Senin, 13 April 2015

“Lagi-Lagi” Mega (Membaca Peta PDIP Pasca Kongres Ke-IV)



Oleh: Ali Thaufan DS
 
Kongres ke-IV Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di Bali pada April 2015 menyisahkan beribu pertanyaan. Tema kongres “Aku Melihat Indonesia” telah mengantarkan Megawati Sukarnoputri kembali menduduki kursi ketua umum. Seperti diprediksi para pengamat politik, Mega akan kembali dikukuhkan sebagai ketua umum mengingat sosoknya yang dianggap sentral di partai berlambang kepala banteng tersebut. Tulisan ini hadir dari pembacaan media atas kongres ke-IV PDIP. Beberapa kejadian mengagetkan terjadi pada kongres tersebut yang tidak mungkin tertutupi, media merekamnya.

Salah satu hal yang menjadi sorotan pada saat kongres adalah pidato sang ketua umum, Megawati. Dalam pidatonya, ia tegas mengatakan bahwa kader partai yang berada di pemerintahan adalah petugas partai. Mega bahkan mempersilahkan kader partainya yang tidak mau dianggap sebagai petugas partai untuk keluar. Ini ia nyatakan dengan tegas. Interpretasi dari pernyataan Mega adalah bahwa para kader yang duduk di kursi pemerintahan dan legislatif, selain menjadi wakil rakyat dan abdi rakyat, juga menjadi petugas partai. Implikasi dari pernyataan tersebut menyiratkan pesan bahwa partai punya kendali kuat kepada kader yang menduduki jabatan publik. Tentu ini sangat disayangkan. Sejatinya, pejabat publik dan wakil rakyat, bukan saja “milik” partai politik, tetapi juga milik rakyat banyak, seluruh Indonesia.

Selanjutnya yang menjadi sorotan penulis adalah kehadiran presiden RI, Joko Widodo yang juga kader PDIP. Sebagai presiden dan kader partai, secara mengejutkan Jokowi tidak diberi panggung untuk menyampaikan sepatah atau dua patah kata sambutan. Oleh kebanyakan pengamat politik, hal ini dianggap sebagai bentuk “penghinaan” terhadap sosok presiden. Sepatutnya, seorang presiden yang menghadiri acara seperti kepartaian mendapat porsi istimewa untuk menyampaikan sambutan, pidatonya. Karena tidak dipersilahkannya Jokowi memberi sambutan, muncul spekulasi adanya hubungan yang tidak harmonis antara ketua umum PDIP Megawati dengan Jokowi –kader dan sekaligus presiden RI.

Satu hal lagi yang menjadi sorotan penulis adalah komposisi dan wajah kepengurusan baru PDIP kedepan, 2015-2020. Pada kepengurusan periode yang akan datang, sejumlah nama “beken” yang menjadi icon tokoh politik PDIP “tersingkir” dari kepengurusan. Mereka yang tidak masuk namanya sebagai pengurus antara lain: Maruarar Sirait, Rieke Diyah Pitaloka, Eva Kusuma Sundari dan Pramono Anung. Padahal, keempat nama tersebut mempunyai sumbangsih besar bagi PDIP, terutama pada saat pemenangan pemilihan presiden 2014 lalu. Selain itu, ketika putri Megawati, Puan Maharani tidak sanggup melakukan komunikasi politik atas perseteruan koalisi merah putih (KMP) dan koalisi Indonesia hebat (KIH), Pramono Anung lah yang mampu menjembatani dan menjalin komunikasi politik beberapa waktu lalu. Ini membuktikan kepiawaian politik seorang Pramono. Tetapi, secara mengejutkan ia tidak lagi masuk jajaran pengurus PDIP periode kedepan. Ada apa ini semua?

Menurut dugaan sementara penulis, pernyataan Mega yang menegaskan bahwa kader PDIP adalah petugas partai yang akan selalu tunduk pada perintah partai –atau katakanlah perintah ketua umum- merupakan penegasan kuasa Mega dalam pemerintahan sekarang. Memang terkesan “arogan”. Mega yang mendapat tekanan pada saat orde baru kini dapat dengan leluasa menggunakan kuasanya ketika memegang tapuk kekuasaan. Pada saat bersamaan, ini justru dapat menjadi “blunder” bagi PDIP. Harus diakui, bahwa kemenangan PDIP saat pemilu lalu juga atas citra Jokowi yang kala itu menjadi “priomadona media”.

Selanjutnya, tidak masuknya nama-nama “beken” di atas, bagi penulis menyiratkan pesan bahwa Mega tidak ingin tergantikan. Tetapi dengan tidak masuknya nama-nama politisi senior PDIP seperti tersebut di atas, sekaligus dapat memberi kesempatan bagi kader muda PDIP untuk berkiprah di dalam kepengurusan. Anak-anak muda kader PDIP mendapat porsi untuk membangun partai memenangkan pemilihan umum yang akan datang. Namun demikian, mereka tidak bisa “ditinggalkan” begitu saja. Perlu ada perlakuan istimewa bagi mereka para kader yang telah berjibaku memenangkan PDIP saat pemilu lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar