Rabu, 09 Maret 2016

Menegaskan Komitmen Otonomi Daerah




Oleh: Ali Thaufan DS 

Salah satu –diantara banyaknya- yang menjadi tujuan reformasi tahun 1998 adalah merubah paradigma pemerintahan yang sentralistik menjadi desentralistik. Tipologi sentralistik cenderung menjadikan pemerintah pusat sebagai pemegang kendali. Sedangkan desentralistik, memberikan ruang bagi daerah untuk mengembangkan dan membuat inovasi-inovasi yang dapat memberi keuntungan –baik secara ekonomi, politik dan sosial- bagi daerah.

Setelah delapan belas tahun reformasi 98 bergulis, kini pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla berupaya untuk memberi “keleluasaan” bagi daerah untuk membangun daerah dan desa. Hal tersebut dituangkan dalam konsep Nawa Cita. Implementasi selanjutnya tampak dari besarnya dana transfer daerah dan dana desa pada APBN 2016, yakni sebesar 770,2 triliun. 

Selain itu, rencana pembangunan daerah juga terlihat Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Desain Besar Pemerintah Daerah (Desartada). Dalam RPP tersebut, pemerintah rencananya –dari 2016 hingga 2025- akan banyak melakukan pemekaran daerah atau membentuk daerah otonomi baru (DOP). Diperkirakan hingga 2015 nanti, akan ada 804 pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota (terdiri dari 55 Provinsi, 607 Kabupaten dan 142 Kota). RPP tersebut diprediksi akan segara terwujud. Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan DPR RI –dalam hal ini Komisi II- telah membahas bersama.

Upaya pembentukan pemerintahan baru di daerah akan memberikan ruang bagi daerah untuk mengembangkan dan membuat inovasi-inovasi yang dapat memberi keuntungan –baik secara ekonomi, politik dan sosial- bagi daerah. Sesuai dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, Otonomi Daerah dijelaskan sebagai “Hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem NKRI”.

Data Dirjen Otonomi Daerah (Otda) Kemendagri hingga tahun 2015, mencatat sejak tahun 1999 sampai 2014 terdapat 223 Daerah Otonomi Baru (DOB). Banyaknya DOB tersebut menyiratkan pesan bahwa daerah ingin membangun diri sendiri. Seperti diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa dengan melaksanakan Otda, setiap daerah memiliki hak diantaranya untuk: “mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya; memilih pimpinan daerah; mengelola aparatur daerah; mengelola kekayaan daerah; memungut pajak daerah dan retribusi daerah; mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di daerah”. 

Namun demikian dalam pelaksanaan Otda kerap kali terjadi penyimpangan-penyimpangan. Ekses dari penyimpangan tersebut tidak hanya dipidanakannya oknum yang melakukan penyimpangan (dala hal ini berurusan dengan hukum), tetapi juga membuat terhambatnya pembangunan daerah. Berbagai permasalahan juga kerap menghambat seperti kompetensi Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang bertugas di daerah otonom, pelayanan publik yang jauh dari standar, lesunya minat investor untuk berinvestasi di daerah serta munculnya kekuatan politik yang mendominasi pada daerah tertentu. 

Terkait dengan penyimpangan Otda, Syamsuddin (2006) melihat bahwa Otda masih harus berhadapan dengan berbagai tantangan. Tujuan akhir dari Otda untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat direnggut oleh kepentingan sesaat kelompok tertentu. Otda kerap dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk mengambil keuntungan. Pengelolaan keuangan daerah otonom juga dinilai belum maksimal. Hal ini seperti diutarakan Mendagri, Tjohjo Kumolo bahwa 58 persen daerah otonom baru tidak mampu meningkatkan PAD-nya. Mereka justru mengandalkan transfer keuangan dari pemerintah pusat. Keadaan yang demikian pada akhirnya membuat pelaksanaan Otda tersendat. Mimpi Otda yang mulanya dimaksud memberi kesejahteraan masyarakat, sirna. 
 
Selain itu menurut Siti Zuhro, kegagalan Otda terjadi akibat rendahnya kualitas pelayanan publik dan lemahnya pengawasan terhadap Otda itu sendiri. Oleh sebab itu, pengawasan dalam pelaksanaan Otda mutlak dibutuhkan. Berbagai penyimpangan Otda seperti tersebut di atas harus menjadi evaluasi para pemangku kepentingan di daerah. 

Jika mengacu pada hak-hak yang dimiliki setiap daerah yang melaksanakan Otda, seperti diamanatkan pada UU di atas, sejatinya pemerintah daerah mendapat hak yang sangat istimewa dalam mengelola daerah melalui Otda. Falsafah yang mendasari Otda adalah keadilan sosial dan pemerataan pembangunan di seluruh Indonesia. Tentu saja hal ini merupakan implementasi dari Pancasila dan amanat UUD 1945 yang menjadi rujukan utama bernegara.
Menurut Smith seperti dikutip Syamsuddin (2006) mengemukakan bahwa Otda setidaknya memiliki tiga tujuan utama bagi pemerintah daerah. Pertama, mendorong partisipasi masyarakat dalam ruang politik daerah, Smith menyebutnya dengan istilah “politic equality”. Kedua, memberi perhatian lebih pada hak-hak yang seharusnya diterima masyarakat. Ketiga, “local responsiveness”, yakni memberi ruang bagi daerah untuk bertanggung jawab terhadap  penyelesaian persoalan yang ada di daerah. Dari uraian di atas terlihat bahwa konsep Otda adalah memberikan ruang terbuka bagi masyarakat untuk turut berpartisipasi membangun bangsa melalui daerah masing-masing.

Selain memiliki tujuan utama bagi pemerintah daerah, Otda juga memberikan manfaat bagi pemerintah pusat. Melalui Otda, pemerintah pusat dapat terlepas dari berbagai persoalan daerah karena pemerintah daerah turut dalam penyelesaian persoalan tersebut. Otda dapat memberikan kesempatan bagi pusat untuk turut memikirkan persoalan yang lebih besar, berskala global.

Desartada yang menjadi rencana besar pemerintah dalam menata daerah menjadi kesempatan setiap daerah untuk lebih mengembangkan potensi daerah melalui Otda. Namun patut menjadi catatan pula bahwa pemekaran daerah atau pembentukan DOB bukan “asal” mendorong lahirnya daerah baru. Sekiranya perlu dipertimbangkan keuangan, sumber daya alam dan sumber daya manusia yang akan “menghidupi” daerah terkait. 

Spirit Otda adalah menyejahterakan masyarakat lokal daerah. Khusus di bidang ekonomi, Otda dimaksudkan memberi ruang bagi daerah untuk dapat mengelola hasil kekayaan daerah dan mengoptimalkannya. Tentu saja hal ini dimaksud demi tercapainya kesejahteraan daerah. Kesejahteraan yang ada di daerah-daerah tersebut akan menjadi kesejahteraan bersama bagi Indonesia. 

*) Harian Suara Karya, Jumat 4 Maret 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar