Minggu, 16 April 2017

Teror Terhadap Novel-KPK

Oleh: Ali Thaufan DS (Alumnus Pascasarjana UIN Jakarta)

Novel Baswedan bukan penyidik biasa. Ia dikenal pemberani. Mendapat tugas dari Polri menjadi penyidik di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel menyidik beberapa kasus korupsi “kakap” antara lain: korupsi Wisma Atlet; suap Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Akil Mukhtar; hingga korupsi simulator SIM di Polri sendiri. Apa yang ia lakukan di KPK membuat beberapa koleganya di Polri “meradang” terutama saat Novel harus menyidik kasus yang melibatkan beberapa petinggi Polri.

Berbagai tekanan ia terima, mulai dari kriminalisasi penyidik KPK oleh Polri, hingga teror penyiraman air keras  ke wajahnya yang terjadi pada 11 April 2017 pagi hari selepas menunaikan salat subuh di masjid dekat rumahnya. Simpati untuk Novel mengalir deras dari presiden dan wakil presiden hingga seluruh masyarakat yang mendukung KPK menuntaskan kasus berbagai korupsi. Teror ini bukan yang pertama bagi Novel. Cerita teror terhadap KPK sering terjadi terutama saat terjadi penyidikan kasus tertentu.

Harian Kompas mencatat sejak 2008 sudah terjadi sebelas bentuk teror terhadap KPK, yaitu: KPK mendapat ancaman bom saat memeriksa Dewan Gubernur Bank Indonesia pada tahun 2008; ancaman langsung melalui pesan singkat terhadap Antasari Azhar pada tahun 2009; penahanan pimpinan KPK Bibit Riyanto dan Chandra Hamzah pada 2009; ancaman pembunuhan kepada Chandra Hamzah dan seorang penyidik KPK Ade Raharja saat menyidik kasus politisi Partai Demokrat Nazaruddin pada tahun 2011; penyidik KPK Dwi Samayo mengalami peristiwa tabrak lari yang mengakibatkan kakinya retak pada 2011; wakil ketua KPK Bambang Wiyoyanto ditangkap Polri atas dugaan kesaksian palsu di sidang MK pada 2015; ketua KPK Abraham Samad ditersangkakan Polri atas kasus pemalsuan dokumen pada 2015; adanya barang yang dicurigai bom di rumah salah satu penyidik KPK Afief Julian Miftach pada 2015; ban mobil penyidik KPK Afief Julian Miftach ditusuk dan disiram air keras pada 2015; Novel Baswedan mengalami peristiwa tabrak lari yang menyebabkan luka-luka pada 2016; dan terakhir penyiraman air keras oleh dua orang tak dikenal ke wajah Novel pada 2017.

Keberadaan KPK like dislike menjadi musuh para koruptor baik di lingkungan eksekutif dan legislatif. Adanya revisi UU KPK yang sampai hari ini terus digulirkan dianggap sebagai upaya para elit politik untuk meredam dan membatasi kewenangan KPK. Diantara pasal-pasal dalam draf RUU KPK yang paling menonjol sebagai upaya membatasi KPK adalah usia KPK yang dibatasi hanya 12 (dua belas) tahun. Selain itu KPK hanya diberi kewenangan menanggani kasus yang nilai kerugian terhadap negara minimal 50 miliar. Dengan demikian, tentu ada batasan-batasan bagi KPK untuk memberantas korupsi.

Selain menjadi “momok” bagi eksekutif-legislatif, KPK juga kerap berseteru dengan lembaga penegak hukum lain, Polri. Perseteruan KPK-Polri terekam jelas dalam berbagai peristiwa politik-hukum sehingga muncul istilah Cicak VS Buaya. Istilah ini sendiri dimunculkan oleh Kabareskrim Polri saat itu (tahun 2009), Susno Djuaji. Kala itu Susno menyidik kasus Bank Century dan ia merasa teleponnya disadap oleh KPK karena diduga menerima suap dari kasus yang ia tanggani. Saat itu, ia merasa Cicak (yang diasosiasikan KPK) dianggap melawan Buaya (yang diasosiasikan Polri).

Rentetan konflik KPK dan Polri terus bergulir hampir setiap periode kepemimpinan Kapolri dan Ketua KPK yang menjabat. Konflik KPK dan Polri yang belum lama terjadi adalah ketika KPK mentersangkakan Budi Gunawan, calon Kapolri yang pada saat itu sedang menjalani proses fit and prorestest di DPR, dan dinyatakan lolos untuk dilantik presiden. Konflik semakin panjang ketika Polri memberendel para penyidiknya yang bertugas di KPK dan klimaksnya adalah penangkapan komisioner KPK, Bambang Wijayanto dan Abraham Samad. Kita berharap konflik dan perseteruan KPK dengan Polri tidak lagi terjadi. Sebagai lembaga yang punya kepentingan menegakkan hukum, seharusnya kedua lembaga ini saling bersinergi.

Peristiwa penyiraman air keras kepada Novel adalah tindakan brutal, dan tidak dapat dibenarkan dengan dalih apapun. Kita menanti hasil investigasi yang dilakukan Polri untuk mengungkap pelaku. Siapapun pelakunya, dan dalang di belakang pelaku harus dihukum seberat-beratnya.


Teror penyiraman air keras terhadap Novel memang sangat berkaitan dengan kasus yang sedang ia sidik, korupsi e-KTP. Pasalnya, kasus ini sediri sedang berjalan di KPK dan dianggap melibatkan para elit politik dari berbagai parpol. Atas kejadian yang menimpa Novel ini, KPK dan Polri seharusnya memanfaatkan momentum untuk membuktikan apakah teror Novel dan kasus yang ia tanggani berkorelasi, berkaitan dan sebuah konspirasi. Publik menanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar