Rabu, 23 November 2016

Mencari Format Ideal Pemilu 2019



Oleh: Ali Thaufan Dwi Saputra (Alumni Pasca Sarjana UIN Jakarta) 
 
Tahun 2019 nanti, Indonesia akan kembali menggelar hajatan demokrasi lima tahunan, Pemilihan Anggota Legislatif dan Presiden serta Wakil Presiden. Meski masih tiga tahun lagi, namun upaya mengatur regulasi Pileg dan Pilpres sudah dimulai. Salah satu yang menjadi perhatian adalah: Pileg dan Pilpres digelar serentak. Untuk itu, Pemerintah telah menyiapkan draf Rancangan Undang-undang Penyelenggaraan Pemilu yang di dalamnya mengatur Penyelenggara Pemilu, Pileg dan Pilpres. 

Semua pihak mengharap Pemilu 2019 nanti menjadi Pemilu ideal, dapat melahirkan pemimpin bangsa dan wakil-wakil rakyat yang menjadikan Indonesia lebih baik, sejahtera dan maju. Namun, patut direnungkan, apa itu Pemilu ideal? Ideal bagi rakyat, parpol, atau segelintir elit politik? Idealnya Pemilu ini nantinya juga sangat ditentukan dengan regulasi atau UU yang mengatur. Artinya, kesuksesan Pemilu ditentukan dengan UU yang berkualitas yang mengatur.

Terhadap draf RUU Pemilu yang disampaikan Pemerintah kepada DPR, penulis mencermati ada beberapa isu strategis antara lain terkait lembaga penyelenggara Pemilu (KPU dan Bawaslu); keserentakan Pemilu; sistem Pemilu yang digunakan; metode konversi suara menjadi kursi di lembaga perwakilan. Dalam beberapa hari ke depan, DPR dan Pemerintah akan segera membahasnya.

Isu strategis pertama, terkait dengan kelembagaan penyelenggaran Pemilu. Salah satu hal yang patut diperhatikan adalah keserentakan Pileg dan Pilpres 2019. Ini akan menjadi pengalaman baru bagi Indonesia. Keserentakan tersebut akan menambah kompleksitas Pemilu itu sendiri. Hal ini menuntut adanya personil penyelenggara atau komisioner KPU-Bawaslu yang berkualitas. Tak hanya soal kualitas, penambahan komisioner juga patut dipertimbangkan. Jika saat ini komisioner KPU Pusat hanya terdiri dari tujuh orang, maka jumlah tersebut kiranya dapat ditambah. 

Penambahan komisioner tersebut juga dimaksudkan untuk penguatan KPU-Bawaslu. Pengalaman Pemilu ataupun Pilkada menunjukkan banyak sekali pelanggaran yang terjadi di Pemilu. Penambahan komisioner (terutama bagi Bawaslu) salah satunya juga untuk efektifitas penangganan pelanggaran tersebut. 

Komitmen pemerintah untuk menguatkan Bawaslu terlihat dalam pasal 80, yakni perubahan Panwaslu menjadi Bawaslu di tingkat Kabupaten/Kota. Perubahan ini tentu memberi konsekuensi penambahan anggaran. 

Kedua, keserentakan Pemilu legislatif dan Presiden. Keserentakan Pemilu nanti adalah buah dari Putusan MK 2013 lalu. Sebetulnya, keserentakan Pileg dan Pilpres direncanakan dilakukan pada Pemilu 2014. Tetapi atas berbagai pertimbangan, putusan MK tentang keserentakan Pemilu baru diberlakukan pada Pemilu 2019. Pemilu serentak tentu menghemat waktu dan biaya. Pemilu serentak juga bisa menghasilkan koalisi yang kuat, bukan koalisi yang sifatnya sementara. Keputusan MK (No. 14/PPU-XI/2015) tersebut dimaksudkan untuk penguatan sistem presidensial. Selama ini Pilpres yang digelar pasca Pileg menghasilkan koalisi parpol yang rapuh, tidak kuat. Pemerintahan yang dihasilkan dalam 4 (empat) kali pemilu juga acap kali mengalami pemerintahan yang terbelah (devided government).

Keserentakan ini tentu akan mengubah hal-hal yang bersifat teknis di lapangan. Pemilih mungkin akan dihadapkan dengan jumlah kertas yang cukup banyak, yaitu untuk Pileg DPRD Kab/Kota, DPRD Provinsi; DPR RI, DPD dan Presiden serta Wakil Presiden. Adapun penetapan hari H Pemilu akan diputukan oleh KPU melalui surat keputusan KPU. (pasal 137 RUU Pemilu).

Ketiga, berkenaan dengan sistem Pemilu. RUU Pemilu dalam pasal 138 menyebut sistem Pileg 2019 nanti adalah sistem proporsional terbuka terbatas. Sistem ini tidak jauh berbeda dengan sistem proporsional tertutup. Pemilih mencoblos gambar partai, bukan gambar caleg. Para pakar pemilu menyebut bahwa sistem ini memiliki kelebihan sekaligus kekurangan. Kelebihan dari sistem ini antara lain: memperkuat kewenangan parpol sebagai pilar demokrasi dan mendorong transparansi parpol. Adapun kekurangan dari sistem ini adalah, tidak mencerminkan representasi pilihan rakyat. 

Sistem ini juga masih “ambigu”. Jika sistem ini memberikan kesempatan pada masyarakat untuk menentukan siapa calegnya, maka keterpilihan seharusnya didasarkan pada perolehan suara terbanyak, bukan oleh parpol berdasarkan nomor urut. Sistem ini sebetulnya bisa dikatakan sebagai sistem “close list”. Terkait sistem terbuka terbatas ini, ada anggapan bahwa sistem ini melanggar putusan MK No. 22/PUU-IV-2008 yang menyatakan dasar penetapan calon terpilih berdasarkan calon yang mendapat suara terbanyak secara berurutan, bukan atas dasar nomor urut terkecil yang ditetapkan partai politik.

Sistem proporsional terbuka terbatas yang terdapat dalam RUU Pemilu belum bersifat final. Masih terbuka ruang diskusi untuk menentukan sistem apa yang akan digunakan dalam Pileg. Adanya cukup banyak sistem yang bisa digunakan. Hal terpenting menurut Ramlan (1999: 177) dalam menggunakan sistem Pemilu adalah tiga variabel pokok yang harus diatur dalam UU, penyerapan, daerah pemilihan dan formula pemilihan.    

Keempat, terkait penghitungan suara menjadi kursi di lembaga perwakilan (DPRD maupun DPR RI). Terkait formula penghitungan suara, RUU Pemilu dalam pasal 399 menyebutkan “membagi suara sah setiap Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud huruf a dengan bilangan pembagi 1,4 (satu koma empat) dan diikuti secara berurut oleh bilangan ganjil 3 (tiga), 5 (lima), 7 (tujuh), dan seterusnya.” Penghitungan ini disebut dengan Divisor Sainte Lague Modifikasi. Dalam teknik penghitungan Sainte Lague Modifikasi perolehan suara masing-masing partai politik mulai dibagi dengan angka 1.4, 3, 5, 7 dan seterusnya. Teknik penghitungan ini tentu menguntungkan parpol peraih suara terbanyak karena mereka akan mendapat tambahan kursi.

Metode dan teknik penghitungan lain bisa menggunakan Devisor Sainte Lague murni dengan bilangan pembagi suara 1, 3, 5, 7 dan seterusnya. Menurut para pakar Pemilu, hasil simulasi Divisor Sainte Lague tidak jauh berbeda dengan penerapan Kuota Hare layaknya Pemilu 2014. 

Selain Divisor Sainte Lague (murni dan modifikasi) juga dikenal metode Divisor D’Hond dengan bilangan pembagi suara 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan seterusnya. Khusus teknik penghitungan ini, partai-partai besar lebih diuntungkan dengan menggunakan angka pembagi di atas. Jika menggunakan teknik ini berdasarkan perolehan suara Pemilu 2014, maka PDIP, Golkar, dan Gerindra menjadi tiga parpol yang paling diuntungkan. Ketiga parpol tersebut mendapat tambahan kursi yang signifikan, yaitu PDIP meraih 28 tambahan kursi, Golkar sebanyak 27 kursi, dan Gerindra meraih 5 kursi. Sedangkan ketujuh partai politik lainnya mengalami penurunan jumlah perolehan kursi. 

Penghitungan dengan menggunakan metode tersebut di atas memberi konsekuensi pada diuntungkan dan dirugikannya parpol peserta Pemilu. Metode Divisor D’Hondt, misalnya, akan mengguntungkan parpol besar yang mendapat suara terbanyak dengan indeks disproporsionalitas yang tinggi. Sebaliknya metode Devisor Sainte Lague, meski sedikit memberi keuntungan bagi parpol menengah, tetapi indeks disproporsionalitas relatif kecil. 

Terkait dengan syarat menjadi anggota legislatif, RUU Pemilu menysarakatkan banyak hal. Namun itu bukan berarti tanpa celah kritik. Dalam pasal  209 huruf n, disebutkan bahwa syarat “nyaleg” adalah “menjadi anggota Partai Politik Peserta Pemilu”. Ketentuan tersebut seharusnya ditambah, misalnya, menjadi anggota parpol lebih dari tiga atau lima tahun. Hal ini dimaksudkan agar pengkaderan dalam parpol dalam berjalan dengan baik, tidak hanya menjelang momentum Pemilu semata sehingga caleg-caleg yang muncul adalah kader-kader parpol yang berkualitas. Hal ini sekaligus untuk menghindarkan parpol dari cara-cara perekrutan kader secara “serampangan”.

Hal-hal lain yang patut diperhatikan adalah ketentuan yang mengatur kampanye pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Perkembangan teknologi telah memberi kemudahan paslon untuk berkampanye secara murah dan efektif melalui media sosial (berbasis teknologi internet). Tetapi, media sosial sering digunakan sebagai alat propaganda Pemilu. Berkaca dari beberapa kasus kampanye pada Pemilu 2014 lalu, dan beberapa Pilkada, media sosial menjadi cara paling murah pula untuk menjatuhkan lawan politik. Berbagai ujaran kebencian sering menghiasi media sosial dalam masa-masa kampanye. Untuk itu Pemerintah dan DPR perlu mengatur aturan kampanye yang dilakukan melalui media sosial. Segala tindakan yang dianggap sebagai pelanggaran harus dihukum seberat-beratnya. 

Publik tidak menginginkan hajatan demokrasi lima tahunan ini berujung pada permusuhan antarpendukung calon Presiden. Pengalaman Pemilu sebelumnya menunjukkan terjadinya permusuhan hanya karena perbedaan pilihan dalam Pemilu. Hal ini yang semestinya kita hindari demi menjaga kemajemukan bangsa, Bhineka Tunggal Ika

RUU Pemilu yang akan menjadi hal terpenting untuk mewujudkan Pemilu ideal diharapkan segera selesai mengingat tahapan Pemilu akan dilangsungkan pada pertengahan 2017 nanti. Publik tentu berharap agar Pemerintah dan DPR membuka diri dan melibatkan publik untuk berpartisipasi dalam pembuatan RUU tersebut. 

*) tulisan ini telah di muat di harian Koran Jakarta, 11 November 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar