Rabu, 31 Agustus 2016

Mengenang Cak Nur (Memperingati Haul Cak Nur ke-11)



Oleh: Ali Thaufan DS*
 
29 Agustus 2005 silam, Nurcholis Madjid (atau yang akrab disapa Cak Nur) pergi untuk selamanya. Kepergiannya meninggalkan kesedihan banyak kalangan, akdemisi, kalangan intelektual, hingga politisi sekalipun. Cak Nur banyak memberikan inspirasi bagi banyak kalangan, terutama kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Bagi HMI, Cak Nur adalah intelektual yang meletakkan nilai dasar ideologi organisasi tersebut dengan menulis Nilai Dasar Perjuangan (NDP). Tulisan ini hadir untuk memperingati Haul Cak Nur yang ke-11.

Perjalanan pemikiran Cak Nur tentang Islam, Indonesia, dan dunia modern menorehkan banyak sekali catatan. Pikiran dan gagasan Cak Nur menjadi bahan bincang dan cibiran beberapa pihak. Gagasanya tentang liberalisasi dan sekularisasi yang dia sampaikan dalam makalahnya pada tahun 1970 mengundang pro dan kontra. Bagi Cak Nur, liberalisasi ialah proses seseorang melepaskan dari dari nilai-nilai tradisional lama dan mencari nilai-nilai yang berorientasi pada masa depan. Sedangkan sekularisasinya Cak Nur tidak ada kaitannya dengan penerapan sekularisme. Sekularisasi yang dimaksud adalah menduniawikan hal-hal yang bersifat duniawi dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan mengukhrawiakannya. (Madjid: 2008).

Tak hanya itu, Cak Nur juga melontarkan pernyataan yang sangat kontroverial: “Islam yes, Partai Islam No”. Kalimat singkat yang menohok, dan penulis yakin Cak Nur tidak sedang “iseng” melontarkannya. Ia punya pemikiran panjang atas apa yang disampaikan. Baginya Kalimat itu muncul saat ia melihat jumlah umat Islam yang secara kuantitas terus bertambah, akan tetapi tidak diiringi dengan ketertarikan mereka dalam organisasi/partai Islam sebagai tempat dan wadah menyalurkan ide-ide Islam.
 
Sontak saja Cak Nur menjadi pusat cibiran banyak kalangan. Budhy Munawar (Budhy: 2008) menyebut lebih dari seratus artikel menanggapi pernyataan Cak Nur itu. Kritik bukan saja datang dari orang yang berseberangan pandangan dengan Cak Nur, tetapi juga datang dari sahabat-sahabat terdekatnya.

Para pembaca pemikiran Cak Nur sering larut dalam topik-topik yang “seksi”, mengundang kontroversi. Perlu dicatat dan ditekankan, pikiran Cak Nur tidak berhenti disitu saja. Ada banyak pemikirannya tentang makna terdalam dari iman, tasawuf, dan keindonesiaan. Dalam hal keimanan, Cak Nur memaparkan bahwa itu adalah fitra manusia. Ia menekannya pentingnya ketahuhidan hanya kepada Allah yang esa, serta melepaskan diri dari menuhankan diri sendiri dan makhluk lainnya.

Kehidupan religius Cak Nur juga jarang sekali dibincangkan orang. Dilingkungan akademis, isu-isu liberalisasi, sekularisasi, dan pluralisme lebih sering dikaji ketimpang mengkaji kehidupan si pemilik gagasan. Dalam sebuah seminar beberapa tahun lalu, penulis mendengar langsung kehidupan pribadi Cak Nur dari orang-orang terdekatnya, Wahyuni Nafis dan Kautsar Azhari Noor. Bagi Nafis, Cak Nur merupakan sosok yang “tidak gila jabatan”. Saat orang-orang terdekat Cak Nur mengadu, dan meminta “proyek” kepadanya karena Abdurahman Wahid (Gus Dur) menjadi Presiden, bukannya Cak Nur memberikan, tetapi justru kesal dengan orang yang memintanya tersebut. Cak Nur, menurut Nafis tidak menyangka jika orang sekelilingnya hanya berpikir materi “proyek”. Lain dengan Nafis, dimata Kautsar, Cak Nur adalah sosok mengedepankan kesederhanaan. Namanya yang melejit dibelantara pemikiran keislaman dan keindonesiaan justru membuatnya lebih tawadhu, ramah kepada siapapun yang mengajaknya berdiskusi. 

Sebagai tokoh reformasi, Cak Nur juga ada dalam hati politisi. Sebut saja politisi Partai Golkar seperti Idrus Marham dan Ade Komaruddin yang sering kali menukil pernyataan Cak Nur dalam suatu pidato atau sambutan. Penulis dalam suatu kesempatan mendengar langsung saat Marham membeberkan alasan Cak Nur yang tidak jadi “nyapres” di tahun 2004 lalu melalui Konvensi Partai Golkar. Cak Nur mengendus adanya praktik politik yang jauh dari ideal, “politik uang”. Itulah sebabnya Cak Nur merasa keberatan, dan ia tetap memilih dengan idealisme politiknya yakni dengan tidak mencalonkan diri.

Cak Nur yang mengundurkan diri dari pencalonannya pun mengundang kontroversi. Sebagian menganggap bahwa Cak Nur tidak konsisten dalam membangun demokrasi di Indonesia. Sebagain lain justru memberi apresiasi kepadanya karena Cak Nur tetap berpegang teguh pada politik ideal. Ini merupakan konsekuensi seorang tokoh besar dalam setiap pengambilan keputusan, selalu ada pro dan kontra.

Pada bagian akhir tulisan singkat ini, penulis sampaikan doa agar Cak Nur tenang di sisi yang Tuhan sang maha pengampun. Ada banyak pelajaran yang dapat kita ambil dari sosok intelektual karismatik tersebut: kedalaman berpikir, komitmennya terhadap ilmu, dan kemauan kuat membangun Indonesia. Nilai-nilai luhur juga bisa dicontoh dari Cak Nur: kesederhanaan, dan sikap rendah hati.

*) Penulis adalah Alumni Progam Magister UIN Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar