Rabu, 27 April 2016

Meneguhkan Semangat Kartini Esok dan Nanti (Refleksi Hari Kartini)

Ali Thaufan DS

Tanggal 21 April menjadi hari “istimewa” bagi kaum perempuan. Hari itu, diperingati sebagai hari tokoh perempuan abadi Indonesia, Hari Kartini. Perayaan hari Kartini diperingati hampir disetiap instansi. Di perkantoran, karyawan perempuan mengenakan Kebaya sebagai peringatan hari Kartini. Demikian juga diberbagai sekolah, para siswi juga menyambut hari Kartini dengan perlombaan berbusana ala Kartini.

Kartini tidak hanya diingat dengan karyanya “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Lebih dari itu, Kartini menjadi simbol bagi kaum perempuan Indonesia, perempuan yang mendobrak kejumudan berpikir tentang konsep egaliter manusia, laki-laki dan perempuan. Nama Kartini diabadikan menjadi pahlawan nasional, selain juga nama-nama perempuan Indonesia lainnya seperti Malahayati dan Cut Nyak Dien. Kartini menjadi inspirasi bagi perempuan Indonesia untuk terus berkarya diberbagai bidang: politik, ekonomi dan sosial.

Geliat perempuan dalam politik tercatat dalam sejarah panjang bangsa ini. Tahun 1928 pernah diadakan Kongres Perempuan. Jauh sebelumnya bahkan, keberadaan organisasi pemuda seperti: Jong Java (1925), Federasi Pemuda Rakyat Sumatera (1917), dan Jong Ambon, banyak melibatkan perempuan aktif didalamnya. Pasca Indonesia merdeka, Parlemen mencatat keterwakilan hasil pemilihan umum, yaitu: Pemilu 1955 sebanyak 5,06%; 1971 sebanyak 7,17%; 1977 sebanyak 8,04%; 1982 sebanyak 9,13%; 1987 sebanyak 11,6%; 1992 sebanyak 12,6%; 1999 sebanyak 11,40%; 2004 sebanyak 11,50%; 2009 sebanyak 18,04%; dan 2014 sebanyak 17,32%. Jika merujuk pada Undang-Undang yang mendorong keterwakilan perempuan sebanyak 30 persen, jumlah tersebut masih jauh dari amanat UU. (Tempo, 18-24 April 2016).

Selain perempuan politik, Indonesia juga mencatat aktivis perempuan lainnya seperti Sri Mulyani yang menjadi direktur pelaksana bank dunia, Susi Susanti atlet bulutangkis Indonesia yang pernah mempersembahkan medali emas di Olimpiade Barcelona 1992. Kini, Indonesia masih punya segudang aktivis perempuan. Majalah Tempo edisi Kartini (18-24 April 2016) mencatat sebanyak empat puluh lima perempuan pilihan yang menjadi “motor” diberbagai bidang.

Diantara empat puluh perempuan tersebut adalah Yosmina Tapilatu yang menaruh perhatian penuh dibidang pendidikan. Salah satu hasil riset yang dilakukan adalah menemukan bakteri-bakteri yang menghasilkan eksopolisakarida, yaitu senyawa penting untuk farmasi dan dunia medis. Selain itu adapula Sheila Agatha Wijaya, perempuan yang menghabiskan waktunya sebagai perancang busana. Bahkan, busana hasil kreatifitasnya telah mendunia. Dan, untuk membantunya dalam merancang busana, Shelia banyak memperkerjakan para penyandang disabilitas. Hal ini sangat sesuai dengan amanat UU, bahwa penyandang disabilitas perlu mendapat perhatian dengan mempekerjakannya (lihat misalnya pada pasal 14 UU Penyandang Cacat tahun 1997).

Selain kedua nama di atas, tercatat pula nama Rosa Dahlia. Ia mencurahkan waktunya sebagai guru yang mengajar di pulau terbarat Indonesia, Papua. Hati Rosa sudah mantab untuk membantu anak-anak Papua mengenal pendidikan. Harapannya, “anak-anak lebih mengenal dunia”.


Para perempuan, seperti yang disinggung di atas adalah sedikit dari banyak aktivis perempuan berbagai bidang. Semangat memajukan Indonesia ada dalam hatinya. Mereka meneguhkan semangat Kartini di dunia modern. Meneruskan cita-cita pendiri bangsa, menuju kemakmuran bersama. Semangat itulah yang harus dicatat oleh sejarah Indonesia, agar menjadi teladan perempuan selanjutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar