Oleh: Ali Thaufan Dwi Saputra (Alumni Pasca
Sarjana UIN Jakarta)
Tahun 2019 nanti, Indonesia akan kembali
menggelar hajatan demokrasi lima tahunan, Pemilihan Anggota Legislatif dan
Presiden serta Wakil Presiden. Meski masih tiga tahun lagi, namun upaya
mengatur regulasi Pileg dan Pilpres sudah dimulai. Salah satu yang menjadi
perhatian adalah: Pileg dan Pilpres digelar serentak. Untuk itu, Pemerintah
telah menyiapkan draf Rancangan Undang-undang Penyelenggaraan Pemilu yang di
dalamnya mengatur Penyelenggara Pemilu, Pileg dan Pilpres.
Semua pihak mengharap Pemilu 2019 nanti
menjadi Pemilu ideal, dapat melahirkan pemimpin bangsa dan wakil-wakil rakyat
yang menjadikan Indonesia lebih baik, sejahtera dan maju. Namun, patut
direnungkan, apa itu Pemilu ideal? Ideal bagi rakyat, parpol, atau segelintir
elit politik? Idealnya Pemilu ini nantinya juga sangat ditentukan dengan
regulasi atau UU yang mengatur. Artinya, kesuksesan Pemilu ditentukan dengan UU
yang berkualitas yang mengatur.
Terhadap draf RUU Pemilu yang disampaikan
Pemerintah kepada DPR, penulis mencermati ada beberapa isu strategis antara
lain terkait lembaga penyelenggara Pemilu (KPU dan Bawaslu); keserentakan
Pemilu; sistem Pemilu yang digunakan; metode konversi suara menjadi kursi di
lembaga perwakilan. Dalam beberapa hari ke depan, DPR dan Pemerintah akan
segera membahasnya.
Isu strategis pertama, terkait dengan kelembagaan penyelenggaran Pemilu. Salah
satu hal yang patut diperhatikan adalah keserentakan Pileg dan Pilpres 2019.
Ini akan menjadi pengalaman baru bagi Indonesia. Keserentakan tersebut akan
menambah kompleksitas Pemilu itu sendiri. Hal ini menuntut adanya personil
penyelenggara atau komisioner KPU-Bawaslu yang berkualitas. Tak hanya soal
kualitas, penambahan komisioner juga patut dipertimbangkan. Jika saat ini
komisioner KPU Pusat hanya terdiri dari tujuh orang, maka jumlah tersebut
kiranya dapat ditambah.
Penambahan komisioner tersebut juga
dimaksudkan untuk penguatan KPU-Bawaslu. Pengalaman Pemilu ataupun Pilkada
menunjukkan banyak sekali pelanggaran yang terjadi di Pemilu. Penambahan
komisioner (terutama bagi Bawaslu) salah satunya juga untuk efektifitas
penangganan pelanggaran tersebut.
Komitmen pemerintah untuk menguatkan Bawaslu
terlihat dalam pasal 80, yakni perubahan Panwaslu menjadi Bawaslu di tingkat
Kabupaten/Kota. Perubahan ini tentu memberi konsekuensi penambahan anggaran.
Kedua,
keserentakan Pemilu legislatif dan Presiden. Keserentakan Pemilu nanti adalah
buah dari Putusan MK 2013 lalu. Sebetulnya, keserentakan Pileg dan Pilpres
direncanakan dilakukan pada Pemilu 2014. Tetapi atas berbagai pertimbangan,
putusan MK tentang keserentakan Pemilu baru diberlakukan pada Pemilu 2019. Pemilu serentak tentu menghemat
waktu dan biaya. Pemilu serentak juga bisa menghasilkan koalisi yang kuat, bukan
koalisi yang sifatnya sementara. Keputusan MK (No. 14/PPU-XI/2015) tersebut
dimaksudkan untuk penguatan sistem presidensial. Selama ini Pilpres yang
digelar pasca Pileg menghasilkan koalisi parpol yang rapuh, tidak kuat. Pemerintahan
yang dihasilkan dalam 4 (empat) kali pemilu juga acap kali mengalami
pemerintahan yang terbelah (devided
government).
Keserentakan ini tentu akan mengubah hal-hal
yang bersifat teknis di lapangan. Pemilih mungkin akan dihadapkan dengan jumlah
kertas yang cukup banyak, yaitu untuk Pileg DPRD Kab/Kota, DPRD Provinsi; DPR
RI, DPD dan Presiden serta Wakil Presiden. Adapun penetapan hari H Pemilu akan
diputukan oleh KPU melalui surat keputusan KPU. (pasal 137 RUU Pemilu).
Ketiga,
berkenaan dengan sistem Pemilu. RUU Pemilu dalam pasal 138 menyebut sistem Pileg
2019 nanti adalah sistem proporsional terbuka terbatas. Sistem ini tidak jauh
berbeda dengan sistem proporsional tertutup. Pemilih mencoblos gambar partai,
bukan gambar caleg. Para pakar pemilu menyebut bahwa sistem ini memiliki
kelebihan sekaligus kekurangan. Kelebihan dari sistem ini antara lain:
memperkuat kewenangan parpol sebagai pilar demokrasi dan mendorong transparansi
parpol. Adapun kekurangan dari sistem ini adalah, tidak mencerminkan
representasi pilihan rakyat.
Sistem ini juga masih “ambigu”. Jika sistem
ini memberikan kesempatan pada masyarakat untuk menentukan siapa calegnya, maka
keterpilihan seharusnya didasarkan pada perolehan suara terbanyak, bukan oleh
parpol berdasarkan nomor urut. Sistem ini sebetulnya bisa dikatakan sebagai
sistem “close list”. Terkait sistem
terbuka terbatas ini, ada anggapan bahwa sistem ini melanggar putusan MK No.
22/PUU-IV-2008 yang menyatakan dasar penetapan calon terpilih berdasarkan calon
yang mendapat suara terbanyak secara berurutan, bukan atas dasar nomor urut
terkecil yang ditetapkan partai politik.
Sistem proporsional terbuka terbatas yang
terdapat dalam RUU Pemilu belum bersifat final. Masih terbuka ruang diskusi
untuk menentukan sistem apa yang akan digunakan dalam Pileg. Adanya cukup
banyak sistem yang bisa digunakan. Hal terpenting menurut Ramlan (1999: 177) dalam
menggunakan sistem Pemilu adalah tiga variabel pokok yang harus diatur dalam
UU, penyerapan, daerah pemilihan dan formula pemilihan.
Keempat,
terkait penghitungan suara menjadi kursi di lembaga perwakilan (DPRD maupun DPR
RI). Terkait formula penghitungan suara, RUU Pemilu
dalam pasal 399 menyebutkan “membagi suara sah setiap Partai Politik Peserta
Pemilu sebagaimana dimaksud huruf a dengan bilangan pembagi 1,4 (satu koma
empat) dan diikuti secara berurut oleh bilangan ganjil 3 (tiga), 5 (lima), 7
(tujuh), dan seterusnya.” Penghitungan ini disebut dengan Divisor Sainte
Lague Modifikasi. Dalam teknik penghitungan Sainte Lague Modifikasi perolehan
suara masing-masing partai politik mulai dibagi dengan angka 1.4, 3, 5, 7 dan
seterusnya. Teknik penghitungan ini tentu menguntungkan parpol peraih suara
terbanyak karena mereka akan mendapat tambahan kursi.
Metode dan teknik penghitungan lain bisa
menggunakan Devisor Sainte Lague murni dengan bilangan pembagi suara 1, 3, 5, 7
dan seterusnya. Menurut para pakar Pemilu, hasil simulasi Divisor Sainte Lague
tidak jauh berbeda dengan penerapan Kuota Hare layaknya Pemilu 2014.
Selain Divisor Sainte Lague (murni dan
modifikasi) juga dikenal metode Divisor D’Hond dengan bilangan pembagi suara 1,
2, 3, 4, 5, 6, dan seterusnya. Khusus teknik penghitungan ini, partai-partai
besar lebih diuntungkan dengan menggunakan angka pembagi di atas. Jika
menggunakan teknik ini berdasarkan perolehan suara Pemilu 2014, maka PDIP,
Golkar, dan Gerindra menjadi tiga parpol yang paling diuntungkan. Ketiga parpol
tersebut mendapat tambahan kursi yang signifikan, yaitu PDIP meraih 28 tambahan
kursi, Golkar sebanyak 27 kursi, dan Gerindra meraih 5 kursi. Sedangkan ketujuh
partai politik lainnya mengalami penurunan jumlah perolehan kursi.
Penghitungan dengan menggunakan metode
tersebut di atas memberi konsekuensi pada diuntungkan dan dirugikannya parpol
peserta Pemilu. Metode Divisor D’Hondt, misalnya, akan mengguntungkan parpol
besar yang mendapat suara terbanyak dengan indeks disproporsionalitas yang
tinggi. Sebaliknya metode Devisor Sainte Lague, meski sedikit memberi
keuntungan bagi parpol menengah, tetapi indeks disproporsionalitas relatif
kecil.
Terkait dengan syarat menjadi anggota
legislatif, RUU Pemilu menysarakatkan banyak hal. Namun itu bukan berarti tanpa
celah kritik. Dalam pasal 209 huruf n,
disebutkan bahwa syarat “nyaleg” adalah “menjadi anggota Partai Politik Peserta Pemilu”.
Ketentuan tersebut seharusnya ditambah, misalnya, menjadi anggota parpol lebih
dari tiga atau lima tahun. Hal ini dimaksudkan agar pengkaderan dalam parpol
dalam berjalan dengan baik, tidak hanya menjelang momentum Pemilu semata
sehingga caleg-caleg yang muncul adalah kader-kader parpol yang berkualitas.
Hal ini sekaligus untuk menghindarkan parpol dari cara-cara perekrutan kader
secara “serampangan”.
Hal-hal lain yang patut diperhatikan adalah
ketentuan yang mengatur kampanye pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.
Perkembangan teknologi telah memberi kemudahan paslon untuk berkampanye secara murah
dan efektif melalui media sosial (berbasis teknologi internet). Tetapi, media
sosial sering digunakan sebagai alat propaganda Pemilu. Berkaca dari beberapa
kasus kampanye pada Pemilu 2014 lalu, dan beberapa Pilkada, media sosial
menjadi cara paling murah pula untuk menjatuhkan lawan politik. Berbagai ujaran
kebencian sering menghiasi media sosial dalam masa-masa kampanye. Untuk itu
Pemerintah dan DPR perlu mengatur aturan kampanye yang dilakukan melalui media
sosial. Segala tindakan yang dianggap sebagai pelanggaran harus dihukum
seberat-beratnya.
Publik tidak menginginkan hajatan demokrasi
lima tahunan ini berujung pada permusuhan antarpendukung calon Presiden.
Pengalaman Pemilu sebelumnya menunjukkan terjadinya permusuhan hanya karena
perbedaan pilihan dalam Pemilu. Hal ini yang semestinya kita hindari demi
menjaga kemajemukan bangsa, Bhineka
Tunggal Ika.
RUU Pemilu yang akan menjadi hal terpenting
untuk mewujudkan Pemilu ideal diharapkan segera selesai mengingat tahapan
Pemilu akan dilangsungkan pada pertengahan 2017 nanti. Publik tentu berharap
agar Pemerintah dan DPR membuka diri dan melibatkan publik untuk berpartisipasi
dalam pembuatan RUU tersebut.
*) tulisan ini telah di muat di harian Koran
Jakarta, 11 November 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar