Minggu, 19 Maret 2017

Korupsi E-KTP Perburuk Citra Politisi



Oleh: Ali Thaufan Dwi Saputra (Alumnus Pascasarjana UIN Jakarta)
 
Sederet nama-nama politisi tersangkut dalam kasus korupsi KTP elektronik (E-KTP).  Mereka diduga menikmati rupiah dan merugikan keuangan negara hingga Rp. 2,3 triliun dari total nilai proyek sebesar Rp. 5,9 triliun. Dalam sidang yang digelar 9 maret 2017 itu, Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membacakan surat dakwaan atas nama Irman dan Sugiarto. Hasilnya cukup mengejutkan karena sangat banyak politisi, anggota DPR dan pejabat kementerian yang namanya disebut menerima dana haram hasil korupsi.

Diantara nama-nama yang disebut menerima duit hasil korupsi itu adalah: Yassona Laoli, Ganjar Pranowo, Olly Dondokambey (dari PDI-Perjuangan); Anas Urbaningrum dan Marzuki Ali (dari Partai Demokrat); Jazuli Juwaini (dari PKS); Abdul Malik Haramain (dari PKB); Teguh Juwarno (dari PAN; Nukman Abdul Hakim (dari PPP); Ade Komaruddin dan Macias Marchus Mekeng (dari Partai Golkar); serta Gamawan Fauzi (mantan Menteri Dalam Negeri). Tidak hanya nama-nama tersebut, kasus ini juga menyebut keterlibatan ketua DPR RI, Setya Novanto. Dalam surat dakwaan, ketua DPR itu diduga jatah uang sebesar Rp. 574 miliar bersama dengan Andi Narogong (penyedia jasa/barang di Kemendagri saat itu). Uang korupsi itu diduga juga masuk ke rekening beberapa parpol.

Dilihat dari nama-nama tersebut di atas, kasus korupsi ini menyebutkan mantan ketua parpol, ketua parpol, mantan menteri hingga menteri yang sedang menjabat. Peristiwa ini nyaris mengulang peristiwa beberapa tahun silam saat Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum pada tahun 2012, dan PKS, Lutfi Hasan Ishak pada tahun 2013 menjadi tersangka KPK. Penetapan keduanya berdampak pada menurunnya citra politisi dan parpol di masyarakat.

Munculnya nama-nama politisi dalam kasus E-KTP ini semakin melengkapi rapot merah para politisi. Dari data yang penulis dapatkan, untuk anggota DPR periode 2014-2019, sudah ada 7 anggota yang ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi. Ini menunjukkan bahwa korupsi sangat sulit diberantas dan selalu mendekat dengan kekuasaan. Kewenangan anggota DPR yang demikian besar sangat mungkin menjadi pembuka kesempatan melakukan tindak pidana korupsi.

Kasus korupsi E-KTP ini menyulut kemarahan masyarakat. Hingga saat ini, pembuatan E-KTP masih “morat-marit”, padahal KTP menjadi syarat wajib bagi pemilih yang akan menggunakan hak pilihnya dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Masyarakat harus menunggu lama proses pembuatan, bahkan hingga menunggu berbulan-bulan. Dibeberapa daerah, blanko E-KTP mengalami kekurangan, kehabisan. 

Pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra menyoroti adanya aliran dana korupsi E-KTP ke beberapa parpol. Dalam tulisannya di harian Jawa Pos “Membubarkan Parpol Menerima Suap” ia mengemukakan idenya untuk membubarkan parpol jika parpol tersebut melakukan korupsi. Memang, dalam hukum pidana yang melibatkan korporasi, korporasi tidak dapat dibubarkan, tetapi hanya pimpinan korporasi atau yang terlibat kasus yang akan dijatuhi hukuman. Namun, bagi Yusril, menimbang pembubaran parpol penerima dana korupsi adalah adalah hal yang baik karena korupsi secara pasti menghancurkan sendi-sendi bernegara (Jawa Pos 11/3/2017).

Banyaknya kasus korupsi di Indonesia termasuk E-KTP, sangat merugikan masyarakat. Wibisono Harjopranoto memaparkan bahwa negara yang masih dipenuhi oleh orang-orang berprilaku korup akan sulit terlepas dari masalah kesenjangan ekonomi (Koran Jakarta 20/3/2017). 

Masyarakat berharap agar penangganan kasus korupsi proyek E-KTP ini dapat berjalan secara adil, tidak tebang pilih. Kasus ini juga menjadi pelajaran penting bagi elit parpol agar ke depan tidak melakukan pelanggaran yang sama. Perlu diingat, agenda besar Pemilu Serentak 2019 menanti. Elit parpol dan parpol yang korup tidak saja dihakimi di meja hijau, tapi juga oleh masyarakat.

Rabu, 15 Maret 2017

Sihir Bali Untuk Sang Raja



Oleh: Ali Thaufan Dwi Saputra (Penulis adalah Alumni Pascasarjana UIN Jakarta)
 
Awal Maret 2017 menjadi pekan sibuk para pejabat tinggi negara. Pasalnya, Indonesia menyambut tamu agung dari jazirah Arab, Raja Salman bin Abdul Aziz dan serta rombongan. Tidak tanggung-tanggung, Sang Raja membawa sebanyak 1.500 orang dalam kunjungan ke Indonesia kali ini. Sambutan luar biasa ditunjukkan masyarakat Indonesia untuk Raja Salman.

Masyarakat Indonesia menyaksikan betapa mewahnya jamuan pemerintah Indonesia menyambut Raja yang dianggap penjaga dua Kota Suci umat Islam, Makkah dan Madinah. Demikian halnya dengan Sang Raja yang membawa berbagai perlengkapan kunjungan di Indonesia seperti: eskalator pribadi, mobil anti peluru hingga pesawat. Sebagian pihak mungkin beranggapan bahwa perlengkapan Raja di luar batas normal kunjungan kepala negara ke negara sahabat. 

Dalam kunjungan bersejarah ini pemerintah Indonesia menyepakati beberapa kerja sama dengan pemerintah Saudi. Beberapa kerja sama yang ditandatangani meliputi berbagai bidang seperti kesehatan, pendidikan, keamanan, dan perang bersama melawan terorisme. Beberapa pihak memang meragukan kerja sama tersebut dapat membuahkan hasil karena Saudi dikenal sering melanggar komitmen kerja sama yang dilakukan. Hal ini juga mudah dilihat dari janji santunan korban jamaah haji akibat jatuhnya crane saat renovasi masjid Haram beberapa tahun silam. Ada keluarga korban mengaku belum mendapat ganti rugi. 

Berbagai progam yang disepakati antara pemerintah Indonesia dan Saudi menjadi babak baru hubungan bilateral kedua negara. Publik tentu berharap hubungan kerja sama ini menguntungkan kedua belah pihak. 

Kunjungan Raja Salman yang fenomenal ini melahirkan segudang cerita. Pada sebuah kesempatan, pemerintah Indonesia mengajak Sang Raja bertemu dengan tokoh lintas agama. Sang Raja dapat berkomunikasi secara langsung dengan para tokoh agama tentang bagaimana masyarakat Indonesia yang berbeda-beda agama ini dapat hidup berdampingan, saling menghargai, dan rukun. Pertemuan Raja Salman dengan tokoh lintas agama paling tidak meruntuhkan persepsi Raja Saudi yang “Wahabi” dan bersikap apriori dengan paham lain atau bahkan agama lain. Pertemuan Raja Salman dengan tokoh lintas agama ini menunjukkan sikap moderat Sang Raja.

Selain melakukan kunjungan kerja negara, Raja Salman juga berlibur di Indonesia. Destinasi wisata yang dipilih adalah Pulau Dewata, Bali, sebuah pulau yang dianggp secuil surga di Indonesia. Pulau yang notebene berpenduduk mayoritas non muslim itu menjadi pilihan Raja. Pilihan Raja menunjukkan betapa Raja menghargai segala perbedaan suku, budaya, agama di Indonesia. Antusiasme warga Bali cukup tinggi dengan berupaya bisa bertemu dengan Raja dan rombongan. Selain itu warga Bali pun berupaya membantu polisi dalam mengamankan liburan Raja. Para Pecalang dan sejumlah tokoh adat bergabung dengan polisi untuk mengamankan liburan Raja Salman. 

Tidak mengherankan mengapa Bali menjadi tujuan wisata Raja Salman. Bali dikenal memiliki sangat banyak tujuan wisata. Hingga saat ini, Bali memang menjadi magnet wisatawan dalam dan luar negeri. Pada tahun 2016 lalu, Dinas Pariwisata Provinsi Bali mencatat sekitar dua juta wisatawan asing berkunjung ke Bali pada triwulan pertama. Barangkali inilah alasan mengapa Sang Raja berlibur ke Bali.

Rencananya, Raja Salman akan mengakhiri liburan di Bali pada Kamis (9/3). Tetapi, ia beserta rombongan memastikan untuk memperpanjang waktu liburan hingga Minggu (12/3). Selama berada di Bali, Raja Salman dan rombongan memilih Hotel mewah St. Regis di kawasan Nusa Dua sebagai penginapan. Petugas kepolisian pun melakukan pengamanan ekstra untuk melayani perpanjangan liburan Sang Raja. 

Berbagai tempat wisata antara lain Monkey Forest Ubud, Garuda Wisnu Kencana (GWK), dan Uluwatu dikunjungi rombongan Sang Raja. Memang, pihak Raja tidak mempublikasikan destinasi wisata mana saja yang akan dikunjungi. Raja dan rombongan begitu menikmati liburan Bali. Keindahan pantai dibalut dengan tradisi yang kuat sangat memikat hati Raja Salman. Sang Raja seperti membangun istananya di Surga Bali. Reporter Jawa Pos mencatat Sang Raja begitu menikmati keindahan pantai Bali (10/3).

Perpanjangan waktu liburan Raja Salman di Bali tentu memberi keuntungan tersendiri bagi pariwisata Bali. Perpanjangan liburan Raja Salman di Bali seperti “promosi gratis” tempat wisata Bali. Selain itu, keberadaan Raja Salman diberbagai tempat wisata juga mendongkrak kualitas pariwisata. Keuntungan perpanjangan liburan ini tentunya dirasakan pula oleh para pelaku usaha.

“Sihir” pesona keindahan Bali telah memikat Raja Salman. Inilah yang harus menjadi perhatian  pemerintah ke depan. Alam Indonesia masih menyimpan jutaan tempat yang sangat indah dan berpotensi menjadi destinasi wisata. Pemerintah perlu terus mengembangkan daerah-daerah baru yang dapat menarik wisatawan. Betapapun, keindahan alam dapat menjadi sumber besar devisa Indonesia.

Selasa, 14 Maret 2017

Menjaga Independensi KPU-Bawaslu



Menjaga Independensi KPU-Bawaslu[1]

Oleh: Ali Thaufan Dwi Saputra (Alumnus Pascasarjana UIN Jakarta)

Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) periode 2012-2017 akan mengakhiri masa jabatannya pada 12 April 2017 nanti. Pemerintah melalui Panitia Tim Seleksi (Timsel) telah menyeleksi dan menetapkan sebanyak 14 calon anggota KPU dan 10 calon anggota Bawaslu dari sekian banyak nama yang mencalonkan diri. Nama-nama tersebut sudah ditangan Presiden, dan sudah diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk dilakukan fit and proper test atau uji kelayakan. 

Keberadaan KPU diatur dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 22e, dan kemudian diatur lebih lanjut dalam Undang-undang No. 15 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu. KPU bersifat nasional, tetap dan mandiri. Asas utama KPU dan Bawaslu seperti tertera dalam UU pasal 2 adalah: mandiri; jujur; adil; kepastian hukum; tertib; kepentingan umum; keterbukaan; proporsionalitas; profesionalitas; akuntabilitas; efisiensi; dan efektivitas. 

Menjelang uji kelayakan anggota KPU-Bawaslu, muncul pendapat dari anggota Komisi II DPR untuk menunda dan bahkan menolak nama-nama hasil seleksi Timsel yang sudah dikirimkan Presiden ke DPR. Namun, ada pula anggota Komisi II DPR yang menginginkan untuk segera melakukan uji kelayakan dan memilih anggota KPU.

Salah satu yang menjadi “kegundahan” terhadap pemilihan KPU-Bawaslu adalah proses pemilihannya bersamaan dengan proses pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu. Untuk diketahui, RUU Penyelenggaraan Pemilu nantinya akan mengatur tiga UU sekaligus, UU Pemilu Legislatif, UU Pemilu Presiden, dan UU Penyelenggaraa Pemilu (UU yang mengatur KPU-Bawaslu). Dalam RUU Penyelenggaraan Pemilu, jumlah anggota KPU dan Bawaslu masih seperti pada UU No. 15 tahun 2011, KPU Pusat 5 orang; KPU Provinsi 5 orang; dan KPU Kabupaten/Kota 5 orang (lihat pasal 6). Sedangkan untuk Bawaslu Pusat 5 orang; Bawaslu Provinsi 3 orang; Panwaslu Kabupaten/Kota 3 orang; dan Panwaslu Kecamatan 3 orang (pasal 72).

Di dalam pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu, terdapat beberapa fraksi yang mengusulkan penambahan jumlah anggota KPU-Bawaslu mendatang. Hal ini tercermin dari daftar inventasisasi masalah (DIM) fraksi-fraksi di DPR. Fraksi Partai Golkar misalnya mengusulkan penambahan jumlah KPU Pusat dari 7 orang menjadi 11 orang. Demikian juga Fraksi PKB yang mengusulkan penambahan dari 7 orang menjadi 9 orang untuk KPU Pusat. Penambahan ini cukup beralasan karena Pemilu 2019 nanti akan dilangsungkan serentak sehingga beban kerja KPU-Bawaslu amat berat. Terlebih lagi, ini adalah Pemilu serentak nasional pertama bagi Indonesia. Selain itu, Panwaslu Kabupaten/Kota yang saat ini bersifat ad hoc akan dipermanenkan menjadi Bawaslu Kabupaten/Kota (pasal 80 RUU Penyelenggaraan Pemilu). 

Beberapa ketentuan di atas menjadi pertimbangan untuk menunda sementara pemilihan anggota KPU-Bawaslu di DPR, dan menunggu pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu selesai. Pasalnya, RUU ini nantinya akan menjadi payung hukum keberadaan KPU-Bawaslu, serta RUU inilah yang nantinya akan menjadi acuan KPU-Bawaslu dalam penyelenggaraan Pemilu 2019.

Selain masalah bersamaannya waktu pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu dan pemilihan KPU, terdapat alasan dan ide-ide lain untuk menunda pemilihan KPU-Bawaslu. Pendapat ini dikemukakan oleh anggota Komisi II seperti Yadri Susanto dan Arteria Dahlan. Menurut Yandri misalnya, calon KPU yang lolos seleksi saat ini belum memenuhi komposisi ideal untuk menghadapi Pemilu 2019 nanti. Yandri mencontohkan jika pada Pemilu 2019 nanti menggunakan sistem e-vooting dalam penghitungan suara, maka paling tidak ada anggota KPU yang memiliki keahlian bidang teknologi. Hal inilah yang membuatnya meminta Komisi II untuk mengembalikan nama-nama calon KPU-Bawaslu ke Presiden.

Jika dicermati lebih dalam, anggota KPU-Bawaslu harus mewakili berbagai latar belakangan keahlian dan profesi. Anggota KPU dan Bawaslu meski harus memiliki pengetahuan dan keahlian yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu, juga harus memerhatikan kombinasi profesi (keahlian) seperti manajeman, teknologi dan sebagainya. 

Pendapat untuk mengembalikan nama-nama calon KPU-Bawaslu ke Presiden juga dikemukakan oleh Arteria Dahlan. Ia berpendapat bahwa Timsel KPU-Bawaslu yang dibentuk oleh Pemerintah banyak yang tidak memenuhi syarat. Hasil kerja Timsel dalam proses seleksi juga tidak pernah dilaporkan ke DPR. Hal inilah yang menurut Arteri tidak pantas dilakukan Timsel karena sesungguhnya DPR menginginkan laporan-laporan hasil seleksi.

Sejumlah anggota Komisi II DPR RI memang masih terbelah menyikapi rencana pemilihan KPU-Bawaslu. Sebagian berpendapat untuk menolak nama-nama hasil seleksi, tapi adapula yang ingin melanjutkan proses pemilihan dengan melakukan uji kelayakan. Politisi PDI-Perjuangan, Arief Wibowo dalam berbagai kesempatan menyampaikan bahwa tidak ada alasan menunda-nunda proses pemilihan anggota KPU-Bawaslu. Pendapatnya dapat dimengerti karena tahapan Pemilu 2019 akan dimulai pertengahan tahun ini. KPU-Bawaslu terpilih nanti akan langsung melakukan tahapan-tahapan Pemilu. Jika menunda pemilihan KPU-Bawaslu akan berimplikasi pada tahapan pelaksanaan Pemilu. Ketua Komisi II Zainuddin Amali menegaskan bahwa pembahasan pemilihan anggota KPU-Bawaslu akan dilakukan setelah reses DPR (Koran Jakarta 13/3/2017).

Pegiat Pemilu seperti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mendesak agar DPR tidak menunda atau bahkan menolak nama-nama calon anggota KPU-Bawaslu hasil seleksi Timsel. Demikian juga Ketua KPU saat ini, Juri Ardiantoro yang mengharapkan proses uji kelayakan calon anggota KPU-Bawaslu dapat segera dilaksanakan karena masa jabatan komisioner sebelumnya akan berakhir. 

Jaga Independensi

Pemilu sebagai hajatan demokrasi lima tahunan nanti diharapkan tidak hanya menjadi “pesta demokrasi” semata. Masyarakat Indonesia tentu berharap agar Pemilu dapat menghasilkan anggota Legislatif, Presiden serta Wakil Presiden yang dapat memenuhi cita-cita mereka. Pemilu juga diharapkan berlangsung secara adil, aman dan melahirkan pemimpin yang menyejahterakan.

Untuk terwujudnya Pemilu yang ideal, tentu harus dilaksanakan oleh penyelenggara yang ideal pula. Salah satu tuntutan utama bagi penyelenggara Pemilu (KPU-Bawalsu) adalah menjaga independesi (bersikap netral) sebagai penyelenggara. Tidak dipungkiri, pasca Pilkada serentak 2017, banyak masyarakat yang beranggapan adanya anggota KPU terlibat dalam kepentingan politik sehingga memihak pada salah satu pasangan calon tertentu. Hal ini yang tidak boleh dibiarkan terjadi pada gelaran Pemilu nanti.

Masyarakat juga tidak ingin ke depan mendengar adanya penyelenggara Pemilu yang diadukan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) karena diduga melanggar kode etik Pemilu. Pada Pilkada serentak 2017 lalu, DKPP mendapat pengaduan sebanyak 163 perkara. Dari jumlah tersebut memang tidak semua lolos untuk disidangkan karena diverifikasi oleh DKPP. Namun, jumlah yang cukup banyak tersebut menunjukkan bahwa ada banyak pelanggaran yang dilakukan oleh KPU-Bawaslu.

Situs resmi DKPP merilis bahwa total penyelenggara yang diadukan sebanyak 764 orang, dengan rincian: KPU Pusat sebanyak 10 orang; KPU Provinsi sebanyak 26 orang; KPU Kabupaten/Kota sebanyak 483 orang; PPK sebanyak 8 orang, PPS sebanyak 14 orang. Sedangkan dari pengawas Pemilu yang dilaporkan adalah: Bawaslu RI 7 orang, Bawaslu Provinsi sebanyak 26 orang, Panwaslu Kabupaten/Kota sebanyak 183 orang dan Panwaslu Kecamatan sebanyak 7 orang. Banyaknya jumlah penyelenggara Pemilu yang diadukan menjadi evaluasi bagi penyelenggara Pemilu yang akan datang.

Komposisi KPU-Bawaslu mendatang juga harus memerhatikan 30 persen keterwakilan perempuan. Hal ini menjadi amanat UU penyelenggara Pemilu dan yang selalu menjadi tuntutan aktivis perempuan dan perempuan politik.


[1] Tulisan ini diterbitkan harian Koran Jakarta, Rabu 15 Maret 2017 dengan judul “Uji Kelayakan KPU-Bawaslu”. Lihat: http://www.koran-jakarta.com/uji-kelayakan-kpu-bawaslu/.