Oleh: Ali Thaufan
DS
Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencatat selama tahapan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)
serentak 2015 terdapat 1.090 laporan dugaan tindak pidana Pemilu. Angka
tersebut menjadi perhatian ke depan dalam penyelenggaraan Pilkada tahun 2017. Pilkada
serentak Desember 2015 lalu meninggalkan beberapa pelanggaran dan catatan untuk
dievaluasi. Diantara sekian banyak pelanggaran dan hal yang menjadi catatan
antara lain: adanya calon kepala daerah dengan status terpidana; pembakaran dan
pengerusakan kantor KPU; kisruh daftar pemilih; ketidaknetralan PNS dan
penyelenggara Pilkada di tingkat Kecamatan dan Desa; adanya praktek politik
uang, serta adanya calon tunggal dibeberapa daerah.
Semua
persoalan tersebut menjadi “Pekerjaan Rumah” bagi Pemerintah dan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), serta Komisi Pemilihan Umum (KPU) agar persoalan itu
tidak terulang pada Pilkada serentak mendatang. Salah satu hal yang dilakukan
adalah dengan merevisi undang-undang yang mengatur Pilkada (UU No. 8 Tahun 2015
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota) serta Peraturan KPU dan
Bawaslu. Revisi peraturan perundang-undangan tersebut mendesak dilakukan karena
tahapan Pilkada 2017, menurut KPU akan dimulai pada 30 April 2016.
Awal
April, DPR telah menerima draf RUU Pilkada dari pemerintah. DPR dipastikan akan
“ngebut” untuk menyelesaikan revisi
UU Pilkada, pasalnya pada akhir April DPR melakukan agenda reses masa sidang
IV. Artinya, DPR hanya punya waktu tidak sampai satu bulan untuk membahas RUU
tersebut. Kementerian Dalam Negeri telah menyusun beberapa isu strategis dalam
perubahan UU Pilkada, antara lain: memasukkan putusan Mahkamah Konstitusi
terkait kewajiban Anggota DPR, DPD, DPRD, TNI, Polri dan PNS untuk mundur jika
mencalonkan di Pilkada; pembentukan badan yang secara khusus menangani sengketa
Pilkada agar prosedur penyelesaiannya sengketa Pilkada lebih sederhana; serta
pendanaan Pilkada dengan APBD dan APBN.
Jauh
hari sebelum RUU disampaikan Pemerintah kepada DPR, muncul beberapa tawaran
mengenai revisi UU Pilkada dari berbagai pihak: politisi, akademisi serta aktivis
LSM. Misalnya soal dukungan perseorangan (calon independen), sebagian Anggota
DPR (Komisi II) menginginkan agar syarat dukungan calon independen disamakan
dengan partai politik. Argumen yang mereka tawarkan adalah perlunya asas
kesetaraan syarat dukungan baik calon independen maupun yang diusung parpol.
Namun
dilain pihak, penambahan syarat dukungan calon independen mendapat penolakan.
Filosofi calon independen adalah meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
pesta demokrasi, Pilkada. Bahkan, pihak yang menolak menganggap bahwa
penambahan tersebut lebih bersifat politis. Penambahan syarat dukungan
bertendensi untuk melemahkan calon perseorangan tertentu, dalam konteks ini:
melemahkan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang akan maju melalui jalur
independen di Pilgub Jakarta. Dalam draf RUU yang diterima DPR, pemerintah
tidak merubah syarat dukungan bagi calon independen, ketentuan tersebut tetap
mengacu pada UU sebelumnya.
Hal
lain yang menjadi perhatian dalam Pilkada adalah praktek politik uang. Dalam UU
Pilkada, sanksi bagi pelaku politik uang tidak diatur secara jelas. Hal ini
membuat praktek politik uang banyak terjadi di beberapa daerah pada Pilkada
2015 lalu. Untuk mengantisipasi hal tersebut, draf RUU Pilkada mengaturnya
dalam Pasal 73 ayat (1), “Calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan
dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi Pemilih”.
Selanjutnya pada ayat (2) “Calon yang terbukti melakukan pelanggaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan, putusan pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU
Provinsi dan KPU Kab/Kota dan dikenai sanksi pidana sesuai dengan peraturan
perundang-undangan”.
Pembatalan
pencalonan karena melakukan politik uang adalah sanksi tegas di dalam UU.
Tetapi jika dicermati pasal di atas terdapat celah untuk dikritik: penindakan
pelaku politik uang harus menunggu putusan pengadilan yang sah. Pasal tersebut
menunjukkan bahwa penindakan pelaku politik uang sangat lambat karena harus
menunggu keputusan dari pengadilan, melalui proses yang panjang. Oleh karena
itu, DPR perlu merumuskan formula baru yang efektif dalam hal penanganan pelaku
politik uang.
Dalam
hal pembentukan badan peradilan khusus untuk menangani sengketa Pemilu, pasal
157 draf RUU Pilkada telah mengatur ketentuan tersebut. Draf RUU menyebutkan
bahwa pembentukan badan peradilan tersebut sebelum pelaksanaan Pemilihan
serentak nasional. Artinya, pembentukan badan peradilan tersebut tidak harus
saat ini untuk menghadapi Pilkada 2017.
Jika
melihat banyaknya pelanggaran dan sengketa Pilkada 2015 lalu, pembentukan badan
peradilan khusus mendesak dilakukan. Hal ini untuk menghindari lamanya durasi
penyelesaian sengketa Pemilu. Seperti diatur dalam UU Pilkada lalu, bahwa
penyelesaiaan sengketa pilkada melibatkan banyak institusi: DKPP, Bawaslu dan
Pengadilan-TUN. Namun, pembentukan badan peradilan khusus Pemilu menurut
beberapa pengamat tidak mendesak dilakukan, jika Bawaslu diberi kewenangan
lebih dalam menyelesaiakan sengketa Pemilu. Bawaslu dapat “bertransformasi”
menjadi badan pengawas sekaligus pengadil sengketa Pemilu.
Selain
beberapa hal di atas, draf RUU juga memberi perhatian bagi calon yang diusung
oleh parpol atau gabungan parpol. Draf RUU memberi ketentuan bahwa calon kepala
daerah yang diusung parpol dapat diterima apabila kepengurusan partai yang
bersangkutan terdaftar di Kemenkumham (pasal 40a). Spirit lahirnya pasal ini menurut Pemerintah adalah: agar parpol
yang sedang mengalami dualisme atau sengketa kepengurusan dapat segera islah. Momentum Pilkada, bagi parpol
seharusnya bukan hanya untuk memenangkan kadernya sebagai kepala daerah, tetapi
juga konsolidasi menuju hajat yang lebih besar, Pileg dan Pilpres.
Selama
pembahasan UU Pilkada, publik dapat berpartisipasi untuk memberi masukan bagi
Pemerintah dan DPR serta mengawasi jalannya pembahasan. UU Pilkada harus bersih
dari kepentingan elit politik dan kelompok tertentu agar Pilkada dapat berjalan
dengan demokratis. Suksesnya Pilkada 2017 mendatang (yang
digelar di 101 daerah: terdiri 7 Provinsi, 18 Kota dan 76 Kabupaten) turut
ditentukan UU yang sedang “digodok” di DPR saat ini. Minimnya waktu pembahasan
harus menjadi “pecut” semangat DPR-Pemerintah untuk menyelesaikan UU Pilkada. Publik
sangat berharap, UU Pilkada nantinya dapat mewujudkan Pilkada yang bersih dan
ideal. Dengan begitu, pemimpin yang berkualitas akan lahir dari Pilkada
tersebut.
*) Harian Suara Karya, Selasa, 12 April 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar