Kamis, 15 Januari 2015

Nafsu Menguasai Negara (Refleksi Pencalonan Kapolri Berstatus Tersangka)

Oleh: Ali Thaufan DS

Pada awal tahun 2015, bulan Januari ini Indonesia dikejutkan dengan berbagai kejadian luar biasa, penurunan harga BBM, pencarian korban jatuhnya Pesawat AirAsia, dan paling “hot” calon Kapolri Budi Gunawan yang menjadi tersangka KPK. Sebelumnya, energi pemberitaan media tersedot oleh berita hilangnya pesawat AirAsia. Kini berita tersebut bergeser seputar calon Kapolri Budi Gunawan yang menjadi tersangka. Hampir seluruh surat kabar dan media elektronik larut dalam pemberitaan tersebut.

Beragam argumentasi mengemuka untuk tetap melanjutkan proses pengangkatan Budi sebagai Kapolri. Pendapat pro dan kontra sulit dihindari. Mereka yang pro terhadap pengangkatan Budi bersikukuh bahwa Budi tidak memiliki masalah yang menyebabkan menjadi tersangka, rekening gendut. Budi telah bersih dari kasus dugaan kepemilikan rekening gendut. Hal ini didasarkan pada surat rekomendasi dari Kompolnas. Surat tersebut menyatakan bahwa kepemilikan rekening Budi masih dalam batas wajar.

Sementara pihak yang menolak Budi menyampaikan argumentasi bahwa sangat tidak mungkin bila institusi penegak hukum di negara ini harus dipimpin oleh orang yang menyandang gelar tersangka KPK. Integritas penegak hukum untuk tetap menegakkan hukum akan diragukan. Dunia akan menertawai hukum di Indonesia. “Apakah di Indonesia ada hukum?”. Pengangkatan Kapolri yang berstatus tersangka akan menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat kepada Presiden Joko Widodo dalam urusan menegakkan hukum. Sejumlah kalangan baik yang mendukung Jokowi dalam pemilihan presiden lalu maupun tidak, mendesak agar Jokowi tidak melantik Kapolri yang bermasalah tersebut. Jokowi harus wise dalam persoalan ini, mendengarkan apsirasi rakyat ketimbang menuruti kelompok tertentu saja.

Polemik pencalonan Budi sebagai orang nomor satu di Polri setidaknya mengingatkan akan perseteruan antara Polri dan KPK beberapa tahun lalu. Dalam banyak hal, Polri dan KPK kerap terlibat perang urat saraf dan perseteruan. Penulis melihat adanya beberapa komponen yang saat ini terlibat dalam pusaran kasus pencalonan Budi, seperti Polri, KPK, DPR, Pemerintah (khususnya dalam hal ini Presiden) dan partai pendukung presiden Jokowi. Namun lebih dari itu, penulis juga mencermati indikasi apa yang penulis sebut dengan “nafsu menguasai negara”. Mengapa demikian? Masing-masing dalam setiap komponen beranggapan bahwa merekalah yang paling otoritatif untuk membawa kemajuan bagi Indonesia, tentu saja dengan hal-hal yang mereka lakukan.

Komponen Polri dan KPK misalnya, dua lembaga hukum yang ada di negara ini selalu berusaha untuk menciptakan keadilan dalam hukum. Mereka mempunyai otoritas di bidang hukum. Mereka menilai bahwa tegaknya hukum akan menjadikan bangsa ini sebagai bangsa yang bermartabat dan maju. Kemajuan sebuah bangsa mereka ukur dengan tegaknya hukum. Komponen DPR pun demikian. Sebagai wakil rakyat, mereka memegang mandat untuk menyuarakan setiap aspirasi yang lahir dari masyarakat. Oleh sebab itu, atas nama rakyat yang menjadi “slogan”, mereka membuat berbagai regulasi yang dianggap memenuhi kebutuhan rakyat. 

Selanjutnya adalah komponen pemerintah, yang dalam setiap pengambilan kebijakan seperti ekonomi, politik dalam maupun luar negeri, selalu membawa “embel-embel” untuk kesejahteraan dan kemajuan negara. Dengan berbagai dalih, segala kebijakan yang pada satu sisi dianggap merugikan masyarakat tetap akan dianggap sebagai progam yang mengakomodir kepentingan masyarakat dan negara. Tentu saja kebijakan pemerintah ini tidak terlepas dengan partai pendukungnya, partai yang tergabung dalam koalisi. Sehingga pada saat tertentu, pemerintah harus tersandera oleh kepentingan partai koalisi tersebut. Ruang gerak pemerintah –presiden, wakil presiden dan para menteri- tidak leluasa karena dipagari oleh otoritas partai pendukungnya. 

Penulis sampai pada sebuah simpulan bahwa para pemegang jabatan di negara ini merasa bahwa merekalah yang memiliki otoritas memajukan bangsa, dengan cara mereka. Nafsu mereka begitu terlihat dalam hal urusan kuasa-menguasai negara. Jabatan yang melekat pada mereka adalah sebuah “legitimasi” untuk melakukan upaya perubahan negara. Pada satu sisi, penulis melihat ini adalah tanggung jawab dan konsekuensi sebuah jabatan. Tetapi pada sisi lain, upaya-upaya yang mereka lakukan terkesan menunjukkan nafsu menguasai semata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar