Menjaga Independensi KPU-Bawaslu
Oleh: Ali Thaufan Dwi
Saputra (Alumnus Pascasarjana UIN Jakarta)
Anggota Komisi Pemilihan
Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) periode 2012-2017 akan
mengakhiri masa jabatannya pada 12 April 2017 nanti. Pemerintah melalui Panitia
Tim Seleksi (Timsel) telah menyeleksi dan menetapkan sebanyak 14 calon anggota
KPU dan 10 calon anggota Bawaslu dari sekian banyak nama yang mencalonkan diri.
Nama-nama tersebut sudah ditangan Presiden, dan sudah diserahkan ke Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) untuk dilakukan fit
and proper test atau uji kelayakan.
Keberadaan KPU diatur dalam Undang-undang
Dasar 1945 pasal 22e, dan kemudian diatur lebih lanjut dalam Undang-undang No.
15 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu. KPU bersifat nasional, tetap dan
mandiri. Asas utama KPU dan Bawaslu seperti tertera dalam UU pasal 2 adalah:
mandiri; jujur; adil; kepastian hukum; tertib; kepentingan umum; keterbukaan;
proporsionalitas; profesionalitas; akuntabilitas; efisiensi; dan efektivitas.
Menjelang uji kelayakan
anggota KPU-Bawaslu, muncul pendapat dari anggota Komisi II DPR untuk menunda
dan bahkan menolak nama-nama hasil seleksi Timsel yang sudah dikirimkan
Presiden ke DPR. Namun, ada pula anggota Komisi II DPR yang menginginkan untuk
segera melakukan uji kelayakan dan memilih anggota KPU.
Salah satu yang menjadi
“kegundahan” terhadap pemilihan KPU-Bawaslu adalah proses pemilihannya
bersamaan dengan proses pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu. Untuk diketahui,
RUU Penyelenggaraan Pemilu nantinya akan mengatur tiga UU sekaligus, UU Pemilu
Legislatif, UU Pemilu Presiden, dan UU Penyelenggaraa Pemilu (UU yang mengatur
KPU-Bawaslu). Dalam RUU Penyelenggaraan Pemilu, jumlah anggota KPU dan Bawaslu
masih seperti pada UU No. 15 tahun 2011, KPU Pusat 5 orang; KPU Provinsi 5
orang; dan KPU Kabupaten/Kota 5 orang (lihat pasal 6). Sedangkan untuk Bawaslu
Pusat 5 orang; Bawaslu Provinsi 3 orang; Panwaslu Kabupaten/Kota 3 orang; dan
Panwaslu Kecamatan 3 orang (pasal 72).
Di dalam pembahasan RUU Penyelenggaraan
Pemilu, terdapat beberapa fraksi yang mengusulkan penambahan jumlah anggota
KPU-Bawaslu mendatang. Hal ini tercermin dari daftar inventasisasi masalah
(DIM) fraksi-fraksi di DPR. Fraksi Partai Golkar misalnya mengusulkan
penambahan jumlah KPU Pusat dari 7 orang menjadi 11 orang. Demikian juga Fraksi
PKB yang mengusulkan penambahan dari 7 orang menjadi 9 orang untuk KPU Pusat.
Penambahan ini cukup beralasan karena Pemilu 2019 nanti akan dilangsungkan
serentak sehingga beban kerja KPU-Bawaslu amat berat. Terlebih lagi, ini adalah
Pemilu serentak nasional pertama bagi Indonesia. Selain itu, Panwaslu
Kabupaten/Kota yang saat ini bersifat ad
hoc akan dipermanenkan menjadi Bawaslu Kabupaten/Kota (pasal 80 RUU Penyelenggaraan
Pemilu).
Beberapa ketentuan di atas
menjadi pertimbangan untuk menunda sementara pemilihan anggota KPU-Bawaslu di
DPR, dan menunggu pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu selesai. Pasalnya, RUU
ini nantinya akan menjadi payung hukum keberadaan KPU-Bawaslu, serta RUU inilah
yang nantinya akan menjadi acuan KPU-Bawaslu dalam penyelenggaraan Pemilu 2019.
Selain masalah bersamaannya
waktu pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu dan pemilihan KPU, terdapat alasan
dan ide-ide lain untuk menunda pemilihan KPU-Bawaslu. Pendapat ini dikemukakan
oleh anggota Komisi II seperti Yadri Susanto dan Arteria Dahlan. Menurut Yandri
misalnya, calon KPU yang lolos seleksi saat ini belum memenuhi komposisi ideal
untuk menghadapi Pemilu 2019 nanti. Yandri mencontohkan jika pada Pemilu 2019
nanti menggunakan sistem e-vooting
dalam penghitungan suara, maka paling tidak ada anggota KPU yang memiliki
keahlian bidang teknologi. Hal inilah yang membuatnya meminta Komisi II untuk
mengembalikan nama-nama calon KPU-Bawaslu ke Presiden.
Jika dicermati lebih dalam,
anggota KPU-Bawaslu harus mewakili berbagai latar belakangan keahlian dan
profesi. Anggota KPU dan Bawaslu meski harus memiliki pengetahuan dan keahlian
yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu, juga harus memerhatikan kombinasi
profesi (keahlian) seperti manajeman, teknologi dan sebagainya.
Pendapat untuk mengembalikan
nama-nama calon KPU-Bawaslu ke Presiden juga dikemukakan oleh Arteria Dahlan.
Ia berpendapat bahwa Timsel KPU-Bawaslu yang dibentuk oleh Pemerintah banyak
yang tidak memenuhi syarat. Hasil kerja Timsel dalam proses seleksi juga tidak
pernah dilaporkan ke DPR. Hal inilah yang menurut Arteri tidak pantas dilakukan
Timsel karena sesungguhnya DPR menginginkan laporan-laporan hasil seleksi.
Sejumlah anggota Komisi II
DPR RI memang masih terbelah menyikapi rencana pemilihan KPU-Bawaslu. Sebagian
berpendapat untuk menolak nama-nama hasil seleksi, tapi adapula yang ingin
melanjutkan proses pemilihan dengan melakukan uji kelayakan. Politisi
PDI-Perjuangan, Arief Wibowo dalam berbagai kesempatan menyampaikan bahwa tidak
ada alasan menunda-nunda proses pemilihan anggota KPU-Bawaslu. Pendapatnya
dapat dimengerti karena tahapan Pemilu 2019 akan dimulai pertengahan tahun ini.
KPU-Bawaslu terpilih nanti akan langsung melakukan tahapan-tahapan Pemilu. Jika
menunda pemilihan KPU-Bawaslu akan berimplikasi pada tahapan pelaksanaan
Pemilu. Ketua Komisi II Zainuddin Amali menegaskan bahwa pembahasan pemilihan
anggota KPU-Bawaslu akan dilakukan setelah reses DPR (Koran Jakarta 13/3/2017).
Pegiat Pemilu seperti
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mendesak agar DPR tidak
menunda atau bahkan menolak nama-nama calon anggota KPU-Bawaslu hasil seleksi
Timsel. Demikian juga Ketua KPU saat ini, Juri Ardiantoro yang mengharapkan
proses uji kelayakan calon anggota KPU-Bawaslu dapat segera dilaksanakan karena
masa jabatan komisioner sebelumnya akan berakhir.
Jaga Independensi
Pemilu sebagai hajatan
demokrasi lima tahunan nanti diharapkan tidak hanya menjadi “pesta demokrasi”
semata. Masyarakat Indonesia tentu berharap agar Pemilu dapat menghasilkan
anggota Legislatif, Presiden serta Wakil Presiden yang dapat memenuhi cita-cita
mereka. Pemilu juga diharapkan berlangsung secara adil, aman dan melahirkan
pemimpin yang menyejahterakan.
Untuk terwujudnya Pemilu
yang ideal, tentu harus dilaksanakan oleh penyelenggara yang ideal pula. Salah
satu tuntutan utama bagi penyelenggara Pemilu (KPU-Bawalsu) adalah menjaga
independesi (bersikap netral) sebagai penyelenggara. Tidak dipungkiri, pasca
Pilkada serentak 2017, banyak masyarakat yang beranggapan adanya anggota KPU
terlibat dalam kepentingan politik sehingga memihak pada salah satu pasangan
calon tertentu. Hal ini yang tidak boleh dibiarkan terjadi pada gelaran Pemilu
nanti.
Masyarakat juga tidak ingin
ke depan mendengar adanya penyelenggara Pemilu yang diadukan ke Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) karena diduga melanggar kode etik
Pemilu. Pada Pilkada serentak 2017 lalu, DKPP mendapat pengaduan sebanyak 163
perkara. Dari jumlah tersebut memang tidak semua lolos untuk disidangkan karena
diverifikasi oleh DKPP. Namun, jumlah yang cukup banyak tersebut menunjukkan
bahwa ada banyak pelanggaran yang dilakukan oleh KPU-Bawaslu.
Situs resmi DKPP merilis
bahwa total penyelenggara yang diadukan sebanyak 764 orang, dengan rincian: KPU
Pusat sebanyak 10 orang; KPU Provinsi sebanyak 26 orang; KPU Kabupaten/Kota
sebanyak 483 orang; PPK sebanyak 8 orang, PPS sebanyak 14 orang. Sedangkan dari
pengawas Pemilu yang dilaporkan adalah: Bawaslu RI 7 orang, Bawaslu Provinsi
sebanyak 26 orang, Panwaslu Kabupaten/Kota sebanyak 183 orang dan Panwaslu
Kecamatan sebanyak 7 orang. Banyaknya jumlah penyelenggara Pemilu yang diadukan
menjadi evaluasi bagi penyelenggara Pemilu yang akan datang.
Komposisi KPU-Bawaslu mendatang
juga harus memerhatikan 30 persen keterwakilan perempuan. Hal ini menjadi amanat
UU penyelenggara Pemilu dan yang selalu menjadi tuntutan aktivis perempuan dan
perempuan politik.