Oleh: Ali Thaufan DS
Pada awal tahun 2015, bulan Januari ini
Indonesia dikejutkan dengan berbagai kejadian luar biasa, penurunan harga BBM,
pencarian korban jatuhnya Pesawat AirAsia, dan paling “hot” calon Kapolri Budi
Gunawan yang menjadi tersangka KPK. Sebelumnya, energi pemberitaan media
tersedot oleh berita hilangnya pesawat AirAsia. Kini berita tersebut bergeser
seputar calon Kapolri Budi Gunawan yang menjadi tersangka. Hampir seluruh surat
kabar dan media elektronik larut dalam pemberitaan tersebut.
Beragam argumentasi mengemuka untuk tetap
melanjutkan proses pengangkatan Budi sebagai Kapolri. Pendapat pro dan kontra sulit
dihindari. Mereka yang pro terhadap pengangkatan Budi bersikukuh bahwa Budi
tidak memiliki masalah yang menyebabkan menjadi tersangka, rekening gendut.
Budi telah bersih dari kasus dugaan kepemilikan rekening gendut. Hal ini
didasarkan pada surat rekomendasi dari Kompolnas. Surat tersebut menyatakan
bahwa kepemilikan rekening Budi masih dalam batas wajar.
Sementara pihak yang menolak Budi
menyampaikan argumentasi bahwa sangat tidak mungkin bila institusi penegak
hukum di negara ini harus dipimpin oleh orang yang menyandang gelar tersangka
KPK. Integritas penegak hukum untuk tetap menegakkan hukum akan diragukan.
Dunia akan menertawai hukum di Indonesia. “Apakah di Indonesia ada hukum?”. Pengangkatan
Kapolri yang berstatus tersangka akan menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat
kepada Presiden Joko Widodo dalam urusan menegakkan hukum. Sejumlah kalangan
baik yang mendukung Jokowi dalam pemilihan presiden lalu maupun tidak, mendesak
agar Jokowi tidak melantik Kapolri yang bermasalah tersebut. Jokowi harus wise dalam persoalan ini, mendengarkan
apsirasi rakyat ketimbang menuruti kelompok tertentu saja.
Polemik pencalonan Budi sebagai orang nomor
satu di Polri setidaknya mengingatkan akan perseteruan antara Polri dan KPK
beberapa tahun lalu. Dalam banyak hal, Polri dan KPK kerap terlibat perang urat
saraf dan perseteruan. Penulis melihat adanya beberapa komponen yang saat ini
terlibat dalam pusaran kasus pencalonan Budi, seperti Polri, KPK, DPR, Pemerintah
(khususnya dalam hal ini Presiden) dan partai pendukung presiden Jokowi. Namun
lebih dari itu, penulis juga mencermati indikasi apa yang penulis sebut dengan
“nafsu menguasai negara”. Mengapa demikian? Masing-masing dalam setiap komponen
beranggapan bahwa merekalah yang paling otoritatif untuk membawa kemajuan bagi
Indonesia, tentu saja dengan hal-hal yang mereka lakukan.
Komponen Polri dan KPK misalnya, dua lembaga
hukum yang ada di negara ini selalu berusaha untuk menciptakan keadilan dalam hukum.
Mereka mempunyai otoritas di bidang hukum. Mereka menilai bahwa tegaknya hukum
akan menjadikan bangsa ini sebagai bangsa yang bermartabat dan maju. Kemajuan
sebuah bangsa mereka ukur dengan tegaknya hukum. Komponen DPR pun demikian.
Sebagai wakil rakyat, mereka memegang mandat untuk menyuarakan setiap aspirasi yang
lahir dari masyarakat. Oleh sebab itu, atas nama rakyat yang menjadi “slogan”,
mereka membuat berbagai regulasi yang dianggap memenuhi kebutuhan rakyat.
Selanjutnya adalah komponen pemerintah, yang dalam
setiap pengambilan kebijakan seperti ekonomi, politik dalam maupun luar negeri,
selalu membawa “embel-embel” untuk kesejahteraan dan kemajuan negara. Dengan
berbagai dalih, segala kebijakan yang pada satu sisi dianggap merugikan
masyarakat tetap akan dianggap sebagai progam yang mengakomodir kepentingan masyarakat
dan negara. Tentu saja kebijakan pemerintah ini tidak terlepas dengan partai
pendukungnya, partai yang tergabung dalam koalisi. Sehingga pada saat tertentu,
pemerintah harus tersandera oleh kepentingan partai koalisi tersebut. Ruang
gerak pemerintah –presiden, wakil presiden dan para menteri- tidak leluasa
karena dipagari oleh otoritas partai pendukungnya.
Penulis sampai pada sebuah simpulan bahwa
para pemegang jabatan di negara ini merasa bahwa merekalah yang memiliki
otoritas memajukan bangsa, dengan cara mereka. Nafsu mereka begitu terlihat
dalam hal urusan kuasa-menguasai negara. Jabatan yang melekat pada mereka
adalah sebuah “legitimasi” untuk melakukan upaya perubahan negara. Pada satu
sisi, penulis melihat ini adalah tanggung jawab dan konsekuensi sebuah jabatan.
Tetapi pada sisi lain, upaya-upaya yang mereka lakukan terkesan menunjukkan nafsu
menguasai semata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar