Oleh: Ali Thaufan DS
Salah satu –diantara banyaknya- yang menjadi tujuan
reformasi tahun 1998 adalah merubah paradigma pemerintahan yang sentralistik menjadi
desentralistik. Tipologi sentralistik cenderung menjadikan pemerintah pusat
sebagai pemegang kendali. Sedangkan desentralistik, memberikan ruang bagi
daerah untuk mengembangkan dan membuat inovasi-inovasi yang dapat memberi
keuntungan –baik secara ekonomi, politik dan sosial- bagi daerah.
Setelah delapan belas tahun reformasi 98 bergulis, kini pemerintahan
Joko Widodo dan Jusuf Kalla berupaya untuk memberi “keleluasaan” bagi daerah
untuk membangun daerah dan desa. Hal tersebut dituangkan dalam konsep Nawa
Cita. Implementasi selanjutnya tampak dari besarnya dana transfer daerah dan
dana desa pada APBN 2016, yakni sebesar 770,2 triliun.
Selain itu, rencana pembangunan daerah juga terlihat Rancangan
Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Desain Besar Pemerintah Daerah (Desartada).
Dalam RPP tersebut, pemerintah rencananya –dari 2016 hingga 2025- akan banyak melakukan
pemekaran daerah atau membentuk daerah otonomi baru (DOP). Diperkirakan hingga 2015
nanti, akan ada 804 pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota (terdiri dari 55
Provinsi, 607 Kabupaten dan 142 Kota). RPP tersebut diprediksi akan segara terwujud.
Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan DPR RI –dalam hal
ini Komisi II- telah membahas bersama.
Upaya pembentukan pemerintahan baru di daerah akan
memberikan ruang bagi daerah untuk mengembangkan dan membuat inovasi-inovasi
yang dapat memberi keuntungan –baik secara ekonomi, politik dan sosial- bagi
daerah. Sesuai dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, Otonomi
Daerah dijelaskan sebagai “Hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat dalam sistem NKRI”.
Data Dirjen Otonomi Daerah (Otda) Kemendagri hingga tahun
2015, mencatat sejak tahun 1999 sampai 2014 terdapat 223 Daerah Otonomi Baru
(DOB). Banyaknya DOB tersebut menyiratkan pesan bahwa daerah ingin membangun
diri sendiri. Seperti diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, bahwa dengan melaksanakan Otda, setiap daerah memiliki hak diantaranya
untuk: “mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya; memilih pimpinan
daerah; mengelola aparatur daerah; mengelola kekayaan daerah; memungut pajak daerah
dan retribusi daerah; mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam
dan sumber daya lainnya yang berada di daerah”.
Namun demikian dalam pelaksanaan Otda kerap kali terjadi
penyimpangan-penyimpangan. Ekses dari penyimpangan tersebut tidak hanya
dipidanakannya oknum yang melakukan penyimpangan (dala hal ini berurusan dengan
hukum), tetapi juga membuat terhambatnya pembangunan daerah. Berbagai
permasalahan juga kerap menghambat seperti kompetensi Pegawai Negeri Sipil
(PNS) yang bertugas di daerah otonom, pelayanan publik yang jauh dari standar,
lesunya minat investor untuk berinvestasi di daerah serta munculnya kekuatan
politik yang mendominasi pada daerah tertentu.
Terkait dengan penyimpangan Otda, Syamsuddin (2006)
melihat bahwa Otda masih harus berhadapan dengan berbagai tantangan. Tujuan
akhir dari Otda untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat direnggut oleh
kepentingan sesaat kelompok tertentu. Otda kerap dimanfaatkan oleh oknum
tertentu untuk mengambil keuntungan. Pengelolaan keuangan daerah otonom juga
dinilai belum maksimal. Hal ini seperti diutarakan Mendagri, Tjohjo Kumolo
bahwa 58 persen daerah otonom baru tidak mampu meningkatkan PAD-nya. Mereka
justru mengandalkan transfer keuangan dari pemerintah pusat. Keadaan yang
demikian pada akhirnya membuat pelaksanaan Otda tersendat. Mimpi Otda yang
mulanya dimaksud memberi kesejahteraan masyarakat, sirna.
Selain itu menurut Siti Zuhro, kegagalan Otda terjadi
akibat rendahnya kualitas pelayanan publik dan lemahnya pengawasan terhadap
Otda itu sendiri. Oleh sebab itu, pengawasan dalam pelaksanaan Otda mutlak
dibutuhkan. Berbagai penyimpangan Otda seperti tersebut di atas harus menjadi
evaluasi para pemangku kepentingan di daerah.
Jika mengacu pada hak-hak yang dimiliki setiap daerah yang
melaksanakan Otda, seperti diamanatkan pada UU di atas, sejatinya pemerintah
daerah mendapat hak yang sangat istimewa dalam mengelola daerah melalui Otda.
Falsafah yang mendasari Otda adalah keadilan sosial dan pemerataan pembangunan
di seluruh Indonesia. Tentu saja hal ini merupakan implementasi dari Pancasila
dan amanat UUD 1945 yang menjadi rujukan utama bernegara.
Menurut Smith seperti dikutip Syamsuddin (2006)
mengemukakan bahwa Otda setidaknya memiliki tiga tujuan utama bagi pemerintah
daerah. Pertama, mendorong partisipasi masyarakat dalam ruang politik daerah,
Smith menyebutnya dengan istilah “politic
equality”. Kedua, memberi perhatian lebih pada hak-hak yang seharusnya
diterima masyarakat. Ketiga, “local
responsiveness”, yakni memberi ruang bagi daerah untuk bertanggung jawab
terhadap penyelesaian persoalan yang ada
di daerah. Dari uraian di atas terlihat bahwa konsep Otda adalah memberikan
ruang terbuka bagi masyarakat untuk turut berpartisipasi membangun bangsa
melalui daerah masing-masing.
Selain memiliki tujuan utama bagi pemerintah daerah, Otda
juga memberikan manfaat bagi pemerintah pusat. Melalui Otda, pemerintah pusat
dapat terlepas dari berbagai persoalan daerah karena pemerintah daerah turut
dalam penyelesaian persoalan tersebut. Otda dapat memberikan kesempatan bagi
pusat untuk turut memikirkan persoalan yang lebih besar, berskala global.
Desartada yang menjadi rencana besar pemerintah dalam
menata daerah menjadi kesempatan setiap daerah untuk lebih mengembangkan
potensi daerah melalui Otda. Namun patut menjadi catatan pula bahwa pemekaran
daerah atau pembentukan DOB bukan “asal” mendorong lahirnya daerah baru.
Sekiranya perlu dipertimbangkan keuangan, sumber daya alam dan sumber daya
manusia yang akan “menghidupi” daerah terkait.
Spirit Otda adalah menyejahterakan masyarakat lokal
daerah. Khusus di bidang ekonomi, Otda dimaksudkan memberi ruang bagi daerah
untuk dapat mengelola hasil kekayaan daerah dan mengoptimalkannya. Tentu saja
hal ini dimaksud demi tercapainya kesejahteraan daerah. Kesejahteraan yang ada
di daerah-daerah tersebut akan menjadi kesejahteraan bersama bagi Indonesia.
*) Harian Suara Karya, Jumat 4 Maret 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar