Oleh: Ali Thaufan DS
Selasa 20 September 2016 menjadi hari penuh
duka bagi warga Garut. Banjir bandang yang datang malam hari menjadi bencana
yang tak terlupa seumur hidup bagi mereka yang selamat dari amukan luapan air
sungai Cimauk. Kesedihan Garut seketika menjadi kesedihan Indonesia setelah
media memberitakan bencana yang menelan puluhan korban jiwa tersebut.
Banjir tak hanya menelan korban jiwa, tetapi
juga korban disektor ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Puluhan sekolah
dikabarkan rusak. Akibat kerusakan infrastruktur, aktivitas ekonomi warga
praktis terhenti. Banjir juga merusak Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr.
Slamet, dan ditaksir mengalami kerugian hingga miliaran rupiah.
Banjir di kota yang berjuluk Swiss van Java
tersebut menjadi penanda rawannya bencana di Indonesia, terlebih saat musim
hujan. Jika keseimbangan alam tidak dijaga, banjir yang sama diperkirakan akan
kerap terjadi. Pemerintah Kabupaten Garut menyadari bahwa hutan di selatan
Garut terus tergerus, mengalami penyempitan. Oknum tak bertanggung jawab
mengunduli kawasan hutan yang seharusnya menjadi cadangan air tersebut.
Sebelum bencana banjir bandang ini, beberapa
peristiwa banjir tercatat di Garut. Nyoto Santoso mencatat pada tahun 2011
terjadi banjir di daerah aliran sungai Cimauk yang menghanyutkan tiga rumah.
Banjir yang sama terjadi kembali pada 2014 dengan merendam 720 rumah warga.
Akibatnya, 35 unit rumah mengalami kerusakan. Banjir tersebut juga menjadi
bencana bagi hewan ternak penduduk seperti, ikan, sapi dan kambing.
Sebagian pihak menuding banjir tersebut akibat
penggundulan hutan dan penebangan liar yang tidak diikuti dengan reboisasi.
Keserakahan manusia membuahkan bencana. Peneliti dari Universitas Gaja Mada
(UGM) menyimpulkan bahwa bencana ini bukan semata karena faktor alam, tetapi
adanya alih fungsi lahan yang tidak diikuti dengan kajian komprehensif. Banyak
pihak prihatin akibat hutan gundul yang menjadi biang bencana banjir ini.
Aparat penegak hukum mendapat tuntutan untuk mengungkap kasus penebangan liar dan
menindak tegas pelakunya.
Kini Garut menanggung beban berat.
Revitalisasi pasca banjir bukan perkara mudah. Butuh waktu lama untuk
memulihkan kondisi infrastruktur yang rusak. Secara psikis, kondisi korban
Garut masih diliputi trauma mendalam, terutama anak-anak.
Pemerintah Garut mengaku kini kesulitan
keuangan. Sebelum banjir, Pemkab Garut sudah meminjam dana di bank untuk
menutup defisit sebesar Rp. 324 miliar. Tentu saja beban kian berat pasca
banjir. Pemkab harus memberi jaminan warga korban banjir sebesar Rp. 10.000 per
orang dalam satu hari selama enam bulan. Jika ditotal, Pemkab harus menyediakan
dana sebesar Rp. 4,5 miliar. (Kompas
30/9/2016).
Untuk menangani korban banjir ini, Pemkab
tidak bisa menyelesaikan sendiri. Pemerintah pusat harus “menginvervensi”.
Diperlukan sinergi antarkementerian dan lembaga negara. Untuk menanganan
kerusakan infrastruktur, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
(PUPR). Penataan ulang tata ruang kota juga harus dilakukan untuk memetakan
daerah pemukiman, ruang terbuka hijau, dan kawasan hutan. Penegakan hukum bagi
oknum yang melalukan penebangan liar hutan di Garut juga harus ditindak tegas
sebagai imbalan dari ulahnya. Dengan semangat kebersamaan, penanganan korban
Banjir Garut dapat segera diselesaikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar