Jumat, 04 November 2016

Bela Agama 4 November: Bukti Politik dan Agama Itu Vital

Oleh: Ali Thaufan DS, MA. (Pegiat Himpunan Peminat Ilmu Ushuluddin [HIPIUS] UIN Jakarta)

Jutaan umat Islam bersatu, satu tuntutan: tegakkan hukum untuk Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang dianggap menistakan agama dan kitab suci al-Qur’an. Demonstrasi jutaan umat Islam merupakan buntut dari pernyataan Ahok dalam sebuah pertemuan dengan warganya yang dianggap menghina al-Qur’an. Ia meminta orang agar jangan mau dibodohi dengan ayat-ayat al-Qur’an untuk tidak memilihnya dalam Pemilihan Gubernur Jakarta pada 2017. Inilah titik persoalannya.

Melalui tulisan ini, penulis berupaya memotret secara jernih persoalan demo 4 November dari sudut pandang urusan dan kepentingan politik dan agama. Keduanya –baik politik dan agama- menjadi sesuatu yang “vital” bagi semua orang.

Pernyataan Ahok yang kontroversi menjadi buah bibir jutaan muslim Indonesia. Mereka akhirnya melaporkan Ahok kepada Kepolisian atas dugaan penistaan agama. Atas laporan tersebut, Polri sedang dalam tahap penyelidikan. Lambannya kinerja Polri dalam penanganan kasus ini membuat sejumlah pihak menduga bahwa ada campur tangan penguasa untuk mengulur-ulur putusan atas kasus tersebut. Kesabaran umat Islam sampai pada titik “habis” sehingga aksi demo tak terelakkan lagi. 

Tak ada pilihan lain bagi umat Islam selain turun ke jalan menyuarakan tuntutannya sebagai wujud bela agama. Sebagian lain, menyuarakan bela agama melalui ceramah, tulisan, hingga doa bersama. Ini merupakan bentuk pilihan masing-masing muslim dalam membela agamanya.

Sulit rasanya menghindarkan aksi demo ini dengan urusan dan kepentingan politik. Pasalnya, Jakarta akan memilih Gubernur pada 2017 nanti. Ahok sendiri maju sebagai calon Gubernur petahana berpasangan dengan Djarot Saiful Hidayat untuk “melawan” pasangan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylvi, dan Anis Baswedan-Sandiaga Uno. Bagi lawan politik Ahok, ini kesempatan berharga untuk menjatuhkan elektabilitasnya, mengingat beberapa lembaga survei merilis elektabilitas Ahok-Djarot berada diurutan teratas.

Dari sudut pandang politis, hal tersebut “sah-sah” saja dilakukan. Adagium “politik menghalalkan segala cara merebut kekuasaan” lumrah dijumpai, termasuk dalam momentum Pilkada dan Pemilu. Dan, adagium ini dibenarkan pula oleh guru besar politik, Niccolo Machiavelli dalam karya monumentalnya, The Prince.

Partai-partai politik pengusung Ahok patut mencemaskan demo ini. Diakui atau pun tidak, demo dengan tema besar “Bela Agama” akan memengaruhi elektabilitasnya. Apabila jika tuntutan pendemo untuk memidanakan Ahok terkabul, maka parpol pengusung harus melakukan strategi untuk mengatasi kemungkinan terburuk bagi mereka.

Dalam Undang-undang No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada tidak mengatur bahwa paslon yang setelah ditetapkan sebagai calon lalu yang bersangkutan dijatuhi pidana, dapat menggugurkan pencalonanya. Artinya, yang bersangkutan tetap dapat maju dalam Pilkada, dan masih terbuka ruang untuk mengajukan banding. UU No. 10 tahun 2016, pada pasal 54 ayat (1) hanya mengatur jika salah satu calon meninggal dunia, maka parpol pengusung dapat mengusulkan pengganti dengan catatan minimal 30 hari sebelum pemunguntan suara. Namun demikian dan patut menjadi catatan, mencalonkan seseorang dengan status terpidana menjadi beban berat.

UU tersebut juga mengatur jika calon kepala daerah (dalam hal ini Gubernur) terpilih, dan yang bersangkutan menjadi terdakwa, maka yang bersangkutan tetap dilantik, lalu dinonaktifkan sementara dari jabatannya. Ini seperti diatur dalam ketentuan pasal 163 ayat (7) dan (8). Hal ini berarti, jika Ahok ditetapkan sebagai terpidana, yang bersangkutan tetap dapat maju di Pilkada, dan jika ia terpilih, ia pun tetap dilantik. Meski pelantikan tersebut diikuti dengan penonaktifan sementara dari jabatan.

Kemarahan umat Islam atas pernyataan Ahok sekiranya dapat dimaklumi. Sejak masalah Ahok ini mengemuka, diskursus soal kepemimpinan non muslim kembali dibincangkan di muka publik. Memang, pandangan tafsir klasik sangat berbeda dengan tafsir kontemporer dalam menjelaskan kepemimpinan non muslim. Para mufasir klasik, seperti Ibn Katsir dalam kitabnya Tafsir al-Qur’an al-Adzim, melarang memilih non muslim sebagai pemimpin. Pun demikian dengan pemikir Muktazilah imam besar Zamakhsyari dalam maha Tafsir al-Kasysyaf, yang dijuluki mufasir yang mengedepankan ra’yi, ia pun menolak pemimpin non muslim dengan ragam argumen.

Sementara, kalangan mufasir kontemporer, membolehkannya. Sederat nama seperti: Mahmud Muhammad Thaha, Abdullah Ahmed al-Na’im, Thariq al-Bishri, Asghar Ali Enginer, Abdu al-Rahman al-Kawaqibi, Muhammad Said al-Asmawi membolehkan pemimpin non muslim. Berkaitan dengan demo 4 November ini, para ulama muslim juga berbeda pandangan dalam menyikapi, katakanlah: pro dan kontra.


Demonstrasi atas nama agama, serta anggapan adanya kepentingan politik yang menunggangi memberi pesan bahwa ada sesuatu yang vital dalam hidup ini yaitu politik dan agama. Politik berperan dalam menentukan kebijakan yang menjadi arah tujuan bangsa ke depan. Sedang agama menjadi penunjuk, bukan hanya urusan dunia, tetap juga akhirat. Kedua hal vital ini penting dan sulit dipisahkan, dan kita tak boleh "main-main" dengannya.

Ciputat, 4 November 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar