Oleh:
Ali Thaufan DS, MA. (Pegiat Himpunan Peminat Ilmu Ushuluddin [HIPIUS] UIN
Jakarta)
Jutaan
umat Islam bersatu, satu tuntutan: tegakkan hukum untuk Gubernur Jakarta, Basuki
Tjahaja Purnama (Ahok) yang dianggap menistakan agama dan kitab suci al-Qur’an.
Demonstrasi jutaan umat Islam merupakan buntut dari pernyataan Ahok dalam
sebuah pertemuan dengan warganya yang dianggap menghina al-Qur’an. Ia meminta
orang agar jangan mau dibodohi dengan ayat-ayat al-Qur’an untuk tidak
memilihnya dalam Pemilihan Gubernur Jakarta pada 2017. Inilah titik
persoalannya.
Melalui
tulisan ini, penulis berupaya memotret secara jernih persoalan demo 4 November
dari sudut pandang urusan dan kepentingan politik dan agama. Keduanya –baik politik
dan agama- menjadi sesuatu yang “vital” bagi semua orang.
Pernyataan
Ahok yang kontroversi menjadi buah bibir jutaan muslim Indonesia. Mereka akhirnya
melaporkan Ahok kepada Kepolisian atas dugaan penistaan agama. Atas laporan
tersebut, Polri sedang dalam tahap penyelidikan. Lambannya kinerja Polri dalam
penanganan kasus ini membuat sejumlah pihak menduga bahwa ada campur tangan
penguasa untuk mengulur-ulur putusan atas kasus tersebut. Kesabaran umat Islam
sampai pada titik “habis” sehingga aksi demo tak terelakkan lagi.
Tak
ada pilihan lain bagi umat Islam selain turun ke jalan menyuarakan tuntutannya
sebagai wujud bela agama. Sebagian lain, menyuarakan bela agama melalui
ceramah, tulisan, hingga doa bersama. Ini merupakan bentuk pilihan
masing-masing muslim dalam membela agamanya.
Sulit
rasanya menghindarkan aksi demo ini dengan urusan dan kepentingan politik. Pasalnya,
Jakarta akan memilih Gubernur pada 2017 nanti. Ahok sendiri maju sebagai calon
Gubernur petahana berpasangan dengan Djarot Saiful Hidayat untuk “melawan”
pasangan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylvi, dan Anis Baswedan-Sandiaga Uno. Bagi lawan
politik Ahok, ini kesempatan berharga untuk menjatuhkan elektabilitasnya,
mengingat beberapa lembaga survei merilis elektabilitas Ahok-Djarot berada diurutan
teratas.
Dari
sudut pandang politis, hal tersebut “sah-sah” saja dilakukan. Adagium “politik
menghalalkan segala cara merebut kekuasaan” lumrah dijumpai, termasuk dalam
momentum Pilkada dan Pemilu. Dan, adagium ini dibenarkan pula oleh guru besar
politik, Niccolo Machiavelli dalam karya monumentalnya, The Prince.
Partai-partai
politik pengusung Ahok patut mencemaskan demo ini. Diakui atau pun tidak, demo
dengan tema besar “Bela Agama” akan memengaruhi elektabilitasnya. Apabila jika tuntutan
pendemo untuk memidanakan Ahok terkabul, maka parpol pengusung harus melakukan
strategi untuk mengatasi kemungkinan terburuk bagi mereka.
Dalam
Undang-undang No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada tidak mengatur bahwa paslon
yang setelah ditetapkan sebagai calon lalu yang bersangkutan dijatuhi pidana,
dapat menggugurkan pencalonanya. Artinya, yang bersangkutan tetap dapat maju
dalam Pilkada, dan masih terbuka ruang untuk mengajukan banding. UU No. 10
tahun 2016, pada pasal 54 ayat (1) hanya mengatur jika salah satu calon
meninggal dunia, maka parpol pengusung dapat mengusulkan pengganti dengan catatan
minimal 30 hari sebelum pemunguntan suara. Namun demikian dan patut menjadi
catatan, mencalonkan seseorang dengan status terpidana menjadi beban berat.
UU
tersebut juga mengatur jika calon kepala daerah (dalam hal ini Gubernur)
terpilih, dan yang bersangkutan menjadi terdakwa, maka yang bersangkutan tetap
dilantik, lalu dinonaktifkan sementara dari jabatannya. Ini seperti diatur
dalam ketentuan pasal 163 ayat (7) dan (8). Hal ini berarti, jika Ahok
ditetapkan sebagai terpidana, yang bersangkutan tetap dapat maju di Pilkada,
dan jika ia terpilih, ia pun tetap dilantik. Meski pelantikan tersebut diikuti
dengan penonaktifan sementara dari jabatan.
Kemarahan
umat Islam atas pernyataan Ahok sekiranya dapat dimaklumi. Sejak masalah Ahok
ini mengemuka, diskursus soal kepemimpinan non muslim kembali dibincangkan di
muka publik. Memang, pandangan tafsir klasik sangat berbeda dengan tafsir
kontemporer dalam menjelaskan kepemimpinan non muslim. Para mufasir klasik,
seperti Ibn Katsir dalam kitabnya Tafsir al-Qur’an al-Adzim, melarang
memilih non muslim sebagai pemimpin. Pun demikian dengan pemikir Muktazilah imam
besar Zamakhsyari dalam maha Tafsir al-Kasysyaf, yang dijuluki mufasir yang mengedepankan ra’yi, ia pun
menolak pemimpin non muslim dengan ragam argumen.
Sementara,
kalangan mufasir kontemporer, membolehkannya. Sederat nama seperti: Mahmud
Muhammad Thaha, Abdullah Ahmed al-Na’im, Thariq al-Bishri, Asghar Ali Enginer,
Abdu al-Rahman al-Kawaqibi, Muhammad Said al-Asmawi membolehkan pemimpin non
muslim. Berkaitan dengan demo 4 November ini, para ulama muslim juga berbeda
pandangan dalam menyikapi, katakanlah: pro dan kontra.
Demonstrasi
atas nama agama, serta anggapan adanya kepentingan politik yang menunggangi memberi
pesan bahwa ada sesuatu yang vital dalam hidup ini yaitu politik dan agama. Politik
berperan dalam menentukan kebijakan yang menjadi arah tujuan bangsa ke depan. Sedang
agama menjadi penunjuk, bukan hanya urusan dunia, tetap juga akhirat. Kedua hal
vital ini penting dan sulit dipisahkan, dan kita tak boleh "main-main" dengannya.
Ciputat, 4 November 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar