Kamis, 06 Agustus 2015

Menyegarkan Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama

Oleh: Ali Thaufan DS

Pada Agustus 2015 ini, dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama menghelat Muktamar. Salah satu yang menjadi agenda utama dalam Muktamar tersebut adalah pergantian pimpinan atau ketua umum ormas tersebut. Penulis menggunakan kata “menyegarkan” pada judul di atas bukan bermaksud mengaggap ormas tersebut lesu. Lazimnya dalam sebuah organisasi, pergantian pimpinan –yang juga diikuti dengan pergantian pengurus- juga dimaksud untuk “menyegarkan” semangat berorganisasi. Pada Muktamar NU, Said Aqil Siradj terpilih sebagai ketua umum untuk periode 2015-2015. Sedangkan Muhammadiyah memilih Haedar Nasir untuk melanjutkan kepemimpinan sebelumnya yang dipegang Din Syamsuddin. Tulisan ini hadir mencermati perhelatan Muktamar kedua ormas Islam terbesar di Indonesia tersebut, terutama atas terpilihnya ketua umum baru.

Muktamar Muhammadiyah ke-47 kali ini digelar di Makassar dengan tema “Gerakan Pencerahan Untuk Indonesia Berkemajuan”. Sedangkan NU “Meneguhkan Islam Nusantara Untuk Peradaban Indonesia dan Dunia” sebagai tema Muktamar ke-33 di Jombang. Dilihat dari subtansi tema kedua ormas tersebut dalam Muktamar, keduanya ingin memberikan kontribusi lebih bagi Indonesia. NU ingin menjadikan “Islam Nusantara” sebagai model Islam yang khas Indonesia untuk peradaban Islam dunia. Sementara Muhammadiyah melalui gerakan pencerahan berkeinginan membawa Indonesia sebagai negara yang berkemajuan.

Sejak awal berdirinya, kontribusi kedua ormas tersebut untuk Indonesia tidak perlu diragukan lagi. Mungkin ratusan ribu atau jutaan literatur mencatat peran penting NU dan Muhammadiyah dalam panggung sejarah Indonesia. Sejarawan asal Amerika, Theodore Lothrop Stoddard dalam “The New World of Islam”[1] mencatat berdirinya Muhammadiyah pada 1912 sebagai reaksi atas penindasan penjajah yang bercokol di Indonesia. Selain itu, Muhammadiyah melihat adanya berbagai penyimpangan dalam praktik keagamaan. Itulah sebabnya Muhammadiyah hadir untuk memberi pencerahan. Muhammadiyah mencita-citakan terwujudnya negara yang adil, makmur, aman dan damai. Selain itu, persoalan pendidikan menjadi perhatian utama Muhammadiyah, Stoddard menyebut sebagai “sesuatu yang istimewa” bagi ormas tersebut.

Tidak berbeda dengan Muhammadiyah, NU juga banyak berkontribusi bagi bangsa Indonesia. Berdiri pada 1926, tentu NU terlibat dalam perang merebut kemerdekaan Indonesia dari Belanda dan penjajah lainnya. Dinno Munfaizin dalam “Siasat Politik NU Era Panjajahan Jepang” mencatat peran NU dalam melawan penjajahan tentara Jepang. Sebagai ormas keagamaan NU memiliki tradisi mengakar, mencoba mengelaborasi budaya dan agama untuk selaras dengan kondisi masyarakat Indonesia. Stoddard juga mencatat bahwa NU terus mengembangkan dakwah dan pendidikan bagi masyarakat.

Dalam perkembangan pasca kemerdekaan, kedua ormas tersebut banyak terlibat dalam berbagai pengambilan kebijakan negara. Kader kedua ormas tersebut terlibat aktif dalam berbagai partai politik. Tetapi perlu dicatat sekalipun para kader terlibat aktif dalam politik tidak serta merta membuat ormas tersebut kehilangan ruh sebagai ormas keagamaan. Pada titik ini penulis memaknai –berkecimpungnya para kader dipartai politik- sebagai kontribusi ormas terhadap kenyataan sosial pasca kemerdekaan. Baik Muhammadiyah dan NU tidak berhenti dalam perjuangan pasca kemerdekaan. Muhammadiyah dan NU membangun bangsa dengan cara masing-masing. Setiap kali selepas Muktamar, kedua ormas tersebut merekomendasikan hal-hal untuk segera dilakukan pemerintah. Dalam beberapa masa pemerintahan, terbukti NU dan Muhammadiyah menjadi “penasehat” para pengambil kebijakan.
 
Dengan terpilihnya ketua umum baru untuk menjalankan roda ormas membawa semangat dan harapan baru. Kontribusi Muhammadiyah dan NU di bawah ketua umum baru akan selalu dibutuhkan Indonesia. Patut untuk menjadi catatan, bahwa Said Aqil Siradj tidak hanya miliki NU, juga Haedar Nasir tidak hanya milik Muhammadiyah. Keduanya harus berani memposisikan diri mereka sebagai “bapak umat dan bangsa” milik masyarakat Indonesia. Tidak perlu lagi ada “pengkotak-kotakan” dan dikotomi yang terkesan egois.


[1] Buku tersebut telah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dengan judul “Dunia Baru Islam” atas perintah Presiden Sukarno dan terbit pada tahun 1966.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar