Oleh: Ali Thaufan DS
Pemerintah
Joko Widodo dan Jusuf Kalla akan mengeksekusi hukum mati tahap ketiga terhadap
beberapa narapidana. Hal ini juga ditegaskan Kejaksaan Agung RI meski belum
ditentukan waktunya. Eksekusi tersebut diutamakan bagi para terpidana narkoba.
Rencana
kebijakan hukum mati oleh pemerintah memunculkan dua “kutub” perbedaan
pandangan, pro dan kontra terhadap hukuman mati. Eksekusi hukum mati tahap
pertama dan kedua sebelumnya juga memunculkan polemik. Bahkan, menjelang
eksekusi tahap ketiga ini, pemerintah diminta menunggu revisi KUHAP yang sedang
dibahas di DPR. Pasalnya dalam revisi tersebut, ketentuan hukum mati akan
diatur kembali.
Sejarah
mencatat, bahwa hukum mati yang dilakukan pemerintah saat ini bukan hal baru.
Sejak masa kerajaan dahulu, hukum mati sudah diterapkan. Wilson dkk (2016)
mencatat bahwa jauh sebelum masa kemerdekaan Indonesia, beberapa kerajaan telah
menerapkan hukum mati bagi warganya. Ia mencontohkan hukuman mati yang
diterapkan kerajaan Mataram dan Kesultanan Aceh. Demikian juga pada masa
kolonialisme, hukuman mati juga diberlakukan.
Motif
hukuman mati saat itu cukup beragam. Kerajaan Mataram dan Kesultanan Aceh biasanya
menghukum mati warga karena motif politik, seperti: demi menjadi kekuasaan, dan
stabilitas politik kerajaan. Tidak segan-segan, Raja dengan mudah menghukum
mati warganya yang melakukan pertentangan atas kuasa kerajaan. Motif lain yang
menyebabkan penguasa menghukum mati juga karena motif sosial, yakni demi
menjaga ketertiban umum, hukum mati diberlakukan. Selain itu juga ada motif
ketidakberesan para pegawai kerajaan, sehingga raja memberi hukuman mati. Kasus
ini terjadi di Aceh ketika Sultan Iskandar Muda Aceh menghukum pegawainya yang
“tidak beres” dalam pekerjaannya. Yang lebih ironis adalah motif hukum mati
tanpa dasar apapun. Motif ini tergantung pada “selera” raja dalam memberi
hukuman mati.
Pasca
kemerdekaan dan terbentuk Republik Indonesia, hukum mati tetap dilakukan
sebagai upaya negara menjaga kedaulatan. Presiden Sukarno tercatat pernah
mengeluarkan kebijakan hukuman mati bagi beberapa orang yang dinilai melakukan
kejahatan dan makar. Nama-nama seperti Kartosoewirjo (yang merupakan sahabat
Sokarno sendiri) juga Amir Syarifuddin, mati ditangan para algojo penembak
hukuman mati. Meski Sukarno pernah mengeluarkan kebijakan hukuman mati, tetapi
ia cukup dikenal sebagai presiden RI yang banyak memberi grasi dan abolisi
hukuman mati.
Pada
masa kepemimpinan presiden selanjutnya, hukum mati tetap dilakukan dengan berbagai
agrumen dan pertimbangan. Koran
Tempo pada 28 Januari 2015
memberitakan bahwa pada era presiden Suharto terdapat sebanyak 38 orang
terpidana mati; presiden Abdurahman Wahid 3 orang; presiden Megawati 3 orang; presiden SBY 8 orang; dan presiden
Jokowi 6 orang (masih akan berlanjut).
Pada masa presiden Habibie
tidak tercatat pelaksanaan hukuman mati. Dari 58 orang jumlah di atas,
terhitung sejak tahun 1979-2015, 35,2 % adalah jenis pidana pembunuhan; 35,2 %
tahanan politik; 21,1 % narkoba; dan 8,5 % terorisme. Namun Koran Tempo memberi catatan bahwa eksekusi
mati pada masa presiden Suharto bisa jadi melebihi angka di atas, mengingat
pada masa tersebut pemerintah terkesan tertutup dalam hal eksekusi hukuman mati.
Wilson
mengemukakan, dari 193 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), 160
negara telah menghapus hukuman mati. Banyak negara mulai meninggalkan hukum
mati dikarenakan, rezim negara otoriter mulai runtuh dan adanya gerakan Hak
Asasi Manusia (HAM) yang begitu masif. Keberadaan organisasi HAM dibeberapa
negara terbukti mendorong penolakan hukum mati, termasuk di Indonesia. Beberapa
aktivis HAM kerap menentang rencana eksekusi mati terpidana narkoba yang
dilakukan pemerintah.
Meski
demikian hal tersebut tidak membuat pemerintah Indonesia saat ini untuk
menghapus hukum mati, terlebih bagi gembong
narkoba. Presiden Jokowi menegaskan bahwa penyalahgunaan narkoba adalah
kejahatan luar biasa, sehingga wajar pelakunya diganjar dengan hukuman mati.
Argumen
menolak hukum mati didasarkan pada dua hal utama. Pertama: hukum mati tak
sesuai dengan semangat HAM karena telah “merebut” hak hidup manusia. Di
Indonesia, aktivis penolak hukum mati mendasarkan pada pasal 28A dari Undang-Undang
Dasar 1945 yang menyatakan “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak
mempertahankan hidupnya”. Kedua: suara-suara penolakan hukuman mati juga muncul
karena lemahnya pengadilan. Terpidana mati terkadang tidak diberi kesempatan
untuk membela diri, sehingga proses di pengadilan dianggap tak adil.
Hukum
mati diberbagai negara termasuk di Indonesia dianggap sebagai sesuatu yang
menakutkan dan mampu memberi efek jera bagi pelaku kejahatan lainnya. Selain
itu, hukuman mati juga disebut sebagai upaya negara dalam melindungi warganya
dari kejahatan yang lebih besar. Tetapi, hal tersebut tidak dapat dibenarkan
seutuhnya. Iqrak Sulhin dalam Politik
Hukuman Mati di Indonesia merujuk sebuah penelitian di Amerika Serikat pada
1996 yang menunjukkan bahwa hukuman mati tidak berarti apa-apa bagi pelaku
kejahatan lain.
Hukuman
mati yang dijatuhkan oleh negara kepada para narapidana tidak punya pengaruh
bagi menurunnya angka kejahatan. Bahkan, dari hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa eksekusi mati yang dilakukan oleh pemerintah di Amerika hanya
dianggap sebagai pencitraan penguasa.
Bagaimana
publik memandang hukuman mati di era presiden Jokowi? Jawabnya: cukup beragam. Arus
deras dukungan pelaksanaan hukum mati disampaikan publik, dari warga biasa
hingga ulama dan pejabat negara. Mereka mendukung kebijakan pemerintah untuk
“membedil” para bandar narkoba. Pada saat yang sama, para penolak hukuman mati
juga mengeluarkan argumentasinya mereka demi gagalnya eksekusi hukuman mati.
Mencermati kebijakan pemerintah tentang
hukuman mati terhadap pelaku kejahatan seperti bandar narkoba, penulis melihat
beberapa wacana seperti: pertama, publik memberi apresiasi bagi pemerintah atas
ketegasan penegakan hukum. Hal tersebut berimplikasi pada naiknya citra
pemerintah dihadapan publik. Kedua, adanya kesungguhan dan effort pemerintah untuk menegakkan hukum, terutama bagi kejahatan
narkoba. Ketiga, adanya dukungan sekaligus penolakan atas kebijakan pemerintah
soal hukuman mati.
*) Harian Suara
Karya, Selasa, 3 Mei 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar