ini juga diakibatkan adanya pemahaman parsial terhadap fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 56 Tahun 2016 yang menerangkan larangan Muslim menggunakan atribut non Islam, dalam hal ini atribut Natal. Sudah menjadi kebiasaan, pada umumnya saat memperingati hari besar agama tertentu, banyak perusahaan yang menyuruh karyawannya mengenakan atribut agama tertentu. Hal tersebut menurut penulis sebagai bentuk promo sebuah perusahaan untuk menaikkan pasar penjualan produknya. Perusahaan tidak bermaksud mencampuradukan akidah karyawan dengan atribut agama tertentu sehingga dapat merusak akidah. 

Fatwa MUI yang melarang seorang Muslim mengenakan atribut Natal, dalam konteks ini, sebetulnya memiliki maksud yang sangat baik. Pertama, agar karyawan yang bersangkutan dapat memahami pentingnya menjaga “pakaian akidah”. Kedua, perusahaan yang bersangkutan juga mentolelir karyawanya yang Muslim sehingga tidak ada sikap memaksakan. Semua ini dimaksud untuk saling menghormati. Fatwa MUI tersebut tidak menyuruh umat Islam untuk merampas atribut Natal. Inilah yang perlu dipahami. Agama Islam mengajarkan umatnya la ikraha fi al-din (yang berarti= tidak ada paksaan dalam beragama).

Zuhairi Misrawi menganggap atribut Natal sudah menjadi hal lumrah di Indonesia. Hal yang saya juga terjadi di negara-negara Arab. Atribut Natal bukan ancaman keyakinan, tetapi menjadi kekayaan kebhinekaan bangsa Indonesia. Media Indonesia (20/12/2016)

Keragaman yang terdapat di Indonesia menjadi kekayaan yang harus disyukuri. Keragaman ini jarang dijumpai di negara lain. Setiap perayaan hari besar keagamaan semua agama (Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu dan Konghuchu), masyarakat memperingatinya dengan penuh antusias. Tak terkecuali dengan perayaan Natal. 

Dalam pandangan umat Kristiani, Natal dimaknai sebagai bentuk dari kebaikan yang datang dari Tuhan. Secara teologis, Natal dianggap sebagai peringatan hari kelahiran Yesus. Menurut Wineta (2003:26) pada hari kelahiranya itu, Yesus menebar kasih sayang dan perdamaian. Natal adalah “Ketika Allah datang menyapa manusia: mari mendekatlah, bangkitlah dari kesia-siaan, kita ukir sejarah bari”, demikian tulis Wineta. 

Gerrit Singgih (2000:26) menggambarkan umat Kristiani dengan penuh suka cita menyambut Natal. Mereka menggelar perayaan dengan bertukar bingkisan dan kado, menghiasi rumah dengan pohon Cemara dengan kerlap-kerlip lampu nan indah, serta saling bersilaturahim sesama saudara. 

Umat Kristiani Indonesia pun memiliki kekhasan tersendiri merayakan Natal. Di Bali, umat Kristiani menghias Gereja dengan ornamen khas Bali. Sedangkan di Yogyakarta, para Pendeta mengenakan Blangkon sebagai simbol budaya Jawa. Lain Bali dan Yogyakarta, di Jakarta umat Kristiani memeriahkan dengan aksi coret muka menggunakan bedak berwarna putih dimaksudkan sebagai penyucian dosa.

Perayaan Natal tidak hanya diperingati umat Kristiani sendiri. Umat agama lain pun turut andil memperingati hari lahir Yesus tersebut. Dalam catatan dan dokumentasi pribadi penulis, pada tahun 2012 lalu, sebanyak 200 anggota Front Pembela Islam (FPI) Kota Makassar turut mengamankan perayaan Natal. FPI Provinsi Sulawesi Selatan berpandangan bahwa pengamanan tersebut sebagai bentuk toleransi umat Islam. Tindakan FPI ini terbilang di luar mainstream karena ia lebih dikenal sebagai Ormas Islam radikal, sering menegakkan amar ma’ruf dengan cara kekerasan dan anti non Muslim.

Selain aksi simpati FPI di Makassar, masih merujuk catatan penulis, di Jakarta terdapat halaman Masjid yang dijadikan tempat parkir bagi umat Kristiani yang melakukan perayaan Natal di Gereja. Menurut Takmir Masjid yang bersangkutan, penyediaan parkir bagi umat Kristiani tersebut sudah biasa dilakukan dan dalam rangka menjaga kerukunan beragama.

Hal yang sama dilakukan pihak Gereja, tatkala umat Islam menggelar salat Idul Fitri dan Idul Adha, halaman Gereja juga dijadikan area parkir umat Muslim yang menggelar salat. Bahkan pihak Geraja juga menyumbang hewan Qurban. Meski masih menjadi perdebatan dalam hukum Islam, tapi nilai positif yang bisa diambil adanya adanya sikap tenggang rasa, saling menghormati dan toleransi yang ditunjukkan kedua agama.

Meski terdapat sikap yang menunjukkan saling menghormati dalam perayaan Natal, ada pula sikap intoleransi yang didapati dalam setiap perayaan Natal. Sebagai contoh, adanya sekelompok orang yang melarang perayaan Natal umat Kristiani di Bekasi dan Bogor pada tahun 2012 lalu. Ini menjadi catatan untuk diantisipasi baik oleh aparat penegak hukum juga tokoh agama. 

Bangsa Indonesia dibangun atas dasar persatuan seluruh anak bangsa. Islam menekankan bahwa perbedaan adalah rahmat, bukan sesuatu yang dapat memecah belah. Sebaliknya, pemaksaan untuk mengikuti satu paham tertentu dapat menyulut peperangan dan memecah belah persatuan. Semua agama, pada prinsipnya mengajarkan kebaikan. Esensi dari ibadah kepada Tuhan adalah untuk menciptakan kehidupan sosial. 

Sekali lagi, perayaan Natal tidak boleh dinodai dengan aksi-aksi anarkisme atau bahkan teror. Jangan lagi peringatan hari besar harus diwarnai jatuh korban akibat ulah oknum yang tidak bertanggung jawab. Para tokoh agama telah memberi teladan bagi kita semua akan pentingnya menjaga persatuan bangsa. Berbagai peristiwa intoleransi harus dihindari dalam setiap perayaan hari besar keagamaan di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar