Oleh: Ali Thaufan DS
Penghujung bulan Mei 2015 ini, Indonesia dibuat “geger”
soal beredarnya dugaan beras palsu dan terungkapnya peredaran ijazah palsu di perguruan
tinggi. Masyarakat dibuat gelisah dengan beredarnya beras yang diduga terbuat
dari bahan plastik. Tentu saja, memakannya akan menyebabkan “kematian” penulis
menyebut pengedar beras palsu sebagai penjahat pembunuh masal. Betapa tidak,
beras merupakan makanan pokok yang dikonsumsi oleh jutaan rakyat Indonesia. Jika
didalamnya disisipkan “racun”, ini artinya pembunuhan. Menyangkut ijazah palsu
yang terkuak, menunjukkan betapa lemahnya sistem pendidikan di negara ini,
sehingga ijazah saja dapat dipalsukan dan mudah dibeli. Tulisan ini berangkat
dari maraknya pemberitaan seputar beras dan ijazah palsu yang dalam beberapa
waktu sempat menghiasi media cetak dan elektronik.
Beberapa waktu lalu, sempat berhembus kabar temuan beras
palsu di Kota Bekasi dan Depok. Temuan tersebut menyita perhatian pemerintah. Bagaimana
mungkin, beras yang tumbuh dari padi tetapi didalamnya terdapat kandungan
plastik yang membahayakan konsumennya. Pemerintah segera membuktikan kebenaran
beras plastik tersebut dengan melibatkan beberapa unsur terkait. Hasilnya,
beras yang diduga palsu tersebut tak terbukti palsu. Tetapi, ibarat nasi telah “gosong”,
kabar beredarnya beras palsu tersebut telah membuat pasar lesu. Ketakutan para
pembeli beras menjadi-jadi lantaran pemberitaan beras palsu centre
dikabarkan media, terlebih ditelevisi.
Selain beras palsu, ada pula kabar terbongkarnya perguruan
tinggi “abal-abal” yang menjual ijazah palsu. Kabar tersebut semakin
menghebohkan karena pembeli ijazah palsu tersebut dari kalangan pejabat, bahkan
penegak hukum. Jual-beli ijazah merupakan kejahatan akademis yang tidak bisa
ditolelir. Kecemburuan tentu saja dirasakan para akademisi yang berjibaku
bertahun-tahun merampungkan pendidikannya. Terlebih bagi mereka yang hampir drop
out (DO). Wajah pendidikan semakin buram atas kabar tersebut. Hal ini
semakin diperparah bahwa ijazah palsu juga banyak dimiliki pejabat yang duduk
di pemerintahan, baik dari tingkat desa hingga pusat. Tentu, keadaan tersebut
memunculkan pertanyaan, bagaimana proses verifikasi pencalonan pejabat
tersebut, jika ijazah palsu saja bisa lolos? Aksi menuntut diungkapnya pejabat
berijazah palsu pun menyeruak diberbagai daerah.
Dua kabar di atas –baik beras dan ijazah palsu- paling
tidak dapat menjadi pintu awal membuka borok kepalsuan di banyak sektor negara
ini. Sebetulnya, soal kepalsuan di Indonesia bukan hal baru. Banyak sekali
produk-produk palsu dan “bajakan” yang beredar dipasaran mulai dari kaset, VCD,
pakaian dan sebagainya. Tetapi, entah bagaimana kepalsuan tersebut nyatanya
membuat masyarakat tenang (mohon maaf), nyaman-nyaman saja menggunakan produk
palsu tersebut. Apa budaya Indonesia hari ini adalah budaya “kepalsuan”? Mulai
dari Janji kampanye: palsu, janji penegakan hukum: palsu, janji kesejahteraan:
palsu, janji bisnis (investasi): palsu, dan masih banyak lain yang lainnya.
Pertanyaannya kemudian, sampai kapan masyarakat ini dalam
kepalsuan? Ini bukan persoalan remah. Juga bukan persoalan yang mudah
dibereskan. Tetapi, negara tidak boleh
kalah oleh kepalsuan. Negara juga tidak boleh larut dalam kepalsuan yang selama
ini tak terasa karena membudaya serta menjadi “candu” kebersamaan. Masalah ini
patut segera diselesaikan, tentu dengan kesadaran bersama. Terkhusus untuk
peredaran ijazah palsu, pemerintah harus segera ambil tindakan. Keadaan ini
tidak bisa dibiarkan begitu saja, karena hal ini menyangkut moral dan martabat
pemangku jabatan publik.