Minggu, 08 Mei 2016

Menyoal Hukum Mati di Indonesia

Oleh: Ali Thaufan DS

Pemerintah Joko Widodo dan Jusuf Kalla akan mengeksekusi hukum mati tahap ketiga terhadap beberapa narapidana. Hal ini juga ditegaskan Kejaksaan Agung RI meski belum ditentukan waktunya. Eksekusi tersebut diutamakan bagi para terpidana narkoba. 

Rencana kebijakan hukum mati oleh pemerintah memunculkan dua “kutub” perbedaan pandangan, pro dan kontra terhadap hukuman mati. Eksekusi hukum mati tahap pertama dan kedua sebelumnya juga memunculkan polemik. Bahkan, menjelang eksekusi tahap ketiga ini, pemerintah diminta menunggu revisi KUHAP yang sedang dibahas di DPR. Pasalnya dalam revisi tersebut, ketentuan hukum mati akan diatur kembali.

Sejarah mencatat, bahwa hukum mati yang dilakukan pemerintah saat ini bukan hal baru. Sejak masa kerajaan dahulu, hukum mati sudah diterapkan. Wilson dkk (2016) mencatat bahwa jauh sebelum masa kemerdekaan Indonesia, beberapa kerajaan telah menerapkan hukum mati bagi warganya. Ia mencontohkan hukuman mati yang diterapkan kerajaan Mataram dan Kesultanan Aceh. Demikian juga pada masa kolonialisme, hukuman mati juga diberlakukan.

Motif hukuman mati saat itu cukup beragam. Kerajaan Mataram dan Kesultanan Aceh biasanya menghukum mati warga karena motif politik, seperti: demi menjadi kekuasaan, dan stabilitas politik kerajaan. Tidak segan-segan, Raja dengan mudah menghukum mati warganya yang melakukan pertentangan atas kuasa kerajaan. Motif lain yang menyebabkan penguasa menghukum mati juga karena motif sosial, yakni demi menjaga ketertiban umum, hukum mati diberlakukan. Selain itu juga ada motif ketidakberesan para pegawai kerajaan, sehingga raja memberi hukuman mati. Kasus ini terjadi di Aceh ketika Sultan Iskandar Muda Aceh menghukum pegawainya yang “tidak beres” dalam pekerjaannya. Yang lebih ironis adalah motif hukum mati tanpa dasar apapun. Motif ini tergantung pada “selera” raja dalam memberi hukuman mati.

Pasca kemerdekaan dan terbentuk Republik Indonesia, hukum mati tetap dilakukan sebagai upaya negara menjaga kedaulatan. Presiden Sukarno tercatat pernah mengeluarkan kebijakan hukuman mati bagi beberapa orang yang dinilai melakukan kejahatan dan makar. Nama-nama seperti Kartosoewirjo (yang merupakan sahabat Sokarno sendiri) juga Amir Syarifuddin, mati ditangan para algojo penembak hukuman mati. Meski Sukarno pernah mengeluarkan kebijakan hukuman mati, tetapi ia cukup dikenal sebagai presiden RI yang banyak memberi grasi dan abolisi hukuman mati.

Pada masa kepemimpinan presiden selanjutnya, hukum mati tetap dilakukan dengan berbagai agrumen dan pertimbangan. Koran Tempo pada 28 Januari 2015 memberitakan bahwa pada era presiden Suharto terdapat sebanyak 38 orang terpidana mati; presiden Abdurahman Wahid 3 orang; presiden Megawati  3 orang; presiden SBY 8 orang; dan presiden Jokowi 6 orang (masih akan berlanjut). 

Pada masa presiden Habibie tidak tercatat pelaksanaan hukuman mati. Dari 58 orang jumlah di atas, terhitung sejak tahun 1979-2015, 35,2 % adalah jenis pidana pembunuhan; 35,2 % tahanan politik; 21,1 % narkoba; dan 8,5 % terorisme. Namun Koran Tempo memberi catatan bahwa eksekusi mati pada masa presiden Suharto bisa jadi melebihi angka di atas, mengingat pada masa tersebut pemerintah terkesan tertutup dalam hal eksekusi hukuman mati.

Wilson mengemukakan, dari 193 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), 160 negara telah menghapus hukuman mati. Banyak negara mulai meninggalkan hukum mati dikarenakan, rezim negara otoriter mulai runtuh dan adanya gerakan Hak Asasi Manusia (HAM) yang begitu masif. Keberadaan organisasi HAM dibeberapa negara terbukti mendorong penolakan hukum mati, termasuk di Indonesia. Beberapa aktivis HAM kerap menentang rencana eksekusi mati terpidana narkoba yang dilakukan pemerintah.
Meski demikian hal tersebut tidak membuat pemerintah Indonesia saat ini untuk menghapus hukum mati, terlebih bagi gembong narkoba. Presiden Jokowi menegaskan bahwa penyalahgunaan narkoba adalah kejahatan luar biasa, sehingga wajar pelakunya diganjar dengan hukuman mati. 

Argumen menolak hukum mati didasarkan pada dua hal utama. Pertama: hukum mati tak sesuai dengan semangat HAM karena telah “merebut” hak hidup manusia. Di Indonesia, aktivis penolak hukum mati mendasarkan pada pasal 28A dari Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidupnya”. Kedua: suara-suara penolakan hukuman mati juga muncul karena lemahnya pengadilan. Terpidana mati terkadang tidak diberi kesempatan untuk membela diri, sehingga proses di pengadilan dianggap tak adil.

Hukum mati diberbagai negara termasuk di Indonesia dianggap sebagai sesuatu yang menakutkan dan mampu memberi efek jera bagi pelaku kejahatan lainnya. Selain itu, hukuman mati juga disebut sebagai upaya negara dalam melindungi warganya dari kejahatan yang lebih besar. Tetapi, hal tersebut tidak dapat dibenarkan seutuhnya. Iqrak Sulhin dalam Politik Hukuman Mati di Indonesia merujuk sebuah penelitian di Amerika Serikat pada 1996 yang menunjukkan bahwa hukuman mati tidak berarti apa-apa bagi pelaku kejahatan lain. 

Hukuman mati yang dijatuhkan oleh negara kepada para narapidana tidak punya pengaruh bagi menurunnya angka kejahatan. Bahkan, dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa eksekusi mati yang dilakukan oleh pemerintah di Amerika hanya dianggap sebagai pencitraan penguasa. 

Bagaimana publik memandang hukuman mati di era presiden Jokowi? Jawabnya: cukup beragam. Arus deras dukungan pelaksanaan hukum mati disampaikan publik, dari warga biasa hingga ulama dan pejabat negara. Mereka mendukung kebijakan pemerintah untuk “membedil” para bandar narkoba. Pada saat yang sama, para penolak hukuman mati juga mengeluarkan argumentasinya mereka demi gagalnya eksekusi hukuman mati.

Mencermati kebijakan pemerintah tentang hukuman mati terhadap pelaku kejahatan seperti bandar narkoba, penulis melihat beberapa wacana seperti: pertama, publik memberi apresiasi bagi pemerintah atas ketegasan penegakan hukum. Hal tersebut berimplikasi pada naiknya citra pemerintah dihadapan publik. Kedua, adanya kesungguhan dan effort pemerintah untuk menegakkan hukum, terutama bagi kejahatan narkoba. Ketiga, adanya dukungan sekaligus penolakan atas kebijakan pemerintah soal hukuman mati. 

Kita berharap, bahwa pelaksanaan hukuman mati tetap mengacu pada ketentuan Undang-undang yang berlaku. Hukum mati jangan menjadi alat citra pemerintah. Publik tentu berharap kebijakan pemerintah mengeksekusi mati bandar narkoba menjadi pijakan untuk penegakan hukum pada kasus-kasus lainnya. 


*) Harian Suara Karya, Selasa, 3 Mei 2016.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar