Oleh: Ali Thaufan DS
Antusiasme masyarakat menyambut datangnya
bulan Ramadhan banyak terjadi dibeberapa daerah dengan ragam cara. Penyambutan
Ramadhan ada yang dilakukan dengan cara selametan,
bancakan, ziarah kubur dan
sebagainya. Hal tersebut telah mengakar, menjadi tradisi dan identitas
tersendiri di Indonesia. Tetapi, satu hal yang pasti terjadi menjelang Ramadhan
adalah kenaikan harga kebutuhan pokok. Tulisan ini berangkat dari pengalaman,
bahwa menjelang bulan puasa dan hari raya ditandai dengan kenaikan harga
pangan.
Penulis memang tidak banyak mengetahui
tentang hubungan produksi dan ekonomi. Tetapi ada hal yang penulis pahami bahwa
apabila kebutuhan terhadap sebuah produk (barang) meningkat, maka barang
tersebut akan diproduksi dalam jumlah banyak. Jumlah produksi barang yang
banyak akan membuat harga produk tersebut bisa lebih murah, ekonomis dan
semakin terjangkau. Itu rumusan tentang produksi yang saya ketahui. Lalu
pertanyaannya adalah: menjelang bulan Ramadhan, mengapa barang yang jumlahnya
banyak dan sedang dikonsumsi orang banyak justru meningkat harganya? Kenyataan
ini selalu terjadi dan dapat dirasakan ketika menjelang atau saat bulan
Ramadhan.
Pengaturan harga kebutuhan pokok memang
ditentukan pasar. Adakalanya barang tiba-tida mengalami kenaikkan harga secara
drastis, tetapi juga terkadang turun secara drastis pula. Keadaan demikian
terkadang diperparah dengan kelangkaan barang kebutuhan tersebut. Keadaan yang
demikian tentu menjadi ironis. Pasalnya Indonesia dengan jumlah penduduk yang
cukup banyak sangat bergantung pada ketersediaan barang yang mencukupi. Negara
seharusnya tidak boleh tinggal diam atas “kisruh” pasar dengan naiknya harga
kebutuhan pokok dan kelangkaan barang kebutuhan tersebut. Ini disebabkan
menyangkut hajat hidup orang banyak.
Terkait dengan datangnya bulan Ramadhan dan
lebaran yang diramaikan dengan suasana mudik, penulis mendapati fenomena
kenaikan harga kebutuhan. Pertama,
kenaikan harga kebutuhan dasar seperti pangan. Dalam beberapa hari sebelum
Ramadhan, bahan pangan tiba-tiba mengalami kenaikan. Harian Kompas mencatat
paling tidak ada sejumlah kebutuhan pokok yang mengalami kenaikan seperti:
beras, gula pasir, minyak goring, telur ayam, cabai dan bawang merah. (Kompas 5/6/2015).
Memang, kenaikan tersebut tidak terjadi secara serentak diseluruh daerah,
tetapi hanya beberapa daerah tertentu saja. Tentu saja kenaikan ini kian
membebani masyarakat, karena sebelumnya juga terjadi kenaikan BBM non subsidi
jenis Pertamax.
Harga kebutuhan kedua yang kerap mengalami lonjakan harga adalah tranportasi. Untuk
yang kedua ini selalu terjadi tidak hanya menjelang Ramadhan, tetapi juga saat
musim libur. Kenaikan harga tiket transportasi umum tentu sangat membebani
masyarakat. Ribuan orang didaerah perantauan harus menyisihkan uang lebih guna
membeli tiket. Yang menjadi persoalan bukan harga tiket yang melonjak, tetapi
ketersediaan tiket juga terbatas. Bahkan, tiket kereta api untuk dua pekan
menjelang lebaran ludes terjual.
Selain naiknya harga tiket, para pengguna
angkutan umum (pemudik) tersebut juga “tersiksa” sarana dan prasana
transportasi yang jauh dari kenyamanan. Paling tidak dua hal yang menyebabkan
hilangnya kenyamanan pemudik: fasilitas kendaraan yang minim dan jalan rusak
berat. Ketidaknyaman tersebut ibarat lagi lagu lama yang tak ada habisnya. Dari
tahun ke tahun, persoalan transportasi menjadi kendala serta kenyataan pahit bagi
pemudik.
Kenaikan kebutuhan pokok tersebut di atas
tidak boleh dianggap remeh. Negara jangan abai atas persoalan tersebut. Negara
harus menjamin kesiapan menghadapi Ramadhan dan musim mudik. Ketersediaan
pangan dan sarana prasarana transportasi patut mendapat perhatian. Terpenting,
negara harus merumuskan bagaimana cara menghindari kenaikan bahan pokok yang
terlampau tinggi dan terjadi tiap kali jelang Ramadhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar