Senin, 30 Maret 2015

Indonesia Darurat. Indonesia Maafkan Kami



Oleh: Ali Thaufan DS
 
Begitu tulisan singkat ini menjadi sebuah tulisan sederhana –isinya curhatan- penulis sedikit “galau” dan diliputi sedikit ketakutan dalam memberinya judul. Lalu, tiba-tiba saja terlintas untuk memberi judul “Indonesia Darurat. Indonesia Maafkan Kami”. Tulisan ini bermaksud menggambarkan keadaan negara yang “carut marut”, dan ketidakmampuan setiap elemen masyarakat untuk memperbaiki –atau mungkin sangat sulit memperbaiki. 

Hingga akhir bulan Maret 2015, Indonesia terus didera dengan berbagai persoalan yang cukup serius. Ekspektasi masyarakat luas dengan hadirnya pemimpin baru bernama Joko Widodo dan Jusuf Kalla kini tinggal mimpi belaka. Janji suci yang mereka ucap saat kampanye dan pelantikannya sebagai pemimpin negara satu demi satu diingkari. Kekesalan terus mengalir atas berbagai kebijakan pemerintah yang dinilai tidak mendatangkan maslahat bagi kehidupan masyarakat.

Pada awal-awal pemerintahan Jokowi JK, negara ini mengalami kegaduhan politik di DPR; naik-turun harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi; kenaikan harga-harga bahan pokok; dollar terus naik dan rupiah loyo; polemik KPK dan Polri; dualisme kepemimpinan partai (PPP dan Partai Golkar); serta sederet persoalan yang terus muncul. Hal ini menimbulkan ekses pada ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Indonesia dalam darurat lintas sektor.

Mengenai kenaikan dan penurunan harga BBM bersubsidi, masyarakat awam dibuat kebingungan. Kebijakan pemerintah atas naik dan turunnya harga BBM dinilai sebagai ketidakkonsistenan dalam menciptakan stabilitas ekonomi. Iming-iming bahwa subsidi BBM yang akan dialokasikan disektor infrastruktur belum juga terlihat. Memang, ini bukan persoalan mudah. Ibarat seseorang yang sedang menabung, Indonesia mungkin baru dapat menikmati tabungan itu dalam beberapa tahun kedepan. Tetapi, masyarakat umum tentu perlu mendapat pengertian akan hal ini. Sehingga kebijakan pemerintah –soal kenaikan BBM bersubsidi- tidak menimbulkan gejolak ekonomi. 

Safari kenegaraan yang dilakukan Presiden Jokowi dalam beberapa waktu terakhir perlu mendapat perhatian. Pasalnya, buah tangan dari safari tersebut adalah membawa pesan negara lain untuk berinvestasi di Indonesia. Nilainya cukup besar, ratusan triliun. Ini, bagi penulis memaksa Indonesia untuk terlibat aktif dalam perdangan bebas. Pertanyan yang patut diajukan adalah: kami, rakyat Indonesia dapat apa? Apa sekedar mendapat jatah buruh, penjaga aset asing? Memang, pada satu sisi negara ini membutuhkan investor asing. Tetapi pada sisi lain, penulis pertegas, bahwa negara wajib menjaga kadaulatan, terutama ekonomi.

Penguasaan sektor-sektor penting di bidang ekonomi oleh korporasi asing cukup menjadi pengalaman berharga yang “menyakitkan”. Beberapa perusahaan luar negeri yang menancapkan investasinya hingga “menggurita” memaksa bangsa ini membeli hasil bumi sendiri. Tentu saja hal ini menyalahi UUD yang menjadi rujukan otoritatif dalam mengelola bangsa. Indonesia terpaksa membeli hasil bumi yang dikeluarkan dari dalam bumi Indonesia. Kedepan, pemerintah jangan lagi “kecolongan” dalam pengelolaan sektor penting penunjang keberlangsungan ekonomi.

Alasan bahwa SDM Indonesia dibawah standar terkesan menyudutkan kapasitas dan kemampuan anak bangsa. Zaman ini berjalan, saat ini tidak sedikit anak-anak bangsa yang menunjukkan prestasi bahkan diakui di dunia internasional. Oleh sebab itu tidak ada alasan lagi menyerahkan aset Blok Mahakam ke tangan asing; tidak alasan lagi untuk tidak membangun smelter PT. Freeport Indonesia di tanah Papua; serta tidak ada alasan lagi untuk tidak membangun kilang minyak sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar