Oleh: Ali Thaufan DS
“Sebagian
besar artikel berita yang beredar di jejaring media sosial adalah artikel
dengan judul yang tidak jelas, bombastis, dan ‘murahan’. Parahnya, sebagian
besar artikel tersebut berisi informasi-informasi palsu yang asal dibagikan
tanpa konfirmasi dan verifikasi”. Demikian tulis
sebuah kolom berita di Harian Kompas, 25 November 2016.
Sejak dimulainya pelaksanaan kampanye
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2017, sudah terjadi beberapa
kericuhan seperti di Jakarta, yang salah satu calon mengalami penghadangan dari
masyarakat. Selain itu deklarasi damai di Pilkada Gorontalo justru berakhir
ricuh. Selain itu, pada 19 Desember 2016 kemarin, rumah salah satu pasangan
calon di Pilgub Aceh ditembak oleh orang tak dikenal. Penembakan tersebut
menunjukkan betapa rawannya pelaksanaan Pilkada. Berbagai tindakan melawan
hukum juga marak terjadi. Data Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menyebutkan
adanya ketidaknetralan Aparatur Sipil Negara (ASN) diberbagai daerah dalam
pelaksanaan Pilkada.
Tidak hanya kericuhan, penembakan juga pelanggaran kampanye yang dilakukan ASN, penulis juga mendapati banyak sekali ujaran kebencian di media sosial dan pesan pribadi (SMS, BBM, maupun Whatsapp) selama masa kampanye ini. Munculnya ujaran kebencian dalam kampanye yang begitu masif, memancing terjadinya konflik antarpemilih di daerah yang menggelar Pilkada.
Kampanye Pilkada diwarnai hal-hal tak
beretika. Informasi seputar Pilkada yang menyebar di media sosial hingga pesan
pribadi sulit dibuktikan kebenaran. Bahkan, informasi yang beredar tersebut
justru merupakan kebohongan. Pada masa kampanye, publik sulit sekali memilih
mana berita yang sebenarnya (berdasarkan fakta) begitu sebaliknya. Berita
bohong –atau yang populer disebut berita Hoax-
menjadi konsumsi sehari-hari.
K. Bertens (2007: 5) dalam bukunya
yang cukup terkenal, Etika, mengulas
secara panjang lebar tentang apa itu etika. Ia menjelaskan bahwa kata etika
sering terdengar ditelinga publik. Mereka yang membaca koran dan mendengar
berita mungkin akan sering mendapatkan kata etika. Begitu mudahnya kata etika
didapatkan, tetapi amat sulit dikerjakan. Lanjut Bertens, etika bukan saja
tentang ilmu yang baik dan buruk, tetapi juga nilai yang berkaitan dengan moral
dan nilai mengenai benar dan salahnya sesuatu yang dilakukan sebuah kelompok di
masyarakat. Ini menunjukkan betapa pentingnya etika dalam kehidupan.
Oleh sebab itu, ketika etika dijadikan
basis kehidupan bermasyarakat, maka muncul kajian mengenai etika politik,
bisnis, komunikasi dan sebagainya. Semua itu dimaksud agar etika menjadi
penuntun dalam prinsip kehidupan yang lebih baik. Hal-hal yang melanggar
prinsip kebaikan disebut tak beretika.
Dalam kaitannya dengan Pilkada,
masyarakat menghadapi hal-hal tak beretika. Kampanye penuh dengan tuduhan dan
fitnah (atau disebut kampanye hitam) menyebar dengan mudah melalui media
sosial. Media sosial menjadi “mesin pengadu domba” pendukung paslon. Akibatnya,
benih-benih perpecahan di tengah masyarakat sulit dihindari. Contoh paling riil
dan mudah didapati adalah dalam Pilgub DKI Jakarta. Berbagai berita hoax begitu mudah didapati. Hal tersebut
sering memancing reaksi kemarahan pihak-pihak yang dirugikan.
Kabar bohong yang menyebar berbuah
pada kebencian di masyarakat. Sulitnya mengklarifikasi kebenaran atau
kebohongan kabar menjadi tantangan untuk menghentikan sikap saling curiga di
tengah masyarakat. Fanatisme yang begitu terpatri dalam hati pendukung paslon
tertentu juga membuat sulitnya menegakkan etika di Pilkada.
Kedewasan dalam berpolitik masih jauh
implementasinya dalam gelaran Pilkada. Pengetahuan tentang cara-cara meraih
kekuasaan secara demokratis tidak diikuti dengan cara-cara yang bijak dan bernilai.
Akhirnya, pemimpin yang hadir, minim nilai pula. Substansi Pilkada tidak
dipahami sebagai cara sebuah daerah menentukan pemimpin yang akan bertanggung
jawab selama beberapa tahun. Pilkada sering dimaknai sekedar mencoblos paslon.
Sungguh, sangat disayangkan berbagai
tindakan tak beretika tersebut mewarnai proses Pilkada yang diharapkan berjalan
demokratis. Masing-masing pendukung paslon diharapkan mengedepankan cara-cara
bijak untuk memenangkan “jagoannya”. Demikian juga masing-masing calon, diharapkan
mampu menyejukan pendukung (calon pemilihnya).
Pendidikan politik bagi pemilih menjadi penting ketika banyak daerah mengalami krisis etika dalam Pilkada. Siapa yang paling bertanggung jawab? Tentu, partai politik. Tanggung jawab terhadap pendidikan politik tak dibebankan kepada parpol telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Namun, tak cukup parpol saja, lebih dari itu, masing-masing individu punya peran penting mewujudkan Pilkada yang beretika.