Oleh: Ali Thaufan DS
(Alumnus Pascasarjana UIN Jakarta)
Novel Baswedan bukan
penyidik biasa. Ia dikenal pemberani. Mendapat tugas dari Polri menjadi
penyidik di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel menyidik beberapa kasus korupsi
“kakap” antara lain: korupsi Wisma Atlet; suap Ketua Mahkamah Konstitusi (MK),
Akil Mukhtar; hingga korupsi simulator SIM di Polri sendiri. Apa yang ia
lakukan di KPK membuat beberapa koleganya di Polri “meradang” terutama saat
Novel harus menyidik kasus yang melibatkan beberapa petinggi Polri.
Berbagai tekanan ia terima,
mulai dari kriminalisasi penyidik KPK oleh Polri, hingga teror penyiraman air
keras ke wajahnya yang terjadi pada 11
April 2017 pagi hari selepas menunaikan salat subuh di masjid dekat rumahnya. Simpati
untuk Novel mengalir deras dari presiden dan wakil presiden hingga seluruh
masyarakat yang mendukung KPK menuntaskan kasus berbagai korupsi. Teror ini
bukan yang pertama bagi Novel. Cerita teror terhadap KPK sering terjadi
terutama saat terjadi penyidikan kasus tertentu.
Harian Kompas mencatat sejak 2008 sudah terjadi sebelas bentuk teror
terhadap KPK, yaitu: KPK mendapat ancaman bom saat memeriksa Dewan Gubernur
Bank Indonesia pada tahun 2008; ancaman langsung melalui pesan singkat terhadap
Antasari Azhar pada tahun 2009; penahanan pimpinan KPK Bibit Riyanto dan
Chandra Hamzah pada 2009; ancaman pembunuhan kepada Chandra Hamzah dan seorang
penyidik KPK Ade Raharja saat menyidik kasus politisi Partai Demokrat
Nazaruddin pada tahun 2011; penyidik KPK Dwi Samayo mengalami peristiwa tabrak
lari yang mengakibatkan kakinya retak pada 2011; wakil ketua KPK Bambang
Wiyoyanto ditangkap Polri atas dugaan kesaksian palsu di sidang MK pada 2015;
ketua KPK Abraham Samad ditersangkakan Polri atas kasus pemalsuan dokumen pada
2015; adanya barang yang dicurigai bom di rumah salah satu penyidik KPK Afief
Julian Miftach pada 2015; ban mobil penyidik KPK Afief Julian Miftach ditusuk
dan disiram air keras pada 2015; Novel Baswedan mengalami peristiwa tabrak lari
yang menyebabkan luka-luka pada 2016; dan terakhir penyiraman air keras oleh
dua orang tak dikenal ke wajah Novel pada 2017.
Keberadaan KPK like dislike menjadi musuh para koruptor
baik di lingkungan eksekutif dan legislatif. Adanya revisi UU KPK yang sampai
hari ini terus digulirkan dianggap sebagai upaya para elit politik untuk
meredam dan membatasi kewenangan KPK. Diantara pasal-pasal dalam draf RUU KPK
yang paling menonjol sebagai upaya membatasi KPK adalah usia KPK yang dibatasi
hanya 12 (dua belas) tahun. Selain itu KPK hanya diberi kewenangan menanggani
kasus yang nilai kerugian terhadap negara minimal 50 miliar. Dengan demikian,
tentu ada batasan-batasan bagi KPK untuk memberantas korupsi.
Selain menjadi “momok” bagi
eksekutif-legislatif, KPK juga kerap berseteru dengan lembaga penegak hukum
lain, Polri. Perseteruan KPK-Polri terekam jelas dalam berbagai peristiwa
politik-hukum sehingga muncul istilah Cicak VS Buaya. Istilah ini sendiri
dimunculkan oleh Kabareskrim Polri saat itu (tahun 2009), Susno Djuaji. Kala
itu Susno menyidik kasus Bank Century dan ia merasa teleponnya disadap oleh KPK
karena diduga menerima suap dari kasus yang ia tanggani. Saat itu, ia merasa
Cicak (yang diasosiasikan KPK) dianggap melawan Buaya (yang diasosiasikan Polri).
Rentetan konflik KPK dan
Polri terus bergulir hampir setiap periode kepemimpinan Kapolri dan Ketua KPK
yang menjabat. Konflik KPK dan Polri yang belum lama terjadi adalah ketika KPK
mentersangkakan Budi Gunawan, calon Kapolri yang pada saat itu sedang menjalani
proses fit and prorestest di DPR, dan
dinyatakan lolos untuk dilantik presiden. Konflik semakin panjang ketika Polri
memberendel para penyidiknya yang bertugas di KPK dan klimaksnya adalah
penangkapan komisioner KPK, Bambang Wijayanto dan Abraham Samad. Kita berharap
konflik dan perseteruan KPK dengan Polri tidak lagi terjadi. Sebagai lembaga
yang punya kepentingan menegakkan hukum, seharusnya kedua lembaga ini saling
bersinergi.
Peristiwa penyiraman air
keras kepada Novel adalah tindakan brutal, dan tidak dapat dibenarkan dengan
dalih apapun. Kita menanti hasil investigasi yang dilakukan Polri untuk
mengungkap pelaku. Siapapun pelakunya, dan dalang di belakang pelaku harus
dihukum seberat-beratnya.
Teror penyiraman air keras
terhadap Novel memang sangat berkaitan dengan kasus yang sedang ia sidik,
korupsi e-KTP. Pasalnya, kasus ini sediri sedang berjalan di KPK dan dianggap
melibatkan para elit politik dari berbagai parpol. Atas kejadian yang menimpa
Novel ini, KPK dan Polri seharusnya memanfaatkan momentum untuk membuktikan
apakah teror Novel dan kasus yang ia tanggani berkorelasi, berkaitan dan sebuah
konspirasi. Publik menanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar