Oleh: Ali Thaufan DS (Penulis adalah
Tenaga Ahli Anggota DPR Fraksi Partai Golkar, dan Alumnus Progam Magister UIN
Jakarta)
Wacana
penambahan dana untuk partai politik dari anggaran pendapatan dan belanja
negara (APBN) dan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) kembali
mengemuka. Komisi II DPR RI dan Pemerintah (dalam hal ini Kementerian Dalam
Negeri) telah membahasnya dalam Rapat Kerja, Senin (3/10) lalu. Sebagian masyarakat
pun menanggapi negatif penambahan dana suntikan untuk parpol tersebut. Terlebih
kondisi ekonomi yang dalam ketidakpastian karena adanya pemangkasan anggaran
dibanyak sektor. Pandangan mereka terhadap parpol masih cenderung negatif.
Maurice
Deverger (1981) menyatakan bahwa tujuan partai politik tidak lain hanya untuk
meraih kekuasaan dan kepentingan. Parpol akan selalu berusaha menguasai
“eksekutif-Legislatif” serta mempengaruhi kebijakan pemerintah demi
kepentinganya. Lalu, benarkah demikian? Di tengah usulan parpol untuk meminta
tambahan dana, wajar jika masyarakat membenarkan pandangan Deverger tersebut.
Pendanaan
parpol oleh negara memiliki payung hukum, yaitu Peraturan Pemerintah No. 5
tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik, yang kemudian
direvisi dengan PP No. 83 tahun 2012. Dalam PP tersebut parpol diberikan dana
berbasarkan perolehan suara. Satu suara dihargai sebesar Rp. 108, yang kemudian
dikalikan dengan perolehan suara pada Pemilu sebelumnya berdasarkan
penghitungan KPU. Jumlah tersebut dinilai terlalu kecil sehingga parpol dalam
banyak kegiatan (baik harian maupun kegiatan tertentu seperti Pemilu dan
Pilkada) harus mencari sumber pendanaan lain.
Pendanaan
parpol kerap menjadi sorotan manakala parpol dihadapkan pada minimnya bantuan
dari negara dan besarnya kebutuhan operasional, terutama saat menghadapi Pemilu.
Ada gap yang cukup besar antara
pendapatan dan pengeluaran uang parpol. Pada akhirnya, untuk menutup kebutuhan
pendanaan yang besar tersebut, “gotong-royong” memikul dana parpol menjadi
kewajiban kader parpol. Sumbangan kader menjadi solusi utama menambal
kekurangan.
Pendanaan
parpol oleh negara sejatinya dimaksud untuk melakukan pendidikan politik kader
parpol. PP No. 83 tahun 2012 pasal 9 bahkan mensyaratkan agar minimal 60 persen
dana yang diberikan negara digunakan untuk melakukan fungsi pendidikan politik
bagi kader parpol. “Bantuan Keuangan
kepada Partai Politik digunakan untuk melaksanakan pendidikan politik bagi
anggota Partai Politik dan masyarakat paling sedikit 60 % (enam puluh persen)”.
Hal ini pula yang mengundang polemik saat DPR berencana membuat sekolah politik
bagi anggota DPR, karena anggota DPR yang merupakan kader parpol seharusnya
mendapat pendidikan politik internal parpol.
Batuan
anggaran negara kepada parpol memang dirasa sangat penting. Tentu saja dengan
bantuan keuangan tersebut, parpol di Indonesia dapat bertransformasi menjadi
parpol yang modern dan berkualitas. Pendanaan parpol juga dianggap dapat
meminimalisasi perilaku koruptif kader. Di negara-negara maju penganut sistem
demokrasi, dana parpol memang disediakan oleh negara.
Perlu
diingat, bahwa parpol juga dituntut untuk menjaga tranparansi dan akuntabel
terhadap pendanaan atau keuangannya. Parpol diwajibkan memberikan laporan pertanggungjawaban
kepada pemerintah sebagai bentuk tanggung jawab penggunaan dana negara. Pada
saat bersamaan harus ada kesadara parpol untuk pengelolaan keuangan yang lebih
sehat.
Owen
Podger (2016) menyampaikan bahwa akuntabilitas dan transparansi parpol di
Indonesia harus segera dimulai. Hal ini dapat dimulai dari momentum parpol saat
menghadapi Pilkada. Penyelenggara Pemilu (KPU) harus mengaudit keuangan parpol.
Dengan transparansi tersebut, masyarakat akan bersimpati, dan merubah pandangan
parpol yang elitis dan ekslusif.
Pendanaan
parpol dan kaderisasi yang dimaksudkan seperti tidak berjalan seiringan. Contoh
kecil dari hal ini adalah pencalonan pada Pilkada DKI Jakarta. Seluruh calon
gubernur bukan berasal dari kader parpol, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) adalah
mantan kader partai Golkar dan Gerindra, Anis Baswedan dan Agus Harimurti Yudhoyono
pun tak pernah mengenyam kerasnya pendidikan sebagai kader parpol.
Dalam
kasus Pilkada DKI Jakarta, artibut relawan pendukung pasangan calon justru lebih
mendominasi ketimbang atribut parpol. Gerakan dan mobilisasi relawan jauh lebih
masif, terstruktur, terukur, dan sistematis. Publik justru lebih senang
calonnya hadir bukan dari parpol. Hal ini terbukti pada saat Ahok resmi diusung
parpol, beberapa relawan yang mendukungnya pun menarik dukungan terhadapnya. Ini
bisa dimaknai sebagai “tamparan relawan kepada parpol”.
Pendanaan
parpol bukan soal setuju atau tidak, tetapi ini adalah amanat peraturan
perundang-undangan yang harus dilaksanakan. Untuk itu diperlukan keseriusan
parpol dalam mengelola keuangan. Pengawasan pendanaan dan transparansi keuangan
tetap bisa dilakukan oleh lembaga negara (BKP, PPATK, KPK) juga masyarakat
partisan parpol. Oleh sebab itu, tidak perlu ada lagi kekhawatiran terhadap
pendanaan parpol oleh negara. Parpol yang melakukan penyimpangan pengelolaan
keuangan pada akhirnya akan mendapat “hukum masyarakat”.
Dengan
pendanaan dari negara tersebut, parpol punya kewajiban untuk melakukan
kaderisasi sesuai dengan AD/ART parpol yang bersangkutan. Pemerintah bisa saja
merumuskan aturan sanksi bagi parpol yang gagal mengkader. Indikator kegagalan
tersebut bisa ditetapkan dengan sederhana, misalnya, menghentikan bantuan
pendanaan bagi parpol atau gabungan parpol yang tidak mengusung calon dalam
pilkada, dan tidak melakukan pendidikan politik kader maupun rekrutmen kader.
Komitmen
pendanaan sesuai PP memberikan konsekuensi komitmen kaderisasi bagi parpol.
Dengan dana tersebut parpol dapat leluasa melakukan pengkaderan dan menjalankan
fungsi pendidikan politik. Parpol harus merumuskan pendidikan politik yang
lebih menarik bagi kadernya. Pendidikan politik juga harus bersifat inovatif
tanpa mengurangi substansi muatan materi seperti ditentukan dalam peraturan
yang berlaku.
*)
Suara Karya, 6 Oktober 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar