Resensator: Ali Thaufan DS
Judul Buku: Politik Hukuman Mati di Indonesia
Nama Penulis: Todung Mulya Lubis, dkk
Penerbit dan Tahun Cetakan: Tangerang Selatan:
Marjin Kiri, cet I, Maret 2016
Tebal Buku: 292 halaman
Kebijakan pemerintah yang menghukum mati
terpidana penyalahgunaan narkoba memunculkan perdebatan para pemerhati hukum. Pro
dan kontra soal “harus” atau “tidak” menghukum mati para gembong narkoba tak
terhindarkan. Dari pengalaman kebijakan pemerintah Presiden Joko Widodo, yang
mengeksekusi gembong narkoba, masyarakat luas sangat mendukung kebijakan
tersebut.
Tulisan ini hadir dari pembacaan atau resensi buku
berjudul “Politik Hukuman Mati di Indonesia”. Buku tersebut merupakan kumpulan
artikel yang ditulis oleh Todung Mulya Lubis dkk, dan terdiri dari sembilan
artikel. Penulis memetakan bahwa buku tersebut terdiri dari dua garis besar yang
paling utama, yakni: sejarah hukuman mati di Indonesia (termasuk juga pra
kemerdekaan) dan diskursus kebijakan hukuman mati yang dilakukan pemerintah
Joko Widodo.
Pada bagian awal buku, dipaparkan perihal
sejarah hukuman mati di Indonesia yang ada sejak masa kerajaan dan penjajahan kolonialisme.
Sejak masa kerajaan penerapan hukum mati telah dilakukan oleh para raja-raja di
Nusantara. Dalam buku tersebut, dikisahkan dua kerajaan yang memberlakukan
hukuman mati bagi warganya, Kerajaan Mataram dan Kesultanan Aceh.
Beberapa alasan mendasari para raja-raja saat
itu untuk melakukan hukuman mati kepada warganya, seperti alasan politik; tidak “beresnya” pegawai kerajaan sehingga membuat
raja marah dan menghukum mati; adanya prajurit yang kabur meninggalkan medan
perang; serta motif sosial, yakni demi menjaga ketertiban, maka orang yang
membuat onar di masyarakat akan dijatuhi hukuman mati. Selain itu, penulis buku
juga menjelaskan bahwa keputusan yang diambil oleh raja dalam menghukum mati
warganya adalah tanpa dasar apapun, atau atas kehendak despotik dan “selera”
raja.
Kedatangan para penjajah di Indonesia juga
tetap memberlakukan hukuman mati bagi para rakyat Indonesia, juga penjajah itu
sendiri yang tidak mematuhi perintah rajanya. Kebijakan hukum mati, dari masa
kerajaan dan penjajah kemudian diwariskan pada Republik Indonesia pasca
kemerdekaan 1945. Indonesia tetap memberlakukan hukuman mati, meski para
penjajah, Belanda, telah menghapus hukum mati di negaranya.
Penulis buku menyajikan dasar-dasar timbulnya
pro dan kontra terhadap penerapan hukuman mati. Pertama, alasan kontra terhadap
hukum mati adalah dikarenakan hukuman mati melanggar Hak Asasi Manusia (HAM)
dan bertentangan dengan UUD 1945 pasal 28A “Setiap orang berhak untuk hidup
serta berhak mempertahankan hidupnya”. Selain itu, orang-orang yang menolak
hukuman mati juga beralasan, bahwa proses pengadilan di meja hijau terkadang
tidak dilakukan dengan “keadilan sejati”, sehingga orang dijatuhi hukuman mati
tanpa ada pembelaan. Sedangkan kedua, alasan bagi mereka yang pro terhadap
hukum mati adalah, bahwa penerapan hukuman mati akan memberi efek jera bagi
pelaku kejahatan lainnya.
Namun penulis buku menyajikan bahwa kebijakan
hukuman mati tidak serta merta menurunkan angka kejahatan. Dengan mengutip
hasil riset di Amerika, penulis buku memaparkan bahwa hukuman mati tidak
berarti apa-apa bagi pelaku kejahatan lain. Bahkan, diberlakukannya hukuman
mati hanya dianggap menjadi alat pencitraan penguasa. Penulis buku juga
menunjukan case di Jepang yang
menurunkan angka hukuman mati, dan justru angka kejahatan turut menurun.
Jika dicermati,
para penulis artikel dalam buku “Politik Hukuman Mati di Indonesia” berkeberatan
dengan kebijakan hukuman mati yang diterapkan rezim pemerintah Joko Widodo. Dengan
berbagai dalih, mereka menolak argumen yang mendukung hukuman mati. Tegas dinyatakan,
bahwa hukuman mati bukan menjadi “Penggetarjeraan” bagi pelaku kejahatan
lainnya. Selain menyalahi HAM, pemerintah perlu merumuskan konsep hukuman lain sebagai
pengganti hukum mati.