Selasa, 13 Januari 2015

Indonesia Darurat Kekerasan Anak, Kemana Negara?

Oleh: Ali Thaufan DS
 
Semua akan sepakat pada ungkapan “Masa depan bangsa ditangan mereka (siswa siswi anak-anak kita)”. Mereka para siswa dan siswi akan meneruskan tongkot estafet perjalanan bangsa Indonesia. Merekalah yang akan “memegang” kemudi Indonesia dikemudian hari. Untuk itu, sepatutnya orang tua, guru dan pemerintah memerhatikan masa depan mereka. Pembentukan karakter dan penanaman patriotisme, adalah satu diantara banyaknya “PR” yang harus disampaikan kepada anak-anak. Tulisan ini hadir dari pembacaan media yang memberitakan banyaknya kasus kekerasan terhadap anak.

Pada awal-awal pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, Indonesia dihadapkan dengan persoalan yang sangat krusial, yakni kekerasan kepada anak. Kekerasan kepada anak sudah sampai pada tingkat membahayakan. Kekerasan yang dilakukan kepada anak laiknya perilaku zaman Jahiliyah dulu. Saat itu, orang tua yang tak menghendaki lahirnya anak perempuan tak segan mengubur hidup-hidup. Anak perempuan dianggap sebagai aib. Perilaku yang demikian kini terjadi pada zaman modern. Kekerasan kepada anak, terutama perempuan memunculkan term baru, “Jahiliyah Modern”. Jika dahulu anak perempuan yang lahir dikubur hidup-hidup, kini banyak anak perempuan dijadikan pekerja seks komersil oleh orang tuanya. Bahkan muncul sebuah “anekdot” yang menginterpretasikan ungkapan “banyak anak banyak rezeki, karena anak dapat dipekerjakan”. 

Pada tahun 2014, Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat 480 kasus perdagangan dan eksploitasi seksual anak. Dari kasus tersebut, 261 berhasil ditangani. Komnas PA mencatat bahwa jenis pedagangan meliputi 155 perdagangan seksual; 83 pembantu rumah tangga; dan 23 adopsi illegal. Angka yang demikian banyak tentu membuat para orang tua berhati-hati. Para guru harus lebih memperhatikan pola pertemanan siswa-siswinya. 

Beragam faktor yang turut menyebabkan terjadinya perdangangan anak (Human Trafficking) tersebut. Diantara faktor tersebut antara lain 123 kasus akibat ditipu melalui media sosial; 82 kasus karena desakan ekonomi; 46 kasus kurang tahu; 6 kasus pengaruh gaya hidup; 4 kasus karena faktor lain-lain. .(Jawa Pos 14/1/2015). 

Jika dilihat dari faktor yang menyebabkan terjadinya perdagangan, faktor paling utama adalah penipuan melalui media sosial. Era keterbuakaan informasi yang menghadirkan media sosial telah memberi banyak kemudahan dalam berbagai sektor. Tetapi, pada saat yang sama, era tersebut juga menjadi “momok” mengerikan. Banyak transaksi perdagangan anak dan pedagang seks komersil dijajakan melalui media sosial. Melalui akun tertentu, perdagangan haram tersebut dilakukan. Pada tahun 2012, Indonesia menempati urutan kedua terbesar sebagai negara yang banyak terjadi perdagangan anak. Usia anak-anak pun relatif belia. Mereka dalam usia-usia anak sekolah, sekitar 12 hingga 16 tahun.

Faktor terbesar kedua adalah ekonomi. Ini adalah faktor yang memprihatinkan. Lantaran desakan ekonomi, perdagangan anak dilakukan. Ditengah kebutuhan hidup yang tidak sepadan dengan pengeluaran biaya hidup, cara-cara seperti ini lah yang dianggap menjadi solusi. Dengan iming-iming rupiah, masa depan rela dikorbankan. 

Jika pada tahun 2012 negara sudah mendapat predikat maraknya perdagangan anak, kemana negara selama ini? Mengapa anak-anak dan siswa siswi Indonesia terus dibiarkan dalam jurang kehancuran? Pemerintah perlu ambil tindakan akan hal ini. Pemerintah – dalam hal ini aparat yang berwenang- perlu melakukan deteksi terhadap keberadaan situs-situs serta akun yang berbau pornografi di jejaring social / media sosial. Para guru melalui kelas di sekolah harus memerhatikan pola pergaulan para siswa. Perlu ditatamkan rasa tanggung jawab kepada diri sendiri, keluarga, masyarakat dan bangsa. Bagi orang tua, sebagai tempat pendidikan utama, setiap pergaulan anak harus dikuasai. Perlu dilakukan pengecekan terhadap smartphone yang sehari-hari digunakan si anak. Jika perlu, batasi akses internet yang ada di rumah. 

Melalui sistem pencegahan semacam ini, diharapkan turun mengentaskan persoalan Indonesia darurat kekerasan pada anak. Data kasus di atas setidaknya menjadi bahan renungan untuk secara kolektif meminimalisir kasus perdagangan anak. Orang tua, guru dan pemerintah harus memerhatikan kasusu kekerasan pada anak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar