Oleh: Ali Thaufan
DS
Suatu ketika saat
sedang menikmati makan siang di sebuah restoran pusat perbelanjaan Jakarta
Selatan, saya pernah merasa “kesal”. Kesal bukan karena masakan yang tidak enak,
tetapi karena melihat seorang ibu sedang asik selfie dengan handphone
barunya sedangkan pada waktu yang sama anaknya meraung menangis tak dihiraukan.
Saya berpikir kenapa ibu itu acuh pada anak balita yang saya pikir cukup
menggemaskan. Kekesalan yang sama juga pernah saya rasakan saat berhenti di traffic
light, anak-anak kecil dengan wajah sedihnya sedang meminta-minta. Bukan karena
rupiah yang mereka minta, tapi karena anak-anak itu dibiarkan. Kemana orang
tuanya?
Selain kedua
fenomena tersebut, saya juga terkadang tidak habis pikir saat orang tua
membonceng anak, dan anak tersebut tanpa dilengkapi pakaian yang “safety”
–atau katakanlah mengenakan jaket. Terlebih lagi, orang tua membonceng dengan
kecepatan tinggi melewati kepulan debu tebal. Bukankan itu cukup membahayakan
anak? Tulisan ini hadir dari pembacaan media atas pembunuhan terhadap seorang
anak berusia 8 tahun bernama Angeline, sekaligus keprihatinan atas kekerasan
pada anak.
Fenomena kekerasan
hingga pembunuhan pada anak-anak bukan hal baru yang terjadi di Indonesia. Pada
tahun 2014 misalnya, Komite Nasional Perlindungan Anak mencatat sebanyak 480
kasus kekerasan anak. Dan, karena banyaknya kasus tersebut tidak semua dapat
ditangani. Kasus tersebut patut
mendapat perhatian serius. Tidak hanya para orang tua, tetapi juga penegak
hukum, polisi.
Kasus pembunuhan
Angeline yang terungkap pada Juni 2015 ini menambah daftar panjang kekerasan dan
pembunuhan pada anak. Setelah dinyatakan hilang selama tiga pekan, Angeline
ditemukan terkubur di pekarangan rumah, dekat kandang ayam. Pembunuhan tersebut mengundang simpati
banyak orang. Seperti diberitakan, pembunuhan tersebut dilakukan cukup sadis
karena –menurut dugaan- dilakukan oleh orang tua angkatnya sendiri yang
membayar orang untuk membunuhnya. Terlebih lagi, sebelum dibunuh, Angeline
sempat mengalami kekerasan seksual. Ini merupakan kebiadaban yang tak bisa
ditolelir.
Pembunuhan pada anak –seperti
halnya yang menimpa Angeline- bisa menjadi “pukulan” bagi pengusaha yang
menawarkan jasa asuh anak. Pembunuhan tersebut tentu saja menjadi pelajaran
berharga bagi orang tua yang menitipkan anak pada jasa pengasuh. Berdasarkan
pengalaman kasus yang terjadi, pembuhunan pada anak-anak kerap dilakukan oleh
orang terdekat.
Fenomena kekerasan
hingga pembunuhan terhadap anak telah mencederai dan merebut kemerdekaan anak.
Anak-anak kecil seharusnya menikmati masa-masa bahagianya bersama aneka mainan –boneka,
robot-robotan, mobil-mobilan dan sebagainya. Keceriaan anak-anak tidak boleh
direnggut karena dapat menimbulkan trauma berkepanjangan hingga usianya
beranjak dewasa. Pemerintah perlu kiranya merumuskan undang-undang yang
mengatur perlindungan anak dan menjerat pelaku kekerasan pada anak dengan
seberat-beratnya hukuman. Kekerasan pada anak, selain bertentangan dengan norma
agama juga berarti “membunuh” generasi bangsa. Apakah kita akan tinggal diam
melihat kemerdekaan si kecil terancam?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar