Oleh:
Ali Thaufan DS
Tahun
ajaran baru bagi para siswa bisa menjadi momentum yang membahagiakan. Sebagian siswa
mungkin merasakan kebahagiaan karena mendapat perlengkapan baru untuk
bersekolah seperti: sepatu, tas, buku, sepeda dan lainnya. Alat-alat sekolah
yang baru tersebut menjadi cambuk semangat bagi mereka dalam bersekolah. Para wali
murid menyambut tahun ajaran baru dengan kesibukan memilih perlengkapan yang
akan dikenakan putra dan putrinya. Beberapa toko perlengkapan sekolah “banting
harga” guna meraup untung besar di masa tahun ajaran baru. Suasana penuh dengan
semangat untuk kembali ke sekolah. Tetapi, suasana tahun ajaran baru juga
diwarnai hal-hal yang tidak diinginkan, yakni masa orientasi siswa (MOS) yang
melanggar aturan. Tulisan ini berangkat dari pemberitaan berbagai media seputar
MOS yang diwarnai pelanggaran. Hal tersebut menuai kritik dari banyak kalangan
seperti pakar pendidikan dan juga orang tua siswa.
MOS
memang menjadi sesuatu yang menyita perhatian guru dan murid setiap kali
pembukaan tahun ajaran baru. Para siswa terutama yang lebih senior ambil bagian
untuk “mengembleng” adik kelas mereka yang baru masuk sekolah. Mereka yang
menjadi panitia MOS memberikan ragam peraturan khas (bukan peraturan
pemerintah) bagi para siswa baru. Diberbagai media cetak dan elektronik,
penulis mendapati gambar suasana MOS dibeberapa sekolah yang menampilkan
pakaian siswa dengan macam atribut. Pakaian yang digunakan cukup unik tetapi
juga aneh. Warna-warni kertas menghiasi pakaian mereka, sepatu yang diikat
dengan tali rafia serta kaos kaki “belang-belang”, tak jarang menghiasi pakaian
khas MOS dibeberapa sekolah. Keadaan tersebut yang dinilai tidak mencerminkan
esensi dari tujuan diadakannya MOS. Atribut yang bermacam-macam tersebut cukup menyibukkan
para wali murid.
Di Kota
Bandung, MOS diwarnai dengan aksi perpeloncoan siswa baru. Para orang tua murid
yang tergabung dalam Forum Orang Tua Siswa Kota Bandung mencatat terdapat dua
sekolah tingkat menengah atas yang melakukan perpeloncoan. MOS yang dilakukan
diwarnai dengan aksi hukuman fisik bagi siswa. Tindakan tersebut menuai kritik
dari berbagai kalangan pamangku jabatan di Kota Kembang tersebut, termasuk juga
Wali Kota, Ridwan Kamil. Hukuman fisik bagi para peserta MOS dapat mengarah
pada tindak kekerasan di sekolah. Perilaku kekerasan yang sering kali mewarnai
MOS oleh pengamat pendidikan disebut sebagai aksi balas dendam. Para siswa yang
melanggar peraturan MOS kerap mendapat hukuman fisik dari senior mereka. Itulah
sebabnya MOS selalu sulit dihindarkan dari aksi kekerasan.
Penyelenggaraan
MOS sebetulnya telah diatur melalui Permendikbud No. 55 Tahun 2014 tentang Masa
Orientasi Peserta Didik Baru di Sekolah. Dalam pasal 2 peraturan tersebut
dinyatakan dengan tegas bahwa tujuan dari MOS adalah untuk memberikan pengenalan
kepada siswa baru tentang lingkungan sekolah, progam-progam di sekolah, cara
belajar dan sebagaiannya. Jika dicermati, Permendikbud tersebut memberi garis
koridor tentang melaksanaan MOS yang mengarah pada hal-hal positif bagi siswa
didik. Bahwa peraturan tersebut melarang keras segala bentuk kekerasan fisik,
pelecehan seksual dan kegiatan yang merugikan di dalam MOS.
Dalam
menghadapi MOS pada tahun ajaran 2015 ini, Menteri Pendidikan, Anis Baswedan
juga secara khusus menghimbau agar penyelenggaraan MOS dapat dilaksanakan
sebagaimana mestinya. Anis menghimbau kepala daerah dan masyarakat –khususnya orang
tua murid- untuk turut serta mengawasi pelaksanaan MOS. Kementerian Pendidikan
juga menghimbau agar pelanggaran yang terjadi pada pelaksanaan MOS dapat
disampaikan kepada Dinas Pendidikan terkait. Semua itu adalah upaya agar MOS
dapat diselenggarakan dengan baik, jauh dari kesan perilaku primitif.
Pada
masa yang akan datang, pemerintah perlu merumuskan dan memberlakukan peraturan
penyelenggaraan MOS yang lebih baik. Ada banyak hal yang dapat dilakukan para
siswa baru di MOS untuk mendorong kreativitas, mentalitas dan bakat mereka. Kegiatan
yang bersinggungan dengan lingkungan sekitar sekolah seperti kerja bakti dan bakti
sosial sepertinya perlu dijadikan pertimbangan dalam pelaksanaan MOS. Hal tersebut
secara tidak langsung mendorong para murid untuk peka terhadap realitas sekitar
lingkungan sekolah. Pemerintah harus menetapkan tujuan yang harus dicapai dalam
setiap pelaksanaan MOS di sekolah, bukan hanya peraturan semata.