Oleh: Ali Thaufan DS*
29 Agustus 2005 silam, Nurcholis Madjid (atau
yang akrab disapa Cak Nur) pergi untuk selamanya. Kepergiannya meninggalkan
kesedihan banyak kalangan, akdemisi, kalangan intelektual, hingga politisi
sekalipun. Cak Nur banyak memberikan inspirasi bagi banyak kalangan, terutama
kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Bagi HMI, Cak Nur adalah intelektual yang
meletakkan nilai dasar ideologi organisasi tersebut dengan menulis Nilai Dasar
Perjuangan (NDP). Tulisan ini hadir untuk memperingati Haul Cak Nur yang ke-11.
Perjalanan pemikiran Cak Nur tentang Islam,
Indonesia, dan dunia modern menorehkan banyak sekali catatan. Pikiran dan
gagasan Cak Nur menjadi bahan bincang dan cibiran beberapa pihak. Gagasanya
tentang liberalisasi dan sekularisasi yang dia sampaikan dalam makalahnya pada
tahun 1970 mengundang pro dan kontra. Bagi Cak Nur, liberalisasi ialah proses seseorang melepaskan dari
dari nilai-nilai tradisional lama dan mencari nilai-nilai yang berorientasi pada masa depan. Sedangkan sekularisasinya
Cak Nur tidak
ada kaitannya dengan
penerapan sekularisme. Sekularisasi yang dimaksud adalah menduniawikan hal-hal yang
bersifat duniawi dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan
mengukhrawiakannya. (Madjid: 2008).
Tak hanya itu, Cak Nur juga melontarkan
pernyataan yang sangat kontroverial: “Islam
yes, Partai Islam No”. Kalimat singkat yang menohok, dan penulis yakin Cak
Nur tidak sedang “iseng” melontarkannya. Ia punya pemikiran panjang atas apa
yang disampaikan. Baginya Kalimat itu muncul saat ia melihat jumlah umat Islam yang secara kuantitas terus
bertambah, akan tetapi tidak diiringi dengan ketertarikan mereka dalam
organisasi/partai Islam sebagai tempat dan wadah menyalurkan ide-ide Islam.
Sontak saja Cak Nur menjadi pusat cibiran
banyak kalangan. Budhy Munawar (Budhy: 2008) menyebut lebih dari seratus
artikel menanggapi pernyataan Cak Nur itu. Kritik bukan saja datang dari orang
yang berseberangan pandangan dengan Cak Nur, tetapi juga datang dari
sahabat-sahabat terdekatnya.
Para pembaca pemikiran Cak Nur sering larut
dalam topik-topik yang “seksi”, mengundang kontroversi. Perlu dicatat dan
ditekankan, pikiran Cak Nur tidak berhenti disitu saja. Ada banyak pemikirannya
tentang makna terdalam dari iman, tasawuf, dan keindonesiaan. Dalam hal keimanan,
Cak Nur memaparkan bahwa itu adalah fitra manusia. Ia menekannya pentingnya
ketahuhidan hanya kepada Allah yang esa, serta melepaskan diri dari menuhankan
diri sendiri dan makhluk lainnya.
Kehidupan religius Cak Nur juga jarang sekali
dibincangkan orang. Dilingkungan akademis, isu-isu liberalisasi, sekularisasi,
dan pluralisme lebih sering dikaji ketimpang mengkaji kehidupan si pemilik
gagasan. Dalam sebuah seminar beberapa tahun lalu, penulis mendengar langsung
kehidupan pribadi Cak Nur dari orang-orang terdekatnya, Wahyuni Nafis dan
Kautsar Azhari Noor. Bagi Nafis, Cak Nur merupakan sosok yang “tidak gila
jabatan”. Saat orang-orang terdekat Cak Nur mengadu, dan meminta “proyek”
kepadanya karena Abdurahman Wahid (Gus Dur) menjadi Presiden, bukannya Cak Nur
memberikan, tetapi justru kesal dengan orang yang memintanya tersebut. Cak Nur,
menurut Nafis tidak menyangka jika orang sekelilingnya hanya berpikir materi
“proyek”. Lain dengan Nafis, dimata Kautsar, Cak Nur adalah sosok mengedepankan
kesederhanaan. Namanya yang melejit dibelantara pemikiran keislaman dan
keindonesiaan justru membuatnya lebih tawadhu,
ramah kepada siapapun yang mengajaknya berdiskusi.
Sebagai tokoh reformasi, Cak Nur juga ada
dalam hati politisi. Sebut saja politisi Partai Golkar seperti Idrus Marham dan
Ade Komaruddin yang sering kali menukil pernyataan Cak Nur dalam suatu pidato
atau sambutan. Penulis dalam suatu kesempatan mendengar langsung saat Marham
membeberkan alasan Cak Nur yang tidak jadi “nyapres” di tahun 2004 lalu melalui
Konvensi Partai Golkar. Cak Nur mengendus adanya praktik politik yang jauh dari
ideal, “politik uang”. Itulah sebabnya Cak Nur merasa keberatan, dan ia tetap
memilih dengan idealisme politiknya yakni dengan tidak mencalonkan diri.
Cak Nur yang mengundurkan diri dari pencalonannya
pun mengundang kontroversi. Sebagian menganggap bahwa Cak Nur tidak konsisten
dalam membangun demokrasi di Indonesia. Sebagain lain justru memberi apresiasi
kepadanya karena Cak Nur tetap berpegang teguh pada politik ideal. Ini
merupakan konsekuensi seorang tokoh besar dalam setiap pengambilan keputusan,
selalu ada pro dan kontra.
Pada bagian akhir tulisan singkat ini, penulis
sampaikan doa agar Cak Nur tenang di sisi yang Tuhan sang maha pengampun. Ada
banyak pelajaran yang dapat kita ambil dari sosok intelektual karismatik
tersebut: kedalaman berpikir, komitmennya terhadap ilmu, dan kemauan kuat
membangun Indonesia. Nilai-nilai luhur juga bisa dicontoh dari Cak Nur:
kesederhanaan, dan sikap rendah hati.
*)
Penulis adalah Alumni Progam Magister UIN Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar