Oleh:
Ali Thaufan DS
Semua
akan sepakat pada ungkapan “Masa depan bangsa ditangan mereka (siswa siswi anak-anak
kita)”. Mereka para siswa dan siswi akan meneruskan tongkot estafet perjalanan
bangsa Indonesia. Merekalah yang akan “memegang” kemudi Indonesia dikemudian
hari. Untuk itu, sepatutnya orang tua, guru dan pemerintah memerhatikan masa
depan mereka. Pembentukan karakter dan penanaman patriotisme, adalah satu
diantara banyaknya “PR” yang harus disampaikan kepada anak-anak. Tulisan ini
hadir dari pembacaan media yang memberitakan banyaknya kasus kekerasan terhadap
anak.
Pada
awal-awal pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, Indonesia dihadapkan dengan
persoalan yang sangat krusial, yakni kekerasan kepada anak. Kekerasan kepada
anak sudah sampai pada tingkat membahayakan. Kekerasan yang dilakukan kepada
anak laiknya perilaku zaman Jahiliyah dulu. Saat itu, orang tua yang tak
menghendaki lahirnya anak perempuan tak segan mengubur hidup-hidup. Anak perempuan
dianggap sebagai aib. Perilaku yang demikian kini terjadi pada zaman modern. Kekerasan
kepada anak, terutama perempuan memunculkan term baru, “Jahiliyah Modern”. Jika
dahulu anak perempuan yang lahir dikubur hidup-hidup, kini banyak anak
perempuan dijadikan pekerja seks komersil oleh orang tuanya. Bahkan muncul
sebuah “anekdot” yang menginterpretasikan ungkapan “banyak anak banyak rezeki,
karena anak dapat dipekerjakan”.
Pada
tahun 2014, Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat 480 kasus perdagangan
dan eksploitasi seksual anak. Dari kasus tersebut, 261 berhasil ditangani. Komnas
PA mencatat bahwa jenis pedagangan meliputi 155 perdagangan seksual; 83
pembantu rumah tangga; dan 23 adopsi illegal. Angka yang demikian banyak tentu
membuat para orang tua berhati-hati. Para guru harus lebih memperhatikan pola
pertemanan siswa-siswinya.
Beragam
faktor yang turut menyebabkan terjadinya perdangangan anak (Human Trafficking) tersebut. Diantara faktor
tersebut antara lain 123 kasus akibat ditipu melalui media sosial; 82 kasus karena
desakan ekonomi; 46 kasus kurang tahu; 6 kasus pengaruh gaya hidup; 4 kasus karena
faktor lain-lain. .(Jawa Pos 14/1/2015).
Jika
dilihat dari faktor yang menyebabkan terjadinya perdagangan, faktor paling
utama adalah penipuan melalui media sosial. Era keterbuakaan informasi yang
menghadirkan media sosial telah memberi banyak kemudahan dalam berbagai sektor.
Tetapi, pada saat yang sama, era tersebut juga menjadi “momok” mengerikan. Banyak
transaksi perdagangan anak dan pedagang seks komersil dijajakan melalui media sosial.
Melalui akun tertentu, perdagangan haram tersebut dilakukan. Pada tahun 2012,
Indonesia menempati urutan kedua terbesar sebagai negara yang banyak terjadi
perdagangan anak. Usia anak-anak pun relatif belia. Mereka dalam usia-usia anak
sekolah, sekitar 12 hingga 16 tahun.
Faktor
terbesar kedua adalah ekonomi. Ini adalah faktor yang memprihatinkan. Lantaran desakan
ekonomi, perdagangan anak dilakukan. Ditengah kebutuhan hidup yang tidak sepadan
dengan pengeluaran biaya hidup, cara-cara seperti ini lah yang dianggap menjadi
solusi. Dengan iming-iming rupiah, masa depan rela dikorbankan.
Jika
pada tahun 2012 negara sudah mendapat predikat maraknya perdagangan anak,
kemana negara selama ini? Mengapa anak-anak dan siswa siswi Indonesia terus
dibiarkan dalam jurang kehancuran? Pemerintah perlu ambil tindakan akan hal
ini. Pemerintah – dalam hal ini aparat yang berwenang- perlu melakukan deteksi terhadap
keberadaan situs-situs serta akun yang berbau pornografi di jejaring social /
media sosial. Para guru melalui kelas di sekolah harus memerhatikan pola
pergaulan para siswa. Perlu ditatamkan rasa tanggung jawab kepada diri sendiri,
keluarga, masyarakat dan bangsa. Bagi orang tua, sebagai tempat pendidikan
utama, setiap pergaulan anak harus dikuasai. Perlu dilakukan pengecekan
terhadap smartphone yang sehari-hari digunakan si anak. Jika perlu, batasi
akses internet yang ada di rumah.
Melalui
sistem pencegahan semacam ini, diharapkan turun mengentaskan persoalan
Indonesia darurat kekerasan pada anak. Data kasus di atas setidaknya menjadi
bahan renungan untuk secara kolektif meminimalisir kasus perdagangan anak. Orang
tua, guru dan pemerintah harus memerhatikan kasusu kekerasan pada anak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar