Oleh: Ali Thaufan DS
Pada pertengahan tahun 2015 ini (sekitar Juni hingga
Agustus) negara Indonesia sedang dilanda kekeringan akut. Bahkan kekeringan ini
diperkirakan hingga akhir tahun. Dari data yang penulis himpun, beberapa daerah
seperti Bogor, Garut, Yogyakarta, Winogiri, Jambi dan lainnya mengalami
kekeringan dan gagal panen. Beberapa sumur-sumur warga, sungai dan waduk yang
ada di Indonesia pun mengalami defisit air bahkan mengering.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menganalisis
bahwa musim panas dan kekeringan ini merupakan dampak dari fenomena El Nino.
Seperti penulis kutip dari BMKG, “El Nino
merupakan suatu gejala penyimpangan kondisi laut yang ditandai dengan
meningkatnya suhu permukaan laut (sea
surface temperature-SST) di samudra Pasifik sekitar equator (equatorial pacific) khususnya di bagian
tengah dan timur (sekitar pantai Peru)”. Atas kekeringan yang terjadi,
pemerintah ambil tindakan mengatasinya. Gelontoran dana daerah dan pusat
digunakan untuk membantu daerah yang mengalami kekeringan dan kesulitan air.
Tulisan ini berupaya mencermati fenomena kekeringan yang terjadi, serta upaya
pemerintah dalam mengatasinya.
Musim kemarau yang panjang dan mengakibatkan kekeringan
menjadi musibah bagi banyak kalangan dan lapisan masyarakat. Kesulitan air
membuat warga dibeberapa daerah harus berjuang untuk mendapat air. Beberapa
masyarakat di Kabupaten Bone harus menempuh jarak yang cukup jauh untuk
mendapat sumber air bersih layak pakai. Demikian pula yang terjadi pada
masyarakat di daerah Gunung Kidul. Sebagian masyarakat juga harus membeli air
bersih karena air bantuan pemerintah tidak cukup memenuhi kebutuhan.
Kekeringan yang melanda Indonesia juga berpotensi terjadinya
kebakaran hutan. Badan nasional penanggulangan bencana (BNPB) merilis beberapa
wilayah yang sangat mungkin terjadi kebakaran yakni: Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat,
Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, serta Kalimantan
Utara. Bahkan, di Riau menurut data yang penulis kutip dari BNPB terdapat 236
titik rawan kebakaran, yaitu: di Bengkalis 46, Kampar 17, Kuansi 10, Dumai 29,
Pelalawan 19, Rokan Hilir 97, Rokan Hulu 11, dan Siak 7. Untuk mengantisipasinya,
pemerintah menyediakan beberapa helikopter guna memadamkan titik api yang
menyala.
Bagi para petani, kekeringan
yang terjadi membuat mereka meradang. Petani di beberapa daerah gagal tanam dan
panen. Harian Kompas pada 31 Juli 2015 menyebut bahwa sekitar 111.000 ha lahan
pertanian mengalami kekeringan, dan sekitar 8.000 ha mengalami gagal panen. Hal
yang sama juga pernah terjadi pada fenomena El Nino pada tahun 1997. Saat itu
luas lahan pertanian yang mengalami kekeringan mencapai 462.130 ha. Meski demikian,
pemerintah menjamin akan memberi bantuan air pagi petani yang mengalami sulit
air. (Kompas 31/7/2015)
Peristiwa kekeringan ini tentu menjadi pukulan bagi
masyarakat. Negara kepulauan yang mayoritas wilayahnya adalah lautan harus
mengalami kekeringan. Kedepan pemerintah perlu merumuskan pembangunan strategis
guna penanggulangan kekeringan. Di negara maju seperti Amerika Serikat,
pembangunan sistem irigasi “Pintar” terus dilakukan. Air sisa dari irigasi
komersil dan perumahan tidak dibuang sia-sia, tetapi dilakukan pengolahan untuk
dapat dimanfaatkan ulang. Rencana pemerintah Indonesia yang akan membangun
waduk dibeberapa daerah memang patut diapresiasi untuk penampungan air sehingga
dapat dimanfaatkan saat musim kemarau panjang.
Selain pembangunan strategis untuk penanggulangan dan
antisipasi kekeringan, seluruh masyarakat juga bertanggung jawab atas kekayaan
air Indonesia. Kampaye hemat air perlu terus disuarakan. Hal tersebut dapat
dilakukan pada fasilitas umum seperti Masjid, perkantoran dan pusat
perbelanjaan dengan menempatkan slogan “Hemat Air” dikamar mandi (rest room) atau tempat wudhu.
Bagaimanapun, air adalah masa depan bagi generasi kita dan penerus. Kekeringan
kali ini adalah pelajaran berharga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar