Oleh: Ali Thaufan DS
“Ayo, ayo Indonesia, ku ingin
kita harus menang”. Teriakan dan nyayian tersebut menggema di stadion, hampir setiap
laga tim sepak bola nasional Indonesia. Penonton berduyun-duyun datang ke
stadion untuk menjadi “pemain kedua belas” bagi tim. Animo penonton cukup
tinggi menyaksikan laga sepak bola timnas. Bagi penulis, ini berarti kita dipertemukan,
disatukan dan dihibur lewat sepak bola. Tetapi, semangat pemain dan penonton
serta pecinta timnas tercederai saat muncul dugaan adanya “mafia” sepak bola
yang mengatur hasil akhir pertandingan.
Para pengamat sepak bola
memaparkan bahwa “mafia bola” adalah istilah yang menjelaskan pengaturan skor
bola sebelum pertandingan. Hal tersebut dapat dilakukan melalui luar lapangan
atau saat pertandingan. Salah satu cara yang dilakukan pada saat pertandingan
adalah dengan cara “nyikat” kaki lawan, sengaja membuat gol bunuh diri
dan masih banyak lainnya. Hal tersebut dimaksud untuk memenangkan salah satu
tim tertentu. Semua dapat diganti dengan uang, sportivitas dibayar dengan uang.
Tindakan tersebut sangat sarat dengan perjudian. Harga diri dan kebesaran tim
sebuah negara digadaikan. Tulisan ini berangkat dari pembacaan media atas
pemberitaan terkait dugaan adanya mafia bola yang menjualbelikan skor akhir
pertandingan.
Setelah sebelumnya pemerintah
membubarkan PT. Petral –anak perusahaan PT. Pertamina- yang dianggap sebagai
sarang mafia minyak dan gas, giliran persatuan sepak bola Indonesia (PSSI) juga
dibekukan. Banyak alasan yang mendasari pembekuan tersebut, salah satunya: PSSI
sarang mafia bola. Saat itu juga, liga sepak bola Indonesia pun terhenti. Ini bencana
bagi pelaku sepak bola Indonesia, para pemain kehilangan pekerjaan; klub
kehilangan penghasilan; serta pecinta bola kehilangan hiburan tontonan laga
pertandingan. Sepak bola Indonesia semakian tak menarik lagi. Para stakeholder
saling tuding atas ketidakberesan persepakbolaan dalam negeri.
Kemana arah tujuan persepakbolaan
tanah air? Keadaan ini menjadi “aib” bagi Indonesia. Prestasi Indonesia
ditingkat sepak bola internasional semakin melorot, jauh dari harapan. Mimpi untuk
menjadi tuan rumah Piala Dunia –yang entah kapan terjadi- harus dikubur
dalam-dalam. Pecinta bola harus mengakui betapa buruknya manajemen sepak bola
tanah air. Pecinta bola tentu akan mudah mendapati berita tentang tunggakan
klub terhadap gaji pemain. Ini merupakan isyarat buruk. Hak-hak pemain tak
dipenuhi. Bagaimana mereka dapat bertanding secara profesional?
Prestasi buruk Indonesia pada
cabang sepak bola di Sea Games Singapure 2015 menyisakan pertanyaan besar. Dugaan
mafia bola mengatur skor agar timnas Indonesia kalah atau mengalah. Seseorang yang
tak mau menyebut namanya tiba-tiba ramai dibicarakan publik karena pengakuannya
yang turut mengatur skor –atau katakanlah mengungkap adanya jual beli hasil
akhir pertandingan. Ibarat jatuh tertimpa tangga. Prestasi timnas yang tak
menggembirakan di Sea Games dilengkapi dengan isu dugaan adanya pengaturan
skor.
Memang, kabar adanya mafia bola
bukan hal baru dalam sejarah persepakbolaan Indonesia. Dugaan adanya mafia bola
juga sempat mengemuka pada final Piala Aff 2010, kala itu timnas Indonesia “digayang”
tim Malaysia 3-0 di Stadion Bukit Jalil. Semua dilakukan demi uang. Selain kasus
tersebut, pecinta bola tentu masih ingat dalam beberapa kasus pertandingan
terdapat tim yang memainkan “sepak bola Gajah”, sengaja mengalah demi
menghindari lawan atau tim yang lebih kuat.
Sedemikian mahal kah sepak bola
kita, sehingga untuk mendapat suguhan sepak bola “hakiki” para pecinta bola
amat kesulitan. Ini bukan sekedar “PR” bagi pemerintah. Para pelaku sepak bola
harus menyadari betul betapa sepak bola Indonesia masih terbelakang dalam
berbagai hal. Pecinta bola masih bisa melihat pengelolaan tim belum dilakukan
dengan profesional dan pengelolaan sarana dan prasarana masih di bawah standar.
Terkhusus dugaan mafia bola, hal tersebut tidak bisa diabaikan begitu saja. Perlu
ada keberanian berbagai pihak terkait guna pengusutan hal tersebut.