Awal tahun 2017 ini dihebohkan dengan aksi
teror yang terjadi di Turki. Aksi yang terjadi di sebuah klub malam Reina di
Istanbul tersebut menewaskan sebanyak 39 orang, dan 69 orang lainnya mengalami
luka. Secara membabi-buta, pelaku teror melempar bom dan menembaki pengunjung
klub. Lebih dari jumlah korban tersebut, dapat dipastikan jutaan orang terlukai
hatinya, dan secara psikologis mengalami ketakutan akibat aksi tak manusiawi. Seluruh
dunia mengecam aksi teror itu.
Setelah peristiwa, beredar kabar bahwa kelompok
Islamis State of Iraq and Syria (yang
dikenal ISIS) mengaku sebagai dalang aksi teror itu. Surat Kabar Koran Jakarta (3/1/2017) kemarin menulis
rilis pihak ISIS: “Sebagai kelanjutan dari operasi-operasi yang dilakukan oleh
ISIS terhadap Turki, seorang tentara heroik dari kekhalifahan telah melakukan
penyerangan terhadap salah satu klub malam terkenal yang sedang merayakan hari
libur”. Setelah dilakukan identifikasi terhadap pelaku, Kepolisian Turki
menyatakan bahwa pelaku teror kemungkinan berasal dari Kyrgystan atau
Uzbekistan. (Koran Jakarta 4/1/2017).
Teror di Turki bukan kali pertama terjadi.
Bulan Juni 2016 lalu, teror juga menguncang sebuah Bandara di Istanbul Turki
dan menewaskan sebanyak 28 orang. Perseteruan Pemerintah Turki dengan ISIS dianggap
sebagai pemicu terjadinya teror tersebut.
Sejak munculnya ISIS, peristiwa teror di beberapa
negara Timur Tengah seakan menjadi hal lumrah. Aksi teror berpindah dari satu
lokasi ke lokasi lain, dari satu negara ke negara lain. Hampir di negara-negara
yang menjadi panggung “Arab Spring”
seperti Lebanon, Suriah dan Yaman, teror sangat sering terjadi. Perang dalam Arab Spring menjadi ajang perang saudara yang tak
berkesudahan. Perang tersebut menjadi mutli-motif, agama, ekonomi dan
sebagainya.
Peristiwa teror Turki dan beberapa negara lain
menjadi warning bagi Indonesia.
Keterlibatan kelompok transnasional dalam aksi teror di Turki juga beberapa
terjadi dalam kasus teror di Indonesia. Teror di Jalan Sarinah pada awal 2016
lalu juga diduga didalangi oleh kelompok ISIS. Jaringan teroris tersebut terjalin
begitu kuat, rapi dan menyebar ke berbagai daerah. Terbukti, dalam pengungkapan
yang dilakukan Kepolisian Republik Indonesia (Polri), jaringan tersebut
tersebar diberbagai wilayah di Indonesia.
Terungkapnya jaringan teroris di Indonesia
terus diikuti dengan lahirnya teroris-teroris baru. Ibarat gugur satu tumbuh
seribu. Hal ini terbukti dari penangkapan dan eksekusi mati pelaku teror bom
Bali seperti seperti Imam Samudra dan Amrozi, ternyata bukan jaminan
berakhirnya aksi teror. Justru, setelah bom Bali berbagai aksi teror terus
terjadi. Di Jakarta dan beberapa daerah, terjadi teror bom di Hotel JW Marriot
(2003), bom Kedubes Australia (2004), bom Sarinah (2016), Polres Surakarta yang
meledak sehari sebelum Hari Raya Idul Fitri 1437 (2016), Bom Gereja di
Samarinda (2016), serta kejadian terakhir adalah penangkapan terduga teroris di
Bekasi dan Tangerang Selatan.
Indiawan Seto (2015) mengungkapkan bahwa
teroris tidak berdiri tunggal. Antara teroris yang melakukan aksi disebuah
tempat, sangat berkaitan dan memiliki hubungan dengan teroris ditempat lain.
Para teroris membuat jaringan yang tersembunyi, tetapi berkaitan dan memiliki
tujuan yang sama. Hal ini bisa dilihat dari beberapa kelompok teror yang tidak
hanya berada di satu daerah, tetapi juga “membuka cabang” di daerah lain.
Aksi teror juga tidak terjadi dan dilakukan
oleh satu agama saja. Hampir semua agama mempunyai aliran ekstrimis yang siap
menebar teror bukan hanya bagi pengikut agama lain, tetapi juga kepada
orang-orang yang satu agama jika terdapat perbedaan paham. Hendropriyono (2009)
menjelaskan panjang lebar, bahwa terorisme tidak hanya terjadi pada agama
tertentu saja tetapi juga dibanyak agama dan memiliki sejarah panjang.
Teror atas nama agama yang terjadi tentu
membuat gelisah semua pemeluk agama. Pasalnya mereka menjadikan doktrin agama
sebagai dalih membenarkan aksi teror itu. Pemahaman yang tidak holistik membuat
mereka terjebak pada pandangan: menghalalkan darah pemeluk agama lain untuk
menegakkan agamanya. Lahirnya kelompok militan-ekstrem dalam sebuah agama
mendorong terjadinya teror atas nama agama.
Aksi teror diperkirakan masih akan menghantui
seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Masifnya ideologi transnasional masih
menjadi faktor terjadinya aksi teror. Ideologi transnasional, menurut Husein
Muhammad (2014) menjadi motor kelompok tertentu yang memiliki kepentingan
politik internasional untuk merubah dunia. Dunia hendak dikendalikan dengan
fondasi agama, namun dilakukan dengan cara-cara kekerasan, dan bersifat
memaksa.
Pendukung gerakan transnasional beranggapan
tidak ada jalan lain selain menyatukan dunia, menjadi satu paham dan merubahnya.
Kondisi ini dapat dimaklumi karena berbagai ketimpangan kehidupan terus
terjadi. Mereka bertaruh untuk sebuah perubahan, menjadi lebih baik. Hidup
dalam keadaan miskin yang penuh ketidakadilan dibawah tekanan kapitalisme-sekularisme,
membuat mereka berontak dan melakukan perlawanan. Tawaran yang disajikan adalah
kembali kepada hukum Tuhan meski mereka sendiri terkadang kesulitan untuk
mengoperasionalkan hukum Tuhan itu sendiri. Seperti apa? Dan Bagaimana?
Namun begitu, ideologi transnasional bukan
penentu utama terjadinya teror. Greg Fealy dan Anthony Babulo (2005)
mengemukakan pendapat bahwa dimensi lokal dalam sebuah negara juga sangat
memengaruhi terjadinya aksi teror. Dalam konteks Indonesia, tidak semata ISIS
menjadi faktor terjadinya teror. Tetapi stabilitas keamanan nasional juga cukup
menentukan.
Oleh sebab itu, meski teror selalu berhubungan
dengan gerakan transnasional, tetapi kunci penyelesaiannya adalah di tangan
pemerintah lokal. Sejahtera dan aman bisa menjadi kata kunci menyelesaikan
peliknya teror, teroris dan terorisme. Kesejahteraan dan keamanan yang tidak
dipenuhi sebuah negara tetap membuka peluang terjadinya teror.
Tawaran
Solusi
Keterlibatan ISIS dalam teror Turki dan
Indonesia menunjukkan bahwa aksi teror kerap berhubungan dengan agama. Hal ini
sebetulnya dapat dimaknai ada yang salah dari cara beragama, sehingga melakukan
teror. Padahal, agama manapun tidak pernah membenarkan aksi keji terorisme.
Menanggani masalah terorisme tidak dapat
dilakukan dengan cara-cara represif semata. Upaya deradikalisasi tampaknya
menjadi salah satu cara untuk mengurangi terorisme. Pemahaman tentang arti
perdamaian sebagai “sakralitas” ajaran agama harus selalu disuntikan untuk
menyembuhkan penyakit “gagal beragama” para teroris. Konsep kebhinekaan
Indonesia yang menjadi takdir bangsa ini harus dipahami sebagai sesuatu yang
memberi banyak manfaat. Perbedaan agama dan bangsa tidak boleh menjadi alasan
melakukan teror satu sama lain.
Ancaman teroris tidak bisa dimaknai dengan
ancaman fisik, senjata dan bom semata. Membunuh para teroris harus dilakukan
dengan cara “membunuh” pemikirannya. Pikiran teroris sangat membahayakan karena
selain dapat menimbulkan niat melakukan teror, juga dapat menelurkan
paham-paham terorisme pada generasi penerusnya (adik, anak dan kerabat). Para
kaum cendekiawan dan negarawan di Indonesia mempunyai tanggung jawab besar untuk
membasmi paham terorisme. Transformasi nilai-nilai keagamaan dan kebangsaan
yang penuh keadaban dan perdamaian harus terus dilakukan. Kita tidak ingin
membiarkan generasi mendatang menjadi teroris dan hidup dalam ketakutan akibat
teroris itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar