Selasa, 11 Oktober 2016

Duka Garut, Duka Indonesia



Oleh: Ali Thaufan DS
 
Selasa 20 September 2016 menjadi hari penuh duka bagi warga Garut. Banjir bandang yang datang malam hari menjadi bencana yang tak terlupa seumur hidup bagi mereka yang selamat dari amukan luapan air sungai Cimauk. Kesedihan Garut seketika menjadi kesedihan Indonesia setelah media memberitakan bencana yang menelan puluhan korban jiwa tersebut.

Banjir tak hanya menelan korban jiwa, tetapi juga korban disektor ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Puluhan sekolah dikabarkan rusak. Akibat kerusakan infrastruktur, aktivitas ekonomi warga praktis terhenti. Banjir juga merusak Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Slamet, dan ditaksir mengalami kerugian hingga miliaran rupiah. 

Banjir di kota yang berjuluk Swiss van Java tersebut menjadi penanda rawannya bencana di Indonesia, terlebih saat musim hujan. Jika keseimbangan alam tidak dijaga, banjir yang sama diperkirakan akan kerap terjadi. Pemerintah Kabupaten Garut menyadari bahwa hutan di selatan Garut terus tergerus, mengalami penyempitan. Oknum tak bertanggung jawab mengunduli kawasan hutan yang seharusnya menjadi cadangan air tersebut.

Sebelum bencana banjir bandang ini, beberapa peristiwa banjir tercatat di Garut. Nyoto Santoso mencatat pada tahun 2011 terjadi banjir di daerah aliran sungai Cimauk yang menghanyutkan tiga rumah. Banjir yang sama terjadi kembali pada 2014 dengan merendam 720 rumah warga. Akibatnya, 35 unit rumah mengalami kerusakan. Banjir tersebut juga menjadi bencana bagi hewan ternak penduduk seperti, ikan, sapi dan kambing.

Sebagian pihak menuding banjir tersebut akibat penggundulan hutan dan penebangan liar yang tidak diikuti dengan reboisasi. Keserakahan manusia membuahkan bencana. Peneliti dari Universitas Gaja Mada (UGM) menyimpulkan bahwa bencana ini bukan semata karena faktor alam, tetapi adanya alih fungsi lahan yang tidak diikuti dengan kajian komprehensif. Banyak pihak prihatin akibat hutan gundul yang menjadi biang bencana banjir ini. Aparat penegak hukum mendapat tuntutan untuk mengungkap kasus penebangan liar dan menindak tegas pelakunya. 

Kini Garut menanggung beban berat. Revitalisasi pasca banjir bukan perkara mudah. Butuh waktu lama untuk memulihkan kondisi infrastruktur yang rusak. Secara psikis, kondisi korban Garut masih diliputi trauma mendalam, terutama anak-anak. 

Pemerintah Garut mengaku kini kesulitan keuangan. Sebelum banjir, Pemkab Garut sudah meminjam dana di bank untuk menutup defisit sebesar Rp. 324 miliar. Tentu saja beban kian berat pasca banjir. Pemkab harus memberi jaminan warga korban banjir sebesar Rp. 10.000 per orang dalam satu hari selama enam bulan. Jika ditotal, Pemkab harus menyediakan dana sebesar Rp. 4,5 miliar. (Kompas 30/9/2016).

Untuk menangani korban banjir ini, Pemkab tidak bisa menyelesaikan sendiri. Pemerintah pusat harus “menginvervensi”. Diperlukan sinergi antarkementerian dan lembaga negara. Untuk menanganan kerusakan infrastruktur, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Penataan ulang tata ruang kota juga harus dilakukan untuk memetakan daerah pemukiman, ruang terbuka hijau, dan kawasan hutan. Penegakan hukum bagi oknum yang melalukan penebangan liar hutan di Garut juga harus ditindak tegas sebagai imbalan dari ulahnya. Dengan semangat kebersamaan, penanganan korban Banjir Garut dapat segera diselesaikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar