Komitmen
Kelautan Nasional[1]
Oleh: Ali Thaufan DS
Komitmen
kuat Presiden Joko Widodo untuk membangun kelautan Indonesia disampaikan saat
pelantikanya 2014 lalu. Ia mengatakan “Jalasveva Jayamahe”, yang artinya di
laut kita jaya. Salah satu konsep untuk memperkuat kelautan Indonesia adalah
membangun “Tol Laut” untuk mengefektifkan transportasi barang antarpulau.
Selain itu, pemerintah juga menambah anggaran Alutsista TNI, termasuk TNI-AL
untuk memperkuat wilayah kelautan Indonesia.
Kementerian
Kelautan dan Perikanan Indonesia yang dijabat Susi Pudjiastuti membuat
“gebrakan” dalam beberapa kesempatan. Salah satu kebijakan populisnya adalah
penenggelaman kapal-kapal negara tetangga yang mencuri ikan di wilayah laut
Indonesia. Kebijakan Susi mendapat apresiasi dari banyak kalangan.
Keberaniannya menindak tegas pelaku pencurian ikat merupakan menerjemahan dari
kedaulatan Indonesia di laut.
Wacana
penguatan kelautan belum sepenuhnya berjalan baik. Meski kebijakan tegas
diterapkan bagi pencuri ikan, kasus tersebut tetap saja terjadi. Pencurian ikan
di laut Indonesia menyumbang kerugian besar bagi negara. Data lembaga riset Fisheries Resourses Laboratory
menunjukkan bahwa kerugian dari pencurian ikan di laut Arafura mencapai sekitar
Rp. 520 triliun selama satu dekade hingga tahun 2014. Perkiraan kerugian juga
disampaikan organisasi pangan PBB, yang pada tahun 2001 memperkirakan bahwa
pencurian ikan di Indonesia telah menyebabkan kerugian negara sebesar Rp. 30
triliun.
Tempo
merilis wilayah laut Indonesia yang rawan menjadi sasaran empuk pencuri ikan
dan besaran tangkapan pencurian ikan sebagai berikut: Selat Malaka diperkirakan 509,1 ton; Laut Natuna
567,8 ton; Laut Sulawesi 255,4 ton; Laut Maluku 498,3 ton; Laut Banda 456,3
ton; Laut Arafura 445,5 ton; Teluk Cenderawasi 138,1 ton; Laut Nusa Tenggara
bagian Selatan 500,6 ton; Teluk Bone 621,2 ton; Laut Jawa 866,4 ton; Selat
Sunda 576,6 ton.(Koran Tempo 22/6/2016).
Kemarahan
Pemerintah Indonesia atas kasus pencurian ikan akhirnya memuncak ketika TNI-AL
menangkap beberapa kapal milik pelaut Cina yang berada di perairan Natuna. Cina
yang mengklaim memiliki zona penangkapan ikan tradisional di Natuna. Tetapi,
Indonesia tegas menyatakan bahwa wilayah perairan tersebut adalah milik
Indonesia, dan Cina telah mengakui wilayah zona ekonomi eksklusif Indonesia
sejak 1996.
Selain
kasus pencurian ikan di wilayah perairan, Indonesia juga kerap dibayangi dengan
kapal-kapal Indonesia yang dibajak oleh oknum yang mengaku anggota terorisme kelompok
Abu Sayyaf di Filipina. Peristiwa pencurian ikan dan pembajakan menunjukkan
lemahnya keamanan wilayah kelautan Indonesia.
Besar
dan luasnya wilayah laut Indonesia menyimpan banyak kekayaan alam. Di laut,
selain ada ikan, juga ada mutiara, minyak dan sebagainya. Hal inilah yang
mengundang oknum untuk melakukan kejahatan di laut.
Sejarah
Indonesia mencatat bahwa masa kejayaan di laut pernah diraih para pendahulu
negeri ini. Kejayaan kelautan Indonesia bahwa diakui para peneliti londo yang konsen menulis sejarah
Indonesia. Nama-nama seperti Denys Lombard, Bernard Vlekke, juga pendahulunya
Thomas Raffles mencatat kejayaan nenek moyang Indonesia di laut.
Denys
Lombard misalnya, mengulas bagaimana kejayaan di laut dan bagaimana Islam masuk
melalui pesisir utara laut Jawa. Denys menyajikan dimensi kemajuan “Islam di
Indonesia”. Islam dan pelaut Indonesia tempo dulu seperti sulit dipisahkan. Di
Indonesia, Denys menyebut pernah ada kejayaan laut, menggambarkan kekuatan
pelaut kita seperti: orang Mawken dari Kepulauan
Mergui, dan juga orang Danjia dari Guangdong. Melalui mereka, Islam menyebar
dari Barat ke Timur.
Denys juga memberi catatan dan bantahan,
bahwa pelaut ulung hanya berasal dari luar Jawa. Hal itu tidaklah tepat. Masyarakat
Jawa yang diasosiasikan sebagai masyarakat yang “takut laut” karena mitos laut
Kidul tidaklah benar sepenuhnya. Tidak berbeda dengan pelaut luar Jawa
(seperti: Sulawesi, Sumatera, Maluku dan Ambon dll), pelaut Jawa juga
menorehkan sejarah kebesaran maritim. Bahkan, kapal-kapal dari pesisir utara
laut Jawa dibuat dengan ukuran yang besar (untuk ukuran saat itu) dan mampu
mengarungi luas samudera.
Sekali lagi Denys tak sungkan menyebut:
Islam menyebar melalui pelaut. Bahkan ia menyebut orang laut sebagai “penggerak
Islam Jawa”. Meski, tentu bukan pelaut saja yang menjadi faktor utama
penyebaran Islam di Indonesia.
Thomas
Raffles dalam The History of Java juga mengungkapkan
kejayaan pelaut-pelaut Indonesia. Berbeda dengan Denys, Thomas “mendikotomi”
orang Jawa sebagai kaum agraris, dan orang bugis sebagai pelaut. Dan, Thomas
tidak bisa memungkiri bahwa bangsa Indonesia pernah memiliki kekuatan besar di
laut.
Kekuatan
laut Indonesia dulu, seperti disinggung penulis di atas juga memberi sumbangan
bagi berjalannya roda perekonomian. Berton-ton barang seperti rempah-rempah
hilir mudik dari satu pulau ke pulau lain. Kekuatan laut juga dimulai sejak di
sungai-sungai. Masyarakat menggunakannya sebagai transportasi perdagangan.
Menjaga
laut Indonesia tidak cukup hanya dengan membaca sejarah kebesaran kekuatan
kelautan tempo dulu. Generasi sekarang butuh kesadaran, pertama, bahwa bangsa
ini adalah bangsa yang juga bertumpu pada kekayaan laut, bukan tanah semata.
Tanah dan air tidak bisa dipisahkan. Itulah mengapa kata “Tanah Air” menjadi
bait pertama dalam lagu kebangsaan, Indonesia Raya. Tidak hanya itu, kata
“Tanah Air” juga menjadi lagu-lagu lain, yang diajarkan di Sekolah Dasar (SD).
Kesadaran sejak dini akan kekayaan laut akan menumbuhkan semangat menjaga laut
kita.
Kedua, komitmen
pemerintah telah diucapkan dalam sumpah untuk membangun kekuatan laut yang
hebat. Ini jangan sekedar janji. Implementasi dari janji harus diwujudkan
melalui progam prioritas dan dukungan anggaran yang dikucurkan. Semangat
membangun laut kita, jangan tertulis di atas kertas saja. Ada banyak pesisir
diberbagai pulau yang menyimpan potensi ekonomi kreatif, pariwisata, dan ini
semua butuh kemauan serta kerja nyata dari pemerintah untuk membangun kelautan
kita.
terima aksih bapak
BalasHapus