Ali Thaufan Dwi
Saputra / 2113034000002
Pendahuluan
Penafsiran
terhadap nash al-Qur’an telah dimulai sejak zaman Nabi Muhammad. Ia merupakan
mufassir yang paling otoritatif, mengingat wahyu al-Qur’an diturunkan
kepadanya. Dalam lintasan sejarah selama 14 abad, telah banyak karya-karya para
mufassir al-Qur’an dari masa klasik –sejak tafsir mulai dibukukan- hingga saat
ini. Beragamnya kitab-kitab tersebut memberi konsekuensi pada perbedaan penafsiran.
Hal ini lumrah adanya, karena seorang penafsir seringkali menafsirkan al-Qur’an
sesuai pada konteks masanya. Sedangkan penafsir yang datang berikutnya juga
menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan masanya pula.
Banyaknya karya
kitab tafsir para mufassir, kerap menjadi rujukan generasi mufassir setelahnya
dan kajian penelitian. Generasi yang datang berikutnya mengkaji kitab tersebut
dan menjadi “anotator” atasnya. Generasi berikutnya juga kerap menyepakati dan
juga mengkritik hasil penafsiran sebelumnya. Tentu sebagai sebuah penelitian
akademis, hal ini sangat wajar selama dalam batas koridor dan norma-norma
penelitian.
Diantara
kekayaan literatur tafsir, salah satunya adalah kitab tafsir “Lubâb al-Takwîl
fî Ma’ânî al-Tanzîl” karya ‘Alâu al-Dîn Alî ibn Muhammad ibn Ibrahim
al-Baghdâdî. Ia dikenal dengan sebutan al-Khâzin, oleh sebab itu kitab
tafsirnya dikenal pula dengan Tafsir al-Khâzin. Tulisan ini ingin mengulas
secara singkat tentang kitab tersebut. Ulasan tulisan ini antara lain meliputi:
Riwayat sang pengarang kitab; latar belakang penulisan kitab; sekilas tentang
tafsir “Lubâb al-Takwîl fî Ma’ânî al-Tanzîl (al-Khâzin)”; serta pujian dan
kritikan atasnya. Penelitian dan kajian terhadap tafsir al-Khâzin bukanlah
sesuatu yang baru. Meski demikian, tulisan ini diharap dapat memberikan
deskripsi umum tentang tafsir al-Khâzin dan menjadi rujukan bagi para peneliti
berikutnya.
Riwayat Hidup al-Khâzin
Lubâb al-Takwîl
fî Ma’ânî al-Tanzîl adalah karya ‘Alâu al-Dîn Alî ibn Muhammad ibn Ibrahim
al-Baghdâdî atau yang terkenal dengan panggilan al-Khâzin. Ia lahir pada tahun
678 H di Baghdad. Panggilan al-Khâzin yang ditujukan kepadanya dikarenakan ia
merupakan penjaga kitab-kitab di perpustakaan Khanqah al-Samistiyah.
Al-Khâzin
dikenal sebagai seorang sufi, orang yang baik hati dan mukanya yang cerah. Ia
juga banyak menguasai keilmuan agama. Hal ini dibuktikan dari beberapa karya
yang ia tuliskan. Diantara karyanya: Syarakh Umdatu al-Ahkâm, Maqbûl al-Manqûl,
Musnad al-Syafi’i, Musnad Ahmad, Muwatha’, Sunan Daruqutni yang ditulis sesuai
bab serta Sirah Nabi. Al-Khâzin wafat pada tahun 741 H.
Guna
mengembangkan pengetahuan dan keilmuannya, al-Khâzin berguru pada al-Qasimi ibn
al-Muhdzafar yang berada di Damaskus. Kemudian ia melanjutkan ke Mesir dan
berguru pada Wazirah binti Umar ibn As’ad Ummi Abdullah.[1]
Ia juga tercatat pernah belajar hadis ke Maghrib kepada al-Tsa’labi al-Jazair
yang dikenal dengan nama Zaid Abdu al-Rahman ibn Muhammad ibn Makhluf.[2]
Latar Belakang
Penulisan Kitab
Tafsir al-Khâzin
merupakan ringkasan dari kitab Madârik al-Tanzîl wa Haqaiqi al-Takwîl yang
ditulis Abdullah Ahmad ibn Mahmûd al-Nasafî (w. 701 H). Madârik al-Tanzîl
sebetulnya hasil ringkasan dan banyak mengutip dari tafsir al-Kasysyâf karya
al-Zamakhsyarî (w. 538 H) dan Ma’âlim al-Tanzîl karya Abû Muhammad Husain ibn
Mas’ud al-Baghawî (w. 510 H). Tetapi al-Nasafî tidak memasukkan
penafsiran-penafsiran bias Muktazilah seperti hal nya al-Zamakhsyari, karena
ia bermazhab Ahlu al-Sunnah.[3]
Alasan al-Khâzin
–seperti ia kemukakan dalam muqaddimah tafsirnya- menulis dan meringkas kitab Madârik
al-Tanzîl (yang merupakan ringkasan Ma’âlim al-Tanzîl) didasari “cinta” nya
kepada al-Baghawî. Menurutnya, al-Baghawî adalah seorang yang mulia, yang
menghidupkan sunnah Nabi dan luas pengetahuan ilmu. Lebih lanjut, al-Khâzin
menilai Tafsir Ma’âlim al-Tanzîl sebagai kitab tafsir terbaik yang didalamnya
terkandung hadis-hadis sahih, kisah-kisah yang menarik serta banyak mengulas
persoalan hukum syariah. Upaya al-Khâzin dalam meringkas kitab Ma’âlim al-Tanzîl
adalah dengan membuang sanad-sanad pada hadis yang dikutip dan memotong cerita
yang panjang.[4]
Al-Khâzin
memaparkan lima hal sebelum memulai tafsirnya, yakni: tentang fadhilah belajar
al-Qur’an; ancaman bagi orang yang berbicara al-Qur’an tanpa didasari ilmu dan
orang yang hafal al-Qur’an tetapi melupakannya dan tidak mengulangi hafalannya;
penjelasan tentang turunnya al-Qur’an dan urutan-urutan sûrah; penjelasan
mengenai turunnya al-Qur’an dalam tujuh huruf; serta tentang pengertian tafsir
dan takwil.[5]
Sekilas Tentang
Kitab Tafsir al-Khâzin
Penulis
melakukan penelitian kitab tafsir Lubâb al-Takwîl fî Ma’ânî al-Tanzîl atau al-Khâzin
menggunakan kitab terbitan Dâr al-Fikr (tidak disebutkan tahun penerbitan).
Kitab tersebut terdiri dari empat jilid. Jilid pertama terdiri dari 504 halaman
yang memuat penafsiran sûrah al-Fâtihah sampai dengan al-Mâidah. Jilid kedua
terdiri 350 halaman yang memuat penafsiran sûrah al-An’âm sampai dengan Hûd.
Jilid ketiga terdiri 503 halaman yang memuat penafsiran sûrah Yusuf sampai
dengan Fâtir. Jilid keempat terdiri 423 halaman yang memuat penafsiran sûrah
Yasin sampai dengan al-Nâs.[6]
Pada setiap selesai pembahasan sûrah diakhir jilid, al-Khâzin menuliskan
ungkapan “telah selesai pembahasan dalam jilid ini”.
Kitab tersebut
berukuran panjang 30 cm dan lebar 20 cm. Sampul menggunakan hard cover
berwarna hitam dengan berhias ornament (hiasan semacam batik) disampul bagian
muka (depan). Sedangkan disampul bagian dalam tidak dihiasi ornament. Pada
setiap permulaan sûrah, terdapat ornament dan tertulis lafaz “Basmalah”. Adapun
kertas yang digunakan adalah jenis kertas buram berwarna kuning atau semacam jeluang.[7]
Telaah
Metodologis Tafsir al-Khâzin
- Metode
dan Manhaj Penafsiran
Para ulama tafsir
telah memaparkan beberapa metode yang digunakan oleh para mufassir dalam
menafsirkan al-Qur’an. Menurut al-Farmawi, sebagaimana dikutip Quraish Shihab
membagi metode penafsiran menjadi empat macam, yakni: metode tahlili, ijmali,
muqaran dan maudhu’i.[8]
Setelah meneliti tafsir al-Khâzin, penulis mendapati bahwa metode yang
digunakan oleh al-Khâzin adalah metode tahlili. Sumber penafsirannya mayoritas
menggunakan tafsir bil-Ma’tsur.
Al-Khâzin
menafsirkan al-Qur’an berdasarkan urutan sûrah mulai dari sûrah al-Fatihah
sampai dengan al-Nâs. Ia mengawali penafsiran suatu sûrah dengan menjelaskan
bahwa sûrah tersebut termasuk kategori sûrah Makkiah atau Madaniah. Kemudian ia
menginformasikan jumlah ayat, kalimat dan huruf dalam sûrah tersebut.[9]
Tidak jarang ia juga menjelaskan sebab turunnya sûrah tersebut. al-Khâzin
menafsirkan potongan ayat demi ayat dengan menggunakan tanda kurung.[10]
- Corak
Penafsiran al-Khâzin
Ketika
menafsirkan al-Qur’an, mufassir seringkali dipengaruhi oleh lingkungan
tempatnya dan latar belakang keilmuannya. Oleh sebab itu, para mufassir yang
memiliki latar belakang sebagai ahli sejarah akan larut menjelaskan al-Qur’an
dari aspek kesejarahan. Para sastrawan dan ahli bahasa akan cenderung
menafsirkan al-Qur’an dengan menitikberatkan aspek kebahasaan. Mufassir yang
ahli dalam filsafat dan kalam, akan menaruh perhatian yang cukup besar dalam
menafsirkan al-Qur’an dari sisi filsafat dan kalam. Mufassir yang ahli dibidang
ilmu pengetahuan akan menafsirkan dari sisi ilmu pengetahuan. Para ahli hukum
atau fikih juga akan menafsirkan al-Qur’an dengan kecenderungan pada aspek
hukum atau fikih. Hal inilah oleh para pakar ilmu tafsir termasuk Quraish
Shihab disebut sebagai corak penafsiran.
Lebih lanjut,
menurut Quraish saat ini corak penafsiran telah berkembang yakni munculnya
corak sastra dan kebudayaan masyarakat. Corak ini identik dengan penafsiran
yang memberikan jawaban-jawaban terkait dengan persoalan kehidupan yang
dinamis. Selain itu, corak ini memberikan solusi terhadap persoalan hidup
dengan bahasa yang mudah dimengerti dan lugas.[11]
Setelah meneliti
secara “random” isi tafsir al-Khâzin, penulis mendapati bahwa ayat yang
berhubungan dengan hukum atau fikih banyak dijelaskan al-Khâzin. Sebagai contoh
saat menjelaskan sûrah al-Baqarah ayat 228.
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ
يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ
أَرَادُوا إِصْلَاحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Wanita-wanita yang ditalak
handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka
menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman
kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa
menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita
mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan
tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Al-Khâzin
memberikan penjelasan tentang pembagian permasalahan iddah sebagai berikut:
iddah wanita yang sedang hamil sampai melahirkan, iddah seorang istri yang
suaminya wafat selama empat bulan sepuluh hari, iddah muthalaqah (masa
perceraian) bagi perempuan yang telah disetubuhi selama tiga quru’ dan iddah
seorang hamba sahaya.[12]
Selain masalah
iddah, al-Khâzin juga memberi perhatian terkait hukum potong tangan bagi
pencuri dalam sûrah al-Mâidah ayat 38.
وَالسَّارِقُ
وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ
اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Laki-laki
yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”
Ia menjelaskan
dengan membagi beberapa pasal atau bagian, yaitu: Pertama, bahwa hukum potong
tangan wajib ditegakkan, terlepas sedikit atau banyak barang/harta yang dicuri.
Sebagaimana hadis yang diriwayatkan Bukhâri-Muslim:
عن أبي هريرة قال قال رسول الله )صلى الله عليه وسلم( لعن الله
السارق يسرق البيضه فتقطع يده ويسرق الحبل فتقطع يده
Kedua, menurut
mayoritas ulama, hukum potong tangan berlaku bagi pencuri yang telah mencuri
pada batasan seperempat dinar atau tiga dirham. Ia mendasarkan pada hadis:
عن عائشة قالت كان رسول الله يقطع السارق في ربع دينار فصاعداً
Ketiga, memotong
bagian lengan tangan sebelah kanan, apabila ia kembali mencuri maka dipotonglah
kaki kirinya pada bagian mata kaki, apabila ia kembali mencuri maka dipotonglah
tangan kiri dan jika ia masih tetap mencuri maka dipotonglah kaki kanannya lalu
dipenjarakan. Hal ini didasarkan sabda Nabi:
إذا سرق السارق فاقطعوا يده, فإن عاد
فاقطعوا رجله فإن عاد فاقطعوا يده فإن عاد فاقطعوا رجله.[13]
Al-Khâzin juga
mengulas persoalan hukum meninggalkan puasa bagi orang sakit dan yang dalam
perjalanan yang termaktub dalam sûrah al-Baqarah ayat 184.
أَيَّامًا
مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ
أَيَّامٍ أُخَرَ ...
“(yaitu)
dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa di antara kamu ada yang
sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa)
sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain...”
Al-Khâzin mengutip beberapa pendapat ulama fikih. Beberapa
silang pendapat ia kemukakan semisal: jarak tempuh perjalanan, ada yang
berpendapat kebolehan meninggalkan puasa jika perjalanan selama satu hari, dua
hari dan tiga hari. Ia juga menutip pendapat Syafi’i bahwa puasa dalam sebuah
perjalanan lebih baik. Sementara ulama lain seperti Imam Ahmad justru
menganggap bahwa membatalkan puasa saat dalam perjalanan adalah lebih baik.[14]
Ketiga ayat yang
berkaitan dengan persoalan fikih di atas adalah sebagian kecil dari pembahasan
masalah fikih yang dijelaskan oleh al-Khâzin. Selain kedua ayat diatas, al-Khâzin
sering mengulas persoalan yang berkaitan dengan fikih. Pembahasannya biasanya
diulas dengan menyebutkan hukum ayat tertentu dengan membaginya secara pasal
demi pasal.
Berkaitan dengan
ayat-ayat “Kalam”, penulis mencatat bahwa al-Khâzin tidak memiliki
kecenderungan pada mazhab tertentu. Penulis mengambil contoh ketika al-Khâzin
menafsirkan sûrah al-Baqarah ayat 255, yang dikenal dengan sebutan ayat kursi.
...وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَلَا يَئُودُهُ
حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ
“...Kursi Allah meliputi langit dan
bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi
lagi Maha Besar”.
Al-Khâzin
mendasarkan penafsirannya pada bebrapa perbedaan tentang makna kursi Allah.
Pertama, ia mengutip pendapat yang mengatakan bahwa kursi tersebut adalah
singgasana Allah. Kedua, ia juga mengutip pendapat yang menyebutkan bahwa kursi
dalam ayat tersebut bukan singgasana Allah. Ketiga, ia mengatakan bahwa kursi
adalah sesuatu yang besar dan menjadi sandaran ilmu.[15]
Penulis tidak mendapati pendapat pribadi atau kesimpulan al-Khâzin.
Ayat “Kalam”
kedua adalah sûrah al-Qiyamah ayat 23. Ayat ini secara literal mengatakan bahwa
kelak manusia akan dapat melihat Tuhan, pada hari akhir.
إِلَى رَبِّهَا
نَاظِرَةٌ
“Kepada Tuhannya mereka melihat.”
Berkaitan dengan
hal tersebut, al-Khâzin juga mengutip berbagai pendapat. Antaranya, pendapat
Ibn Abbâs yang mengatakan bahwa banyak mufassir yang berpendapat bahwa seorang
hamba akan melihat Tuhan pada hari akhir. Al-Khâzin kemudian mengutip pendapat
Mujahid dan Abû Salah yang berpendapat bahwa “melihat” disini berarti menunggu
pahala Tuhan, bukan melihat Tuhan. Lebih lanjut, al-Khâzin mengutip beberapa
hadis yang menjelaskan bahwa manusia dapat melihat Tuhannya. Salah satunya
adalah saat Nabi duduk pada suatu malam laila al-Qadar, Nabi mengatakan
pada Jarir bahwa kelak akan melihat Tuhan sebagaimana melihat bulan yang ia
lihat saat itu.[16] Jika
melihat penafsiran al-Khâzin tentang ayat “Kalam” di atas, ia sepertinya berada
pada posisi “moderat”. Penafsirannya tidak memiliki kecenderungan pada mazhab
Sunni atau Muktazilah.
Selain banyak penafsirkan
ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum fikih dan “Kalam”, al-Khâzin sebetulnya lebih
dikenal sebagai ahli sejarah yang banyak bercerita[17]
dan menyisipkan isrâiliyât dalam tafsirnya. Terkait hal ini, penulis paparkan
pada sub bab sumber rujukan tafsir al-Khâzin di bawah ini.
- Sumber
Rujukan Tafsir al-Khâzin
Kitab tafsir al-Khâzin
adalah merupakan ringkasan dari kitab tafsir Madârik al-Tanzîl wa Haqaiqi al-Takwîl
karya Abdullah Ahmad ibn Mahmud al-Nasafî (w. 710). Tentu saja, dapat
dipastikan rujukan utama adalah kitab tersebut. Bahkan menurut al-Dzahabi, al-Khâzin
tidak merubah sedikitpun kitab tafsir tersebut kecuali membuang sanad
hadis-hadis yang menjadi penjelasan tafsir dalam kitab Madârik.[18]
Penulis
mendapati bahwa rujukan yang dominan dalam tafsir al-Khâzin adalah hadis-hadis
Nabi. Hal ini dibuktikan dalam beberapa penafsirannya, ia mengutip hadis dari ibn
Abbâs,[19]
Imam Malik dan Abû Hurairah dengan menggunakan kode (خ) jika yang dikutip adalah dari Imam Bukhâri, (م) adalah Imam Muslim dan (ق) adalah hadis riwayat Bukhâri dan Muslim.
Penulis meneliti
jumlah hadis-hadis tersebut pada sepuluh sûrah dalam jilid (volume) empat
tafsir al-Khâzin. Dalam sûrah Yasin terdapat 1 hadis Sahih Bukhâri, 4 hadis
Sahih Muslim dan 2 hadis Sahih Bukhâri-Muslim. Sûrah al-Shaffat 1 hadis Sahih
Muslim dan 1 Sahih Bukhâri-Muslim. Sûrah Shad 1 hadis Sahih Bukhâri dan 2 Sahih
Bukhâri-Muslim. Sûrah al-Zumâr 2 hadis Sahih Bukhâri, 2 Sahih Muslim dan 7
Sahih Bukari-Muslim. Sûrah al-Mukmin 1 hadis Sahih Bukhâri, 4 Sahih Muslim dan
7 Sahih Bukhâri-Muslim. Sûrah Fushilat 1 hadis Sahih Bukhâri, 1 Sahih Muslim
dan 2 Sahih Bukhâri-Muslim. Sûrah al-Syura 3 hadis Sahih Bukhâri, 3 Sahih
Muslim dan 3 Sahih Bukhâri-Muslim. Sûrah al-Zuhrûf 2 hadis Sahih Bukhâri, 1
Sahih Muslim dan 3 Sahih Bukhâri-Muslim. Sûrah al-Duhkan 2 Sahih Bukhâri-Muslim.
Sûrah al-Jatsiyah 1 Sahih Muslim dan 1 Sahih Bukhâri-Muslim. Tetapi diantara
banyak hadis tersebut, al-Khâzin tidak mencantumkan sanad hadis secara lengkap.[20]
Selain
meriwayatkan hadis dari Bukhâri dan Muslim, al-Khâzin juga meriwayatkan hadis
dari perawi lainnya, seperti Abi Dawud dan Tirmidzi. Tetapi al-Khâzin tidak
menggunakan kode khusus. Ia mengutip dengan menyebutkan nama perawi tersebut.[21]
Penafsiran al-Khâzin
banyak bersumber dari cerita-cerita isrâiliyât. Al-Qur’an mengandung banyak
kisah yang menceritakan kehidupan masa lampau (sebelum Muhammad diutus sebagai
rasul). Seperti kisah nabi Musa saat ia mendapat ujian dari Khidir; kisah
lahirnya Nabi ‘Isa yang di luar kemampuan akal manusia; serta pencarian Tuhan
oleh Nabi Ibrâhîm dan kisah ashâb al-Kahfi yang benar-benar ajaib (tertidur
ratusan tahun). Karena al-Qur’an jarang menjelaskan secara detail kisah-kisah
para Nabi tersebut, maka umumnya penafsirannya diambil dari isrâiliyât.
Menurut
al-Dzahabi, sumber isrâiliyât tersebut didapatkan dari riwayat Wahab ibn
Munabbih, Ka’ab al-Ahbâr dan lainnya. Sebagai contoh ketika al-Khâzin
menafsirkan Sûrah al-Anbiyâ’ ayat 83-84 tentang kisah nabi Ayyûb.
al-Khâzin
dimulai dengan mengutip riwayat Wahab ibn Munabbih yang menceritakan Ayyûb
adalah laki-laki asal Romawi bernama lengkap Ayyûb ibn Amos ibn Narîkh ibn Rum
ibn Ish ibn Ishâq ibn Ibrahîm. Allah mengangkatnya menjadi Nabi dan melimpahkan
rahmatnya berupa harta melimpah. Ia orang yang baik hati, bertaqwa dan
menyantuni fakir miskin. Atas kemurahan hati Ayyûb, iblis-iblis biadab ingin
mengodanya. Iblis naik turun langit untuk menawar kepada Allah agar ia dapat
mengoda Ayyûb sehingga jatuh imannya.[22]
Selanjutnya
Al-Khâzin menceritakan bahwa pada suatu saat iblis mendengar suara malaikat
membaca shalawat kepada Ayyûb ketika Allah memuji di hadapan mereka. Iblis merasa
benci dan iri. Kemudian ia naik ke langit dan berkata: “Tuhanku, saya melihat
Ayyûb sebagai hamba yang engkau berikan nikmat dan harta melimpah. Maka wajar
jika ia menyukuri-Mu. Seandainya Engkau menguji dengan menghentikan nikmatmu,
tentu dia tidak akan bersyukur lagi dan menyembah-Mu.” Allah menjawab
“berangkatlah kamu (iblis) boleh melakukan apa saja terhadap harta Ayyûb”.
Kemudian iblis turun ke bumi dan mengumpulkan kolega-koleganya untuk menyusun
rencana penghancuran harta Ayyûb.
Al-Khâzin
melanjutkan ceritanya, bahwa setelah iblis memusnahkan harta Ayyûb, ternyata ia
tidak mampu mengoyahkan imannya. Iblis kembali naik ke atas langit dan memohon
kepada Allah untuk diizinkan mengabisi anak Ayyûb. Allah menjawab
“Berangkatlah, kamu (iblis) boleh membunuh anaknya.” Sesudah itu, iblis menemui
Ayub dan berkata “Seandainya engkau tahu penderitaan anak-anakmu dan bagaimana
mereka jungkir-balik, dengan darah mengalir dan otak berhamburan, tentu hatimu
akan luluh”. Ayyûb pun menangis kemudian mengambil segenggam debu dan
dituangkan di atas kepalanya sambil berkata “Seharusnya ibuku tidak melahirkan
saya”. Tetapi kemudian Ayyûb bertaubat dan iblis pun terheran-heran.
Iblis belum puas
dengan apa yang telah ia lakukan kepada Ayyûb, karena iman Ayyûb tetap tak goyah.
Lalu ia kembali meminta kepada Allah agar ia diperbolehkan meminta merusak
tubuh Ayyûb. Allah menjawab “Kamu boleh menghancurkan tubuh Ayyûb, akan tetapi
kamu tidak dapat menguasai lisan, hati dan akalnya”. Iblis turun lagi ke bumi
dan merusak tubuh Ayyûb. Ketika Ayyûb sedang bersujud, iblis meniup kedua
lubang hidungnya. Tiupan itu membuat seluruh tubuh Ayyûb terbakar. Badannya pun
menjijikkan, bernanah dan bau busuk, sehingga semua orang menjauhi kecuali
istrinya. Iblis kembali mengoda Ayyûb melalui istrinya, karena Ayyûb tidak
kunjung sembuh, istrinya menawarkan Ayyûb untuk menyembelih kambing bukan
karena Allah. Seketika, Ayyûb pun marah dan menyuruh pergi istrinya.[23]
Contoh dari
pengutipan al-Khâzin kepada Ka’ab antara lain adalah, ketika menafsirkan sûrah
al-An’âm ayat pertama. Dengan mengutip Ka’ab, al-Khâzin menjelaskan bahwa lafaz
al-Hamdu juga terdapat dalam awal dan akhir kitab Taurat. Ia kemudian
menjelaskan bahwa akhir ayat dalam Taurat adalah sama seperti akhir Sûrah Hûd.[24]
Selain mengutip
hadis dan isrâiliyât, Al-Khâzin juga kerap mengutip syair-syair Arab untuk
menafsirkan al-Qur’an. Pengutipan tersebut terkadang untuk menyambung
penjelasan suatu ayat dan menguak suatu makna pada sebuah ayat. Sebagai contoh
ketika al-Khâzin mengutip sebuah syair untuk menjelaskan makna “al-Zanjabila”
pada sûrah al-Insân ayat 17.[25]
Keistimewaan dan
Kritik atas Tafsir al-Khâzin
Setiap kitab
tafsir tentu memiliki keistimewaan dan kritik dari penafsir setelahnya dan
pembacanya. Setelah penulis meneliti tafsir al-Khâzin, beberapa hal yang
menurut penulis menjadi keistimewaan adalah: (1) al-Khâzin memberikan gambaran
umum (seputar jumlah ayat, kalimat dan huruf) mengenai sebuah sûrah sebelum ia
menafsirkan; (2) menjelaskan sebab turunnya ayat; (3) terkadang menjelaskan
keutamaan sebuah surah yang didasarkan pada hadis; (4) ketika mengutip hadis
dari Imam Bukhâri, Muslim dan hadis yang diriwayatkan keduanya, al-Khâzin
memberikan kode. Hal ini sangat memudahkan para pembacanya; (5) dalam membahas
sebuah ayat tertentu, al-Khâzin sering memberikan poin-poin seperti ayat yang
berkaitan dengan hukum dan kisah.
Namun demikian,
tafsir al-Khâzin juga mendapat kritikan. Salah satu kritik yang paling keras
disampaikan al-Dzahabi. Kritik tersebut adalah: penghapusan sanad dan juga
pengutipan isrâiliyât yang dianggap berlebihan dan tanpa meninjau kesahihannya.
Ia bahkan menyebut tafsir al-Khâzin banyak terjadi penyimpangan lantaran
mengutip isrâiliyât yang tidak masuk akal.[26]
Kesimpulan
Melalui
pembacaan di atas dapat disimpulkan bahwa: (1) tafsir al-Khâzin adalah tafsir
ringkasan dari tafsir Madârik al-Tanzîl wa Haqaiqi al-Takwîl karya Abdullah
Ahmad ibn Mahmud al-Nasafî. Tafsir Madârik al-Tanzîl sendiri adalah ringkasan
dari Ma’âlim al-Tanzîl karya al-Baghawî dan al-Kasysyâf karya Zamakhsyari; (2) al-Khâzin
seringkali mengutip cerita-cerita nabi secara panjang dan detail dari
isrâiliyât. Hal inilah yang pada akhirnya mengundang kritik; (3) tidak benar
jika tafsir al-Khâzin selalu diidentikkan dengan tafsir yang sarat isrâiliyât,
karena al-Khâzin juga banyak berbicara masalah fikih dalam tafsir tersebut.
[1] Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr
wa al-Mufassirûn, (Dâr al-Hadîs, Kairo, 2005), vol 1, h. 265. Sedangkan dalam
sampul kitab tafsir al-Khâzin, menyebut tahun wafat pada 725 H
[2] Ahmad Khozin “Analisa Kritis
Terhadap Surah al-Fil dalam Tafsir al-Khazin” (Skripsi S1 UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Fakultas Ushuluddin, 2011) h. 12
[3] Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr
wa al-Mufassirûn, vol 1, h. 260
[4] ‘Alâu al-Dîn Alî ibn Muhammad
ibn Ibrahim al-Baghdâdî, Tafsîr al-Khâzin al-Musammâ bi Lubâbu
al-Ta’wîl fî Ma’âni Tanzîl, (Dâr al-Fikr, tt), vol. 1, h. 3
[5] ‘Alâu al-Dîn Alî, Tafsîr al-Khâzin,
vol. 1, h. 5
[6] Kitab tersebut penulis dapatkan
di Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Memang ada beberapa
perbedaan dengan kitab yang diterbitkan penerbit lainnya. Sebagai contoh kitab
Tafsir al-Khâzin yang diterbitkan Dâr Kutub al-‘Ilmiah Beirut Libanon cetakan
pertama tahun 1995. Kitab tersebut ditahqiq oleh Abdu al-Salam Muhammad Ali Syahin
dan terdiri 6 jilid. Jilid pertama terdiri dari 614 halaman yang memuat
penafsiran sûrah al-Fatihah sampai dengan Ali Imrân. Jilid kedua terdiri 647
halaman yang memuat penafsiran sûrah al-Nisâ sampai dengan al-A’râf. Jilid
ketiga terdiri 527 halaman yang memuat penafsiran sûrah al-Anfâl sampai dengan al-Hijr.
Jilid keempat terdiri 558 halaman yang memuat penafsiran sûrah al-Nahl sampai
dengan al-Naml. Jilid kelima terdiri 542 halaman yang memuat penafsiran sûrah
al-Qashâsh sampai dengan al-Hujurât. Jilid enam terdiri 550 halaman yang memuat
penafsiran sûrah Qaf sampai dengan
al-Nâs.
[7] Kertas dari kulit kayu
[8] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an,
Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan Pustaka,
2013), h. 129
[9] Sebagai contoh dapat dilihat
ketika al-Khâzin menafsirkan sûrah al-Baqarah, Ali Imran, Yasin dan beberapa sûrah
lainnya.
[10] Kitab yang penulis teliti
berbeda dengan kitab terbitan Dâr Kutub al-‘Ilmiah Beirut Libanon cetakan
pertama tahun 1995. Pada kitab tersebut penafsirannya dikelompokkan beberapa
ayat lalu kemudian ditafsirkan.
[11] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an,
h. 107
[12] ‘Alâu al-Dîn Alî, Tafsîr al-Khâzin,
vol. 1, h. 153
[13] ‘Alâu al-Dîn Alî, Tafsîr al-Khâzin,
vol. 1, h. 455
[14] ‘Alâu al-Dîn Alî, Tafsîr al-Khâzin,
vol. 1, h. 112
[15] ‘Alâu al-Dîn Alî, Tafsîr al-Khâzin,
vol. 1, h. 180
[16] ‘Alâu al-Dîn Alî, Tafsîr al-Khâzin,
vol. 4, h. 335
[17] Misalnya cerita tentang
penciptaan alam semesta pada sûrah al-Fushilat, ‘Alâu al-Dîn Alî, Tafsîr
al-Khâzin, vol. 4, h. 81 dan kisah penyembelihan Ismail pada sûrah
al-Shaffat, vol. 4, h. 22
[18] al-Dzahabî, al-Tafsîr wa
al-Mufassirûn, vol 1, h. 265
[19] Selain mengutip hadis yang
diriwayatkan Ibn Abbâs, dalam banyak ayat, al-Khâzin banyak mengutip pendapat
Ibn Abbâs. Penulis kemudian merujuk pendapat Ibn Abbâs dalam kitab Tanwîr
al-Mu’bâs min Tafsîr Ibn Abbâs. Sebagai contoh penulis mendapati bahwa
penafsiran al-Khâzin pada sûrah Yasin ayat 1 dan 19 bersumber dari riwayat Ibn
Abbâs. Lihat Abî Thâhir ibn Ya’qûb al-Fairuzi Abadi, Tanwîr al-Mu’bâs min
Tafsîr Ibn Abbâs, (Bairut: Dâr al-Fikr, 2001), h. 440.
[20] Lihat hadis pada masing-masing sûrah:
‘Alâu al-Dîn Alî, Tafsîr al-Khâzin, vol. 4.
[21] ‘Alâu al-Dîn Alî, Tafsîr al-Khâzin,
vol. 4, h. 75 dan h. 105
[22] Muhammad Husain
al-Dzahabî, Al-Ittijâh al-Munharifah fî tafsîr al-Qur’ân al-Karîm.
Dawâfi’uha wa Daf’uhâ, (Kuwait: Dar al-I’tishom, 1978), h. 32. Lihat ‘Alâu
al-Dîn Alî, al-Khâzin, vol. 3, h. 268.
[23] al-Dzahabî, Al-Ittijâh
al-Munharifah fî tafsîr, h. 32-36. Lihat ‘Alâu al-Dîn Alî, al-Khâzin, vol. 3, h. 269.
[24] Alâu al-Dîn Alî, al-Khâzin, vol. 2, h. 1.
[25] Alâu al-Dîn Alî, al-Khâzin, vol. 4, h. 341.
[26] al-Dzahabî, Al-Ittijâh
al-Munharifah fî tafsîr, h. 30-37. Lihat pula dalam Thameem Ushama, Methodologies of the Qur’anic Exegesis, pent Hasan Basri-Amroeni, (Jakarta:
Riora Cipta, 2000), h. 77