Oleh: Ali Thaufan DS
Suatu ketika, saat melintasi salah satu sekolah swasta di Ciputat,
saya bertanya pada rekan saya, “Kenapa anak-anak sekolah ini diantar orang
tuanya dengan menggunakan mobil mewah?, ini kan bisa membuat macet jalan depan
sekolah?”. Teman saya dengan ringan menjawab, “Mereka butuh nyaman, ketimbang
naik angkutan umum yang membahayakan”. Dari obrolan singkat ini saya kemudian berpikir
bahwa angkutan umum yang ada –khususnya di Jakarta- belum memberi kenyamanan
penumpangnya. Tulisan ini berangkat dari pembacaan media dan fenomena terkait
kondisi angkutan umum yang ada di Jakarta. Paling tidak ada beberapa hal
penting yang patut digarisbawahi, yakni: fasilitas angkutan umum yang jauh dari
kata nyaman dan kejahatan yang terjadi –baik pencopetan, pemerkosaan bahkan
pembunuhan.
Para pakar transportasi di Jakarta mengungkapkan kemacetan parah di
Ibu Kota ini adalah ekses dari banyaknya jumlah kendaraan, serta minimnya
kesadaran menggunakan angkutan umum. Banyak orang lebih memilih menggunakan
kendaraan pribadi dari pada harus naik angkutan umum. Pemerintah bukan tinggal
diam. Beberapa perbaikan terkait sarana dan prasarana angkutan umum dilakukan.
Pada Juni 2015, pemerintah DKI Jakarta menambah armada bus transjakarta
sebanyak 20 unit.
Pembangunan infrastruktur jalan terus dilakukan guna meminimalisir
kemacetan. Memang, sejak dimulainya pembangunan mass rapid transit (MRT), pengguna jalan di Jakrta harus merasakan
kemacetan yang lebih parah dari sebelumnya. Selain MRT, pemerintah juga
berencana membangun light rail transit
(LRT). Pembangunan tersebut diharapkan menjadi jalan keluar dan solusi atasi
kemacetan.(Kompas 23/06/2015).
Pembangunan yang sedemikian pesat dilakukan tidak akan berarti dan
membuat masyarakat sadar menggunakan angkutan umum jika tidak dibarengi dengan
kenyamanan dalam angkutan tersebut. Kejahatan yang sering terjadi di angkutan
umum selalu menjadi hal menakutkan bagi penumpang. Tidak hanya pencurian
(pencopetan) yang menghantui penumpang, tetapi juga pemerkosaan bahkan
pembunuhan. Tentu ini yang menjadi “PR” berat bagi pemerintah. Hak kenyamanan
penumpang direnggut oleh orang-orang yang melakukan tindakan biadab –baik
pencopetan dan pemerkosaan. Selain kejahatan tersebut, tidak sedikit sopir yang
“ugal-ugalan” saat mengemudi. Tentu ini membuat tak nyaman penumpang.
Menjelang akhir bulan Juni ini publik kembali dikejutkan dengan
peristiwa pemerkosaan yang dilakukan sopir angkutan umum. Tindakan biadab
tersebut bukan kali pertama. Dari data yang penulis himpun, sejak tahun 2011
sampai saat ini terjadi empat kasus pemerkosaan di angkutan umum. Kasus
pemerkosaan di angkutan umum terjadi pada Agustus 2011 menimpa Livia Pavita Soelitio mahasiswa Universitas swasta di Jakarta,
pada September 2011 menimpa karyawati berinisial RS di Depok Jawa Barat, pada Juli 2012 perempuan berinisial IS hampir di perkosa
–sebelum akhirnya digagalkan oleh anggota TNI- di Jakarta.
Kejadian kasus yang terulang-ulang ini menunjukkan lemahnya pengawasan
aparat keamanan, khususnya saat malam hari. Ini menjadi pelajaran penting bagi
penumpang angkutan umum khususnya di malam hari. Agar kasus-kasus tersebut
tidak terulang, perlu penanganan serius. Pemerintah –dalam hal ini kementerian
perhubungan- dapat bekerja sama dengan aparat kepolisian melakukan pengawasan
atau patroli malam. Selain itu, razia terhadap kaca mobil yang menggunakan kaca
film perlu terus dilakukan. Selain itu, paling penting adalah kontrol terhadap
sopir. Jasa angkutan umum perlu menyeleksi sopir guna mendapatkan sopir yang, paling tidak punya
tanggung jawab moral selain terhadap
kendaraan juga pada penumpang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar