Oleh: Ali Thaufan DS
Para pakar ekonomi mendefinisikan keberhasilan ekonomi
sebuah pemerintah dengan bermacam-macam perbedaan. Indikator keberhasilannya
pun terkadang berbeda satu dengan yang lain. Demikian kiranya yang terjadi di
Indonesia. Menyikapi paket kebijakan ekonomi yang digulirkan pemerintah untuk
mendorong kesejahteraan, banyak alternatif yang menjadi pilihan dan ditawarkan.
Namun demikian, kebijakan yang diambil terkadang meleset, dikritik hingga
dianggap kebijakan keliru. Inilah suasana perekonomian yang sedang merundung
pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla pada semester pertama. Banyak pihak yang
meresa tak puas dengan keadaan perekonomian, terutama menyangkut instabilitas
harga-harga kebutuhan pokok. Tulisan ini berupaya mencermati semester pertama
kerja pemerintah, terutama dibidang ekonomi.
Beberapa lembaga survei seperti Poltracking Indonesia dan
Litbang Kompas melakukan survei terhadap kepuasan kinerja pemerintah terkait kebijakan ekonomi. Hasilnya,
responden –yang dalam hal ini penulis anggap sebagai wakil dari masyarakat-
menyatakan ketidakpuasannya terhadap kebijakan pemerintah dibidang ekonomi.
Pada survei Poltracking, sebanyak 66 persen tidak puas atas kebijakan ekonomi
pemerintah. Demikian dengan Litbang Kompas, 79,2 persen responden menyatakan
tak puas.
Wajar bila masyarakat menyatakan ketidakpuasannya.
Pasalnya, sejak memerintah pada enam bulan pertama, pemerintah banyak
mengeluarkan kebijkan ekonomi yang “membingungkan” masyarakat, tidak populer.
Dalam konteks ini, penulis menyoroti kebijakan naik-turunnya harga bahan bakar
minyak (BBM) bersubsidi yang mempunyai implikasi signifikan bagi masyarakat,
terutama masyarakat miskin, serta beberapa kebijakan lainnya.
Apapun alasan logis pemerintah dalam menaik dan menurunkan
harga BBM bersubsidi tentu menimbulkan pertanyaan tak berkesudahan. Ini
diakibatkan penaikan yang dilakukan dalam kurun waktu yang sangat dekat,
singkat. Kenaikan dari harga BBM bersubsidi tersebut memberi efek domino pada
kenaikan harga kebutuhan bahan pokok lain serta transportasi.
Janji-janji atasi ketimpangan sosial dan menyejahterakan
rakyat yang digaungkan pemerintah tidak cukup menyembuhkan luka akibat kenaikan
harga-harga seperti di atas. Pemberian macam-macam kartu sebagai ganti dan solusi
yang dapat dicairkan dalam bentuk uang dianggap sebagai kebijakan ngawur. Pemberian tersebut bukan solusi
menekan angka kemiskinan, malah justru menambah. Hal ini terkonfirmasi pula
dari pernyataan badan pusat statistik (BPS) yang mengungkapkan meningkatnya
jumlah penduduk miskin. Memang, jika menggunakan salah satu indikator rakyat
miskin yakni penghasalian dibawah 600.000, maka saat ini masih banyak didapati
dipelosok negeri.
Jika ditilik kembali isi dari Nawa Cita yang menjadi
cita-cita pemerintah rasanya amat jauh dengan realistas kekinian yang terjadi.
Upaya mewujudkan janji kemandirian ekonomi tampaknya menemui keraguan. Ini
ekses dari lawatan ke luar negeri Presiden yang kemudian membawa buah tangan banyaknya investor asing
yang akan berinvestasi. Jika jumlah mereka tidak dibatasi, maka perlahan tapi
pasti penguasaan sentral-sentral usaha akan dikuasai asing. Dan, masyarakat
Indonesia akan menjadi buruh di rumah sendiri. Pemerintah wajib mengatur
regulasi yang menguntungkan bagi kesejahteraan rakyat jika harus membuka lebar
ruang bagi investor.
Dalam hal ketahanan pangan, pemerintah masih belum
mekaksimalkan progam tersebut. Pasalnya impor berbagai kebutuhan bahan pokok
tetap sulit dihindari. Alih-alih
memaksimalkan potensi petani, pemerintah justru terlibat “kisruh” pupuk
bersubsidi. Kinerja pemerintah daerah –khususnya penghasil padi- dianggap
lemah. Tidak ada perhatian terkait luas area pesawahan secara kongkrit. Hal ini
kemudian menyulitkan distribusi pupuk bagi para petani. Kisruh seputar volume
pupuk yang dibutuhkan pada suatu daerah tertentu tak bisa dihindari.
Memang, rasanya kurang elok
jika menilai pemerintah gagal karena pemerintah sendiri belum purna dalam
tugasnya. Meski demikian hal tersebut tidak lantas menyulutkan para kritikus
untuk mengawasi kinerja pemerintah. Kedepan, pemerintah harus kembali pada
janji dan komitmen penyejahteraan rakyatnya. Perlu kiranya melakukan kebijakan
yang pro-rakyat sehingga mengembalikan kepercayaan masyarakat. Pemerintah
jangan lagi umbar janji. Cukup saat pemilihan presiden lalu. Janji-janji tersebut
kini mendesak untuk dilakukan.
Saya ucapkan kepada allah karna atas kehendaknya melalui Dana Ghaib KYAI WARA saya sekarang sudah bisa bisa buka toko sendiri dan bahkan saya berencara ingin buka bengkel mobil dan itu semua berkat bantuan KYAI WARA saya tidak perna menyanka kalau saya sudah bisa sukses ini atas bantuan KYAI WARA yang telah bantu saya Dana Ghaib dan alhamdulillah itu semuaya terbukti bahkan beliau juga membantu saya minyak penarik kepada saya dan katanya minyak ini bisa digunakan untuk berbagai jenis keperluan dan baru kali ini saya temukan paranormal yang bisa dipercaya bagi teman teman yang ingin dibantu untuk dikasi nomor yang benar benar terbukti siapa tau ada teman mau di bantu dana ghaib dan kepengen ingin membeli minyak penarik silahkan hubungi KYAI WARA di 0852 1031 3985.
BalasHapus