Senin, 15 Juni 2015

Memerdekakan Si Kecil (Catatan Atas Kekerasan dan Pembunuhan Pada Anak)



Oleh: Ali Thaufan DS
 
Suatu ketika saat sedang menikmati makan siang di sebuah restoran pusat perbelanjaan Jakarta Selatan, saya pernah merasa “kesal”. Kesal bukan karena masakan yang tidak enak, tetapi karena melihat seorang ibu sedang asik selfie dengan handphone barunya sedangkan pada waktu yang sama anaknya meraung menangis tak dihiraukan. Saya berpikir kenapa ibu itu acuh pada anak balita yang saya pikir cukup menggemaskan. Kekesalan yang sama juga pernah saya rasakan saat berhenti di traffic light, anak-anak kecil dengan wajah sedihnya sedang meminta-minta. Bukan karena rupiah yang mereka minta, tapi karena anak-anak itu dibiarkan. Kemana orang tuanya? 

Selain kedua fenomena tersebut, saya juga terkadang tidak habis pikir saat orang tua membonceng anak, dan anak tersebut tanpa dilengkapi pakaian yang “safety” –atau katakanlah mengenakan jaket. Terlebih lagi, orang tua membonceng dengan kecepatan tinggi melewati kepulan debu tebal. Bukankan itu cukup membahayakan anak? Tulisan ini hadir dari pembacaan media atas pembunuhan terhadap seorang anak berusia 8 tahun bernama Angeline, sekaligus keprihatinan atas kekerasan pada anak.

Fenomena kekerasan hingga pembunuhan pada anak-anak bukan hal baru yang terjadi di Indonesia. Pada tahun 2014 misalnya, Komite Nasional Perlindungan Anak mencatat sebanyak 480 kasus kekerasan anak. Dan, karena banyaknya kasus tersebut tidak semua dapat ditangani. Kasus tersebut patut mendapat perhatian serius. Tidak hanya para orang tua, tetapi juga penegak hukum, polisi. 

Kasus pembunuhan Angeline yang terungkap pada Juni 2015 ini menambah daftar panjang kekerasan dan pembunuhan pada anak. Setelah dinyatakan hilang selama tiga pekan, Angeline ditemukan terkubur di pekarangan rumah, dekat kandang ayam. Pembunuhan tersebut mengundang simpati banyak orang. Seperti diberitakan, pembunuhan tersebut dilakukan cukup sadis karena –menurut dugaan- dilakukan oleh orang tua angkatnya sendiri yang membayar orang untuk membunuhnya. Terlebih lagi, sebelum dibunuh, Angeline sempat mengalami kekerasan seksual. Ini merupakan kebiadaban yang tak bisa ditolelir.
 
Pembunuhan pada anak –seperti halnya yang menimpa Angeline- bisa menjadi “pukulan” bagi pengusaha yang menawarkan jasa asuh anak. Pembunuhan tersebut tentu saja menjadi pelajaran berharga bagi orang tua yang menitipkan anak pada jasa pengasuh. Berdasarkan pengalaman kasus yang terjadi, pembuhunan pada anak-anak kerap dilakukan oleh orang terdekat.

Fenomena kekerasan hingga pembunuhan terhadap anak telah mencederai dan merebut kemerdekaan anak. Anak-anak kecil seharusnya menikmati masa-masa bahagianya bersama aneka mainan –boneka, robot-robotan, mobil-mobilan dan sebagainya. Keceriaan anak-anak tidak boleh direnggut karena dapat menimbulkan trauma berkepanjangan hingga usianya beranjak dewasa. Pemerintah perlu kiranya merumuskan undang-undang yang mengatur perlindungan anak dan menjerat pelaku kekerasan pada anak dengan seberat-beratnya hukuman. Kekerasan pada anak, selain bertentangan dengan norma agama juga berarti “membunuh” generasi bangsa. Apakah kita akan tinggal diam melihat kemerdekaan si kecil terancam?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar