Oleh: Ali Thaufan DS
Pada Agustus 2015 ini, dua organisasi
Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama menghelat
Muktamar. Salah satu yang menjadi agenda utama dalam Muktamar tersebut adalah
pergantian pimpinan atau ketua umum ormas tersebut. Penulis menggunakan kata
“menyegarkan” pada judul di atas bukan bermaksud mengaggap ormas tersebut lesu.
Lazimnya dalam sebuah organisasi, pergantian pimpinan –yang juga diikuti dengan
pergantian pengurus- juga dimaksud untuk “menyegarkan” semangat berorganisasi. Pada
Muktamar NU, Said Aqil Siradj terpilih sebagai ketua umum untuk periode
2015-2015. Sedangkan Muhammadiyah memilih Haedar Nasir untuk melanjutkan
kepemimpinan sebelumnya yang dipegang Din Syamsuddin. Tulisan ini hadir
mencermati perhelatan Muktamar kedua ormas Islam terbesar di Indonesia tersebut,
terutama atas terpilihnya ketua umum baru.
Muktamar Muhammadiyah ke-47 kali ini
digelar di Makassar dengan tema “Gerakan Pencerahan Untuk Indonesia Berkemajuan”.
Sedangkan NU “Meneguhkan Islam Nusantara Untuk Peradaban Indonesia dan Dunia”
sebagai tema Muktamar ke-33 di Jombang. Dilihat dari subtansi tema kedua ormas
tersebut dalam Muktamar, keduanya ingin memberikan kontribusi lebih bagi
Indonesia. NU ingin menjadikan “Islam Nusantara” sebagai model Islam yang khas
Indonesia untuk peradaban Islam dunia. Sementara Muhammadiyah melalui gerakan
pencerahan berkeinginan membawa Indonesia sebagai negara yang berkemajuan.
Sejak awal berdirinya, kontribusi kedua ormas
tersebut untuk Indonesia tidak perlu diragukan lagi. Mungkin ratusan ribu atau
jutaan literatur mencatat peran penting NU dan Muhammadiyah dalam panggung
sejarah Indonesia. Sejarawan asal Amerika, Theodore Lothrop Stoddard dalam “The
New World of Islam”[1]
mencatat berdirinya Muhammadiyah pada 1912 sebagai reaksi atas penindasan
penjajah yang bercokol di Indonesia. Selain itu, Muhammadiyah melihat adanya
berbagai penyimpangan dalam praktik keagamaan. Itulah sebabnya Muhammadiyah
hadir untuk memberi pencerahan. Muhammadiyah mencita-citakan terwujudnya negara
yang adil, makmur, aman dan damai. Selain itu, persoalan pendidikan menjadi
perhatian utama Muhammadiyah, Stoddard menyebut sebagai “sesuatu yang istimewa”
bagi ormas tersebut.
Tidak berbeda dengan Muhammadiyah, NU juga
banyak berkontribusi bagi bangsa Indonesia. Berdiri pada 1926, tentu NU
terlibat dalam perang merebut kemerdekaan Indonesia dari Belanda dan penjajah
lainnya. Dinno Munfaizin dalam “Siasat Politik NU Era Panjajahan Jepang” mencatat
peran NU dalam melawan penjajahan tentara Jepang. Sebagai ormas keagamaan NU
memiliki tradisi mengakar, mencoba mengelaborasi budaya dan agama untuk selaras
dengan kondisi masyarakat Indonesia. Stoddard juga mencatat bahwa NU terus
mengembangkan dakwah dan pendidikan bagi masyarakat.
Dalam perkembangan pasca kemerdekaan,
kedua ormas tersebut banyak terlibat dalam berbagai pengambilan kebijakan
negara. Kader kedua ormas tersebut terlibat aktif dalam berbagai partai
politik. Tetapi perlu dicatat sekalipun para kader terlibat aktif dalam politik
tidak serta merta membuat ormas tersebut kehilangan ruh sebagai ormas
keagamaan. Pada titik ini penulis memaknai –berkecimpungnya para kader dipartai
politik- sebagai kontribusi ormas terhadap kenyataan sosial pasca kemerdekaan.
Baik Muhammadiyah dan NU tidak berhenti dalam perjuangan pasca kemerdekaan.
Muhammadiyah dan NU membangun bangsa dengan cara masing-masing. Setiap kali
selepas Muktamar, kedua ormas tersebut merekomendasikan hal-hal untuk segera
dilakukan pemerintah. Dalam beberapa masa pemerintahan, terbukti NU dan
Muhammadiyah menjadi “penasehat” para pengambil kebijakan.
Dengan
terpilihnya ketua umum baru untuk menjalankan roda ormas membawa semangat dan
harapan baru. Kontribusi Muhammadiyah dan NU di bawah ketua umum baru akan
selalu dibutuhkan Indonesia. Patut untuk menjadi catatan, bahwa Said Aqil
Siradj tidak hanya miliki NU, juga Haedar Nasir tidak hanya milik Muhammadiyah.
Keduanya harus berani memposisikan diri mereka sebagai “bapak umat dan bangsa”
milik masyarakat Indonesia. Tidak perlu lagi ada “pengkotak-kotakan” dan
dikotomi yang terkesan egois.
[1] Buku tersebut telah
diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dengan judul “Dunia Baru Islam” atas perintah Presiden Sukarno dan terbit pada
tahun 1966.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar