Ada ketegangan tersendiri menjelang perayaan
Natal kali ini (2016). Di beberapa negera seperti Turki, Jerman dan Swiss,
terjadi teror. Puluhan orang tewas dan dan terluka. Teror tersebut menjadi
“hantu” menjelang perayaan Natal diseluruh dunia. Duka mereka, duka seluruh
manusia. Kejadian teror di negara tersebut ibarat menjadi peringatan bagi
pemerintah Indonesia untuk mengamankan Natal dan tahun baru.
Di Indonesia, meskipun tidak sampai terjadi
teror yang memakan korban jiwa, persiapan perayaan Natal kali ini diwarnai
dengan aksi swepping yang dilakukan
oleh organisasi masyarakat Laskar Umat Islam Surakarta (LUIS) di Restoran
Sosial Kitchen, Solo. Ormas tersebut berdalih bahwa restoran tersebut menjual
minuman keras dan jam buka yang kelewat batas. Selain swepping, juga terdapat penangkapan teroris di Tangerang Selatan,
Banten.
Terhadap ulah swepping yang dilakukan Ormas, Kapolri Jenderal Polisi Tito
Karnavian memerintahkan jajaranya untuk menegakan hukum atas pelanggaran
tersebut. Ketua MUI, Ma’ruf Amin juga mengajak seluruh umat beragama untuk
menjaga kerukunan beragama, tidak melakukan tindakan yang merugikan pihak lain.
Kapolri juga telah menyiapkan personilnya untuk menjelang perayaan Natal dan
menjamin keamanannya. (Media Indonesia
23/12/2016)
Ketegangan perayaan Natal kali ini juga diakibatkan
adanya pemahaman parsial terhadap fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 56
Tahun 2016 yang menerangkan larangan Muslim menggunakan atribut non Islam,
dalam hal ini atribut Natal. Sudah menjadi kebiasaan, pada umumnya saat
memperingati hari besar agama tertentu, banyak perusahaan yang menyuruh
karyawannya mengenakan atribut agama tertentu. Hal tersebut menurut penulis sebagai
bentuk promo sebuah perusahaan untuk menaikkan pasar penjualan produknya.
Perusahaan tidak bermaksud mencampuradukan akidah karyawan dengan atribut agama
tertentu sehingga dapat merusak akidah.
Fatwa MUI yang melarang seorang Muslim mengenakan
atribut Natal, dalam konteks ini, sebetulnya memiliki maksud yang sangat baik.
Pertama, agar karyawan yang bersangkutan dapat memahami pentingnya menjaga
“pakaian akidah”. Kedua, perusahaan yang bersangkutan juga mentolelir
karyawanya yang Muslim sehingga tidak ada sikap memaksakan. Semua ini dimaksud
untuk saling menghormati. Fatwa MUI tersebut tidak menyuruh umat Islam untuk
merampas atribut Natal. Inilah yang perlu dipahami. Agama Islam mengajarkan
umatnya la ikraha fi al-din (yang
berarti= tidak ada paksaan dalam beragama).
Zuhairi Misrawi menganggap atribut Natal sudah
menjadi hal lumrah di Indonesia. Hal yang saya juga terjadi di negara-negara
Arab. Atribut Natal bukan ancaman keyakinan, tetapi menjadi kekayaan
kebhinekaan bangsa Indonesia. Media
Indonesia (20/12/2016)
Keragaman yang terdapat di Indonesia menjadi
kekayaan yang harus disyukuri. Keragaman ini jarang dijumpai di negara lain. Setiap
perayaan hari besar keagamaan semua agama (Islam, Kristen, Katolik, Budha,
Hindu dan Konghuchu), masyarakat memperingatinya dengan penuh antusias. Tak
terkecuali dengan perayaan Natal.
Dalam pandangan umat Kristiani, Natal dimaknai
sebagai bentuk dari kebaikan yang datang dari Tuhan. Secara teologis, Natal
dianggap sebagai peringatan hari kelahiran Yesus. Menurut Wineta (2003:26) pada
hari kelahiranya itu, Yesus menebar kasih sayang dan perdamaian. Natal adalah
“Ketika Allah datang menyapa manusia: mari mendekatlah, bangkitlah dari
kesia-siaan, kita ukir sejarah bari”, demikian tulis Wineta.
Gerrit Singgih (2000:26) menggambarkan umat
Kristiani dengan penuh suka cita menyambut Natal. Mereka menggelar perayaan
dengan bertukar bingkisan dan kado, menghiasi rumah dengan pohon Cemara dengan
kerlap-kerlip lampu nan indah, serta saling bersilaturahim sesama saudara.
Umat Kristiani Indonesia pun memiliki kekhasan
tersendiri merayakan Natal. Di Bali, umat Kristiani menghias Gereja dengan
ornamen khas Bali. Sedangkan di Yogyakarta, para Pendeta mengenakan Blangkon
sebagai simbol budaya Jawa. Lain Bali dan Yogyakarta, di Jakarta umat Kristiani
memeriahkan dengan aksi coret muka menggunakan bedak berwarna putih dimaksudkan
sebagai penyucian dosa.
Perayaan Natal tidak hanya diperingati umat
Kristiani sendiri. Umat agama lain pun turut andil memperingati hari lahir
Yesus tersebut. Dalam catatan dan dokumentasi pribadi penulis, pada tahun 2012
lalu, sebanyak 200 anggota Front Pembela Islam (FPI) Kota Makassar turut
mengamankan perayaan Natal. FPI Provinsi Sulawesi Selatan berpandangan bahwa
pengamanan tersebut sebagai bentuk toleransi umat Islam. Tindakan FPI ini
terbilang di luar mainstream karena
ia lebih dikenal sebagai Ormas Islam radikal, sering menegakkan amar ma’ruf dengan cara kekerasan dan
anti non Muslim.
Selain aksi simpati FPI di Makassar, masih
merujuk catatan penulis, di Jakarta terdapat halaman Masjid yang dijadikan
tempat parkir bagi umat Kristiani yang melakukan perayaan Natal di Gereja.
Menurut Takmir Masjid yang bersangkutan, penyediaan parkir bagi umat Kristiani
tersebut sudah biasa dilakukan dan dalam rangka menjaga kerukunan beragama.
Hal yang sama dilakukan pihak Gereja, tatkala
umat Islam menggelar salat Idul Fitri dan Idul Adha, halaman Gereja juga
dijadikan area parkir umat Muslim yang menggelar salat. Bahkan pihak Geraja
juga menyumbang hewan Qurban. Meski masih menjadi perdebatan dalam hukum Islam,
tapi nilai positif yang bisa diambil adanya adanya sikap tenggang rasa, saling
menghormati dan toleransi yang ditunjukkan kedua agama.
Meski terdapat sikap yang menunjukkan saling menghormati dalam perayaan
Natal, ada pula sikap intoleransi yang didapati dalam setiap perayaan Natal.
Sebagai contoh, adanya sekelompok orang yang melarang perayaan Natal umat
Kristiani di Bekasi dan Bogor pada tahun 2012 lalu. Ini menjadi catatan untuk
diantisipasi baik oleh aparat penegak hukum juga tokoh agama.
Bangsa Indonesia dibangun atas dasar persatuan seluruh anak bangsa. Islam
menekankan bahwa perbedaan adalah rahmat, bukan sesuatu yang dapat memecah
belah. Sebaliknya, pemaksaan untuk mengikuti satu paham tertentu dapat menyulut
peperangan dan memecah belah persatuan. Semua agama, pada prinsipnya
mengajarkan kebaikan. Esensi dari ibadah kepada Tuhan adalah untuk menciptakan
kehidupan sosial.
Sekali lagi, perayaan Natal tidak boleh dinodai dengan aksi-aksi anarkisme
atau bahkan teror. Jangan lagi peringatan hari besar harus diwarnai jatuh
korban akibat ulah oknum yang tidak bertanggung jawab. Para tokoh agama telah
memberi teladan bagi kita semua akan pentingnya menjaga persatuan bangsa.
Berbagai peristiwa intoleransi harus dihindari dalam setiap perayaan hari besar
keagamaan di Indonesia.