Oleh:
Ali Thaufan Dwi Saputra
20
Oktober 2014 lalu, Joko Widodo secara resmi dilantik sebagai Presiden RI ke-7
bersama Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden. Ia menjadi harapan baru Indonesia. Majalah
terkemuka Amerika, Time menerbitkan
edisi untuk menyambut pelantikan Jokowi dengan gambar fotonya dan bertulis “a
new hope”.
Diawal
pemerintahannya, Jokowi mendapat kendala yang sangat berarti, minimnya dukungan
parlemen. Partai pendukung pemerintah dibuat keok dalam beberapa momentum penentuan pimpinan DPR dan alat
kelengkapan dewan. Kondisi ini seperti menjadi momok yang digambarkan oleh Robert Elgie (2001) dalam Divided Goverment in Comparative Perspective,
bahwa minimnya dukungan parlemen adalah hal menakutkan bagi pemerintah presidensial.
Perlahan tapi pasti, pemerintah mampu merontokkan dominasi kekuatan partai
oposisi di parlemen. Jokowi pun akhirnya mendapat dukungan lebih. Dukungan lebih
ternyata juga menyulitkannya. Pasalnya, ia harus membagi kursi menteri untuk
partai-partai yang baru bergabung.
Harapan
baru seperti tertuang dalam Time
dengan tulisan “a new hope” tak berbanding lurus dengan realita. Tak lama
memimpin, muncul “meme” dengan
tulisan “a new hopeless”, menggambarkan kekecewaan dan kegagalan Jokowi. Meme ini ditengarai adanya indikasi
pembiaran konflik KPK-Polri serta penangkapan beberapa komisioner KPK. Melihat pelemahan
KPK, publik kecewa.
Jokowi
menangkap pesan kekecewaan publik dengan baik. Segera ia berbenah dibanyak
sektor. Di sektor hukum misalnya, Pemerintah Jokowi mencoba berbenah dengan
menegakan hukum. Ia mengambil kebijakan dengan menghukum mati terpidana
penyalahgunaan narkoba meski harus menuai protes keras dari beberapa aktivis
HAM dan juga negara tetangga. Kebijakan tersebut harus diakui meningkatkan
popularitasnya. Kepuasan publik di sektor hukum pun meningkat.
Terkait
dengan kondisi ekonomi, pemerintah memang punya tantangan besar. Selain karena
faktor eksternal (ekonomi global) yang memengaruhi ekonomi dalam negeri,
pemerintah harus dihadapkan pada kenyataan sulitnya membuka lapangan kerja dan terus
meningkatnya jumlah penduduk miskin. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan
adanya jumlah penduduk miskin dari 27,7 juta pada tahun 2014, meningkat pada
2015 menjadi 28,5 juta.[1] Di
tengah ketidakpastian ekonomi, pemerintah melakukan banyak upaya dengan
menerbitkan paket kebijakan ekonomi hingga beberapa kali. Salah satu yang
menjadi tujuan adalah kemudahan investasi untuk membuka lapangan kerja.
Kondisi
politik pasca bergabungnya Partai Amanat Nasional (PAN) dan disusul Golkar
semakin memantapkan kekuatan partai pendukung pemerintah di parlemen. Pembahasan
RAPBNP TA 2016 relatif lancar. Posisi Jokowi juga semakin “nyaman” setelah Golkar
secara resmi mendukung pencapresannya di 2019 nanti. Meski keputusan Golkar
dinilai terlalu dini, tetapi hal ini menjadi amunisi Jokowi untuk memuluskan
programnya di parlemen.
Gonjang-ganjing
di Kabinet Kerja yang kerap muncul segera mendapat respon Jokowi. Beberapa menteri
yang dianggap kerap membuat “gaduh” ia copot. Posisi penting dalam kabinet ia percayakan
pada sosok profesional seperti, Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan, dan Ignatius
Jonan sebagai Menteri Energi Sumber Daya Mineral. Jabatan strategis yang
diduduki dari profesional tersebut sekaligus menjawab tudingan Jokowi sebagai “boneka
partai”.
Dua
tahun pemimpin Indonesia bukan hal mudah bagi Jokowi. Ia menyadari banyak hal
yang menjadi pekerjaan rumah, dan belum diselesaikan. Bagi Jokowi, pembangunan
infrastruktur masih menjadi prioritas ke depan. Pemerataan pembangunan mulai
dari pinggiran dan wilayah-wilayah perbatasan juga menjadi perhatian. Pemerintah
membantah bahwa rencana pemotongan anggaran akan mengganggu pembangunan yang
sedang berjalan. Dalam berbagai kesempatan ditegaskan bahwa pemotongan hanya
pada belanja operasional pegawai, bukan belanja modal. (Kompas 17/10/2016).
Menjelang
genap dua tahun kepemimpinan Jokowi, publik berkeyakinan bahwa jalannya
pemerintahan saat ini lebih baik. Dalam enam bulan terakhir, survei Saiful
Mujani Research and Consulting (SMRC) dan Centre for Strategic and
International Studies (CSIS) menunjukkan meningkatnya kepuasan publik terhadap
kinerja pemerintah. Namun demikian, hasil survei ini tidak bisa dijadikan
legitimasi keberhasilan Pemerintah Jokowi. Berbagai masalah lintas sektor tidak
bisa dinafikan.
Menuju
tiga tahun Pemerintah Jokowi, publik berharap agar pemerintah memenuhi kontrak
politik mereka dengan rakyat, seperti yang disampaikan pada saat kampanye. Janji
kampanye jelas terekam dalam memori publik, dan sewaktu-waktu dapat menagihnya.
[1] “Jumlah Penduduk Miskin Menurut Provinsi, 2013-2016”,
https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/1119,
diakses pada 18/10/2016.