Oleh: Ali Thaufan DS
APBNP Tahun Anggaran 2016 baru saja disahkan
DPR, Selasa 28 Juni 2016. Ada yang menarik dalam postur APBNP, pemangkasan
anggaran belanja, atau dalam bahasa lain, penghematan anggaran karena kondisi
ekonomi kerap tak menentu dan menurunnya penerimaan pajak. Beberapa kementerian
mengalami penurunan anggaran. Tentu ini akan berdampak pada kinerja kementerian
meski pemerintah telah menerapkan money
follow program, bukan lagi money
follow function.
Di tengah banyaknya anggaran kementerian yang
dipangkas, atau dihemat, anggaran untuk transfer ke daerah dan dana desa
mengalami kenaikan, meski tidak signifikan. Tentu saja ini sesuai dengan
semangat progam pemerintahan Presiden Joko Widodo, Nawa Cita nomor tiga: “Membangun
Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam
kerangka negara kesatuan”.
Dalam APBN 2016, secara mengejutkan dana
transfer ke daerah dan dana desa mengalami kenaikan begitu besar, sebesar Rp.
770,2 triliun. Jumlah tersebut terdiri dari: Rp. 723,3 triliun dana transfer ke
daerah dan 47 triliun dana desa jika dibanding dengan dana desa pada APBNP 2015
yang sebesar 20 triliun, dana desa pada APBN 2016 mengalami kenaikan lebih dua
kali lipat. Namun, pada RAPBNP 2016 usulan pemerintah angka tersebut sempat
diturunkan menjadi Rp. 758,3 triliun, terdiri dari Rp. 711,3 triliun dana
transfer ke daerah dan Rp. 47 triliun dana desa.
Penurunan tersebut sempat memicu kritik
terutama terhadap pemerintah karena dianggap tidak konsisten membangun daerah
dan desa. Pemerintah pusat dilabeli “linta penghisap” kekayaan daerah, tanpa
memerhatikan pembangunan daerah dan desa. Penurunan anggaran daerah dan desa akan
berdampak serius bagi pembangunan di daerah. Beberapa proyek dipastikan “mangkrak” dan tak berlanjut akibat
penurunan tersebut. Setelah melalui kajian panjang dan hasil revisi asumsi
ekonomi makro seperti asumsi peningkatan
harga minyak mentah, lifting migas
dan penurunan cost recovery,
pemerintah dan DPR kembali menaikkan anggaran dana transfer ke daerah dan dana
desa. Dana tersebut mengalami kenaikan menjadi sebesar Rp. 776,3 triliun, yang
terdiri dari Rp. 729,3 triliun dan Rp. 47 triliun dana desa.
Anggaran yang demikian besar untuk daerah dan
desa harus dibarengi dengan serapan yang tinggi. Pemda dan aparatur desa dituntut
untuk dapat memaksimalkan anggaran tersebut dengan membuat perencanaan matang. Namun
nyatanya hal tersebut belum terlihat dalam triwulan pertama 2016. Kementerian
Keuangan menyampaikan serapan anggaran dana desa pada triwulan pertama hanya Rp.
7 triliun dari anggaran Rp. 47 triliun. Ini tentu menjadi catatan yang harus
diperhatikan. Pemerintah desa diminta untuk tidak terkaget dengan anggaran yang
demikian besar, lalu tidak berbuat apa-apa untuk pembangunan.
Besarnya dana transfer daerah patut mendapat
pengawalan dari penegak hukum dan civil
society. Pasalnya, pada 2014 lalu Indonesia
Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa korupsi di lingkungan Pemda semakin
meningkat. Tercatat 97 kasus melibatkan Pemda dan 25 orang menjadi tersangka. Jika
dana daerah dibiarkan tanpa pengawasan, bisa saja korupsi yang dilakukan pejabat
daerah meningkat tajam. Peningkatan kualitas SDM Pemda juga mutlak dilakukan. Pelayanan
publik yang diberikan Pemda masih jauh dari harapan. Data Ombudsman RI
menunjukkan masih banyak Pemda yang melakukan pelayanan publik di bawah standar.
Dari 114 Kabupaten/Kota di Indonesia, hanya enam Kabupaten/Kota yang mendapat
predikat layak melayani publik. 75 Kabupaten/Kota menyandang predikat buruk
dalam pelayanan publik dan 33 Kabupaten/Kota mendapat predikat sedang. Rendahnya
kualitas pelayanan menjadi hulu munculnya maladministrasi, dan bermuara pada
korupsi.[1]
Komitmen membangun daerah dan desa bukan
semata menaikkan anggaran, tetapi juga membangun sumber daya manusia dan
infrastruktur di daerah. Selain itu, peningkatan kualitas pelayanan publik juga
menjadi indikator kemajuan daerah. Pemerintah tidak boleh abai, dan harus
menegaskan diri sebagai pelayan masyarakat. APBNP telah mendukung perangkat
memajukan pembangunan daerah dan desa dengan penambahan anggaran.
[1] Lihat: Ringkasan
hasil penelitian kepatuhan pemerintah pusat dan pemerintah daerah terhadap
standar pelayanan publik sesuai UU No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik, Tim
Penelitian dan Pengembangan Bidang Pencegahan ORI, 2015