Selasa, 23 Februari 2016

LGBT, What!



Oleh: Ali Thaufan DS
 
Soal Lesbi, Gay, Biseksual, Transgender (LGBT), penulis harus kemukakan ketidaksetujuan akan hal itu. Hal ini penulis kemukakan diawal dari tulisan singkat ini agar pembaca segera mengetahui posisi penulis dalam menyikapi LGBT. Penulis yakin, dengan memposisikan diri, tentu ada yang sependapat dan tidak. Ini sebuah konsekuensi. Sama halnya dengan mereka yang menyatakan opini untuk mendukung atau menolak LBGT. Tetapi satu hal yang ingin penulis tegaskan, bahwa penulis selalu menghindari untuk memaki LGBT, sekalipun menolak.

Demokrasi yang menjadi pilihan Indonesia saat ini membawa banyak konsekuensi, salah satunya adalah kebebasan berekspresi, dalam kaitan dengan tulisan ini adalah kebebasan ber-LGBT. LGBT tiba-tiba menjadi begitu marak diperbincangkan –pada Februari 2016. Mereka, komunitas yang berada di luar mainstream. Dimata masyarakat, berpasang-pasangan (bersuami-istri) adalah antara laki-laki dengan perempuan, bukan laki-laki dengan laki-laki dan perempuan dengan perempuan sebagaimana diusung LGBT. Itulah sebabnya, “paham” LGBT ini diserbu makian yang begitu masif dari pakar agama dan juga kesehatan. Meski demikian, masih ada “nyanyian” yang teguh mendukung paham yang melegalkan pernikahan sejenis kelamin ini. 

Diberbagai surat kabar, mungkin sudah ribuan tulisan mengulas seputar pro dan kontra LBGT. Franz Magnis Suseno misalnya, dalam kolom Opini harian Kompas (23/2/2016) memaparkan bahwa sudah lebih dari 26 tahun silam, organisasi kesehatan dunia PBB (WHO) menyatakan bahwa homoseksual bukanlah penyakit mental. Seorang yang menjadi homo dan lesbi bukan pilihan, tetap pembawaan yang bersifat alami dari orang tersebut.

Apa yang menjadi pernyataan WHO tersebut mematahkan argumen bahwa homo dan lesbi adalah sebuah penyakit psikis (mental). Penulis menduga, keputusan WHO yang seakan “melegalkan” homo dan lesbi memicu derasnya pertumbuhan para homoseks dan lesbi diseluruh negara. Terlebih lagi, dimata dunia, mereka para penganut LBGT memiliki organisasi pelindung bernama Asosiasi Internasional Lesbian, Gay, Biseksual, Trans dan Interseks (ILGA). Dalam situs resmi ILGA, disebutkan bahwa mereka menjadi payung bagi para pembela LBGT diseluruh penjuru dunia. Di Indonesia sendiri, komunitas-komunitas homo dan lesbi banyak sekali didapati, sebut saja: GAYa Nusantara di Surabaya dan Persaudaraan Gay Yogyakarta (PGY) yang kemudian berubah nama Indonesian Gay Society (IGS). Keberadaan mereka saat ini mungkin tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, yang sembunyi-sembunyi. Kini, keberadaan dan aksi mereka dengan mudah didapati.

Soal LBGT, Kalangan cendekiawan muslim juga memberikan pandangan atasnya. Sebagian dari mereka mendukung tetapi kebanyakan menolak. Argumen yang disajikan para cendekiawan muslim merujuk pada kitab suci al-Qur’an dan karya-karya klasik para ulama. Penulis tidak akan mengemukakan argumen satu demi satu yang mereka sajikan. Tetapi apa yang diperdebatkan mereka adalah bukti bahwa agama Islam sejak masa lampau telah membincang soal homo dan lesbi. Agama punya perhatian dan penyelesaian terhadap kasus LGBT. Terkait perdebatan LGBT atas nama agama, penulis lebih menimbang pada aspek etis dan tidak etis, karena tafsir atas kasus ini beragam, boleh dan tidak menjadi LGBT. Penulis mendapati perintah menikah bagi laki-laki dalam al-Qur’an adalah “nikahilah perempuan yang baik...”, bukan nikahilah laki-laki yang baik”. Kitab suci al-Qur’an telah memberi gambaran betapa pedihnya hukum Tuhan pada kaum nabi Luth yang homoseks. Meski cerita tersebut ditafsiri berbeda oleh para cendekiawan.

Maraknya LBGT, adalah sebuah kekagetan bagi penulis. Dulu, saat masih kecil, ketika melihat laki-laki yang menyerupai perempuan atau sebaliknya (maaf: melihat “banci” atau “becong”) penulis merasa risih sekaligus takut. Tetapi, penulis tidak mengejek dan mengolok si banci tersebut. Kini, LBGT begitu marak. Sekali lagi kekagetan penulis tidak untuk memaki dan mengolok-olok mereka. Mereka para LBGT adalah manusia yang lahir dari rahim ibu, sama seperti saya dan anda. Mengajak mereka kepada kebaikan dan kenormalan adalah pilihan utama dan bijak. Ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk menghindar dari LBGT, penulis yakin, anda sudah mengetahuinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar