Oleh:
Ali Thaufan DS
Pada
awal pemerintahan presiden Joko Widodo dan wakil presiden Jusuf Kalla, ada
beberapa hal baru terkait kebijakan pemerintah yang mungkin menjadi topik utama
perbincangan dan bisa dirasakan. Kebijakan yang cukup kontroversi adalah
penaikan harga subsidi BBM. Sementara itu, ada juga kebijakan yang cukup “populer”,
yakni pembakaran kapal nelayan asing yang dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan
Perikanan dan rencana hukum mati bagi terpidana kasus narkoba. Harapan masyarakat
adalah agar pemerintahan kedepan lebih baik. Gebrakan yang dilakukan
diawal-awal pemerintahan Jokowi –meski tak luput dari kritik- adalah sinyal
optimisme menuju kebaikan Indonesia Raya.
Tulisan
ini hadir dari pembacaan media massa atas berbagai harapan dan kepercayaan terhadap
pemerintah serta beberapa keraguan yang muncul. Diantara keraguan itu adalah
keputusan Jokowi mengangkat Jaksa Agung dari kalangan politisi serta pembebasan
bersyarat pembunuh Munir, Pollycarpus Budhihari Priyanto. Dua keputusan itu dianggap
“membuyarkan” harapan masyarakat atas komitmen Jokowi dalam urusan penegakan
hukum.
Harian
Kompas merilis hasil jajak pendapat yang dilakukan pada 27-29 Desember 2014. Hasilnya
menunjukkan bahwa publik sangat percaya pemerintahan Jokowi-JK akan
menghadirkan banyak perubahan. Komitmen Jokowi yang akan memberantas korupsi
tanpa pandang bulu sangat mendapat kepercayaan dari publik. Sebanyak 77,8 persen
responden menjawab yakin, 20 persen tidak yakin dan 1,9 persen tidak tahu
(Kompas 5/1/2015). Sebelumnya pada 30 Desember 2014, Kompas juga merilis hasil
jajak pendapat bahwa harapan terbesar publik terhadap Jokowi adalah memberantas
korupsi.
Setidaknya
hasil jajak pendapat tersebut di atas membuktikan bagaimana publik terlanjur
percaya dan menaruh harapan terdahap komitmen pemerintahan Jokowi untuk
menegakkan hukum secara adil, tegas tidak pandang bulu. Masyarakat wajib
mengawal setiap kebijakan menyangkut persoalan hukum. Namun, keraguan atas
komitmen Jokowi dalam urusan hukum muncul dengan sendirinya. Setidaknya hal ini
ditandai dengan pengangkatan Jaksa Agung Prasetyo yang juga politisi partai
Nasdem dan pembebesan pembunuh Munir.
Seperti
diketahui, setiap politisi yang memegang jabatan sebagai aparat penegak hukum
tidak mungkin terlepas dari kepentingan politis dan partai politiknya. Amat sangat
sulit untuk lepas dari ikatan-ikatan kepartaian dan kekerabatan dengan rekan
separtai. Hal ini setidaknya terbukti dengan terkuaknya kasus hakim Mahkamah
Konstitusi, Akil Mukhtar. Sebelumnya, akil adalah politisi partai Golkar,
sebelum menjadi hakim MK. Fakta Akil tersebut yang kemudian memunculkan
keberatan mayoritas pengamat hukum saat keputusan Jokowi mengangkat Jaksa Agung
dari kalangan politisi. Berbagai stigma justru dialamatkan kepada Jokowi atas
pengangkatan Prasetyo. Jokowi dianggap mengamankan kasus-kasus hukum yang
seharusnya “dieksekusi”.
Keraguan
atas komitmen Jokowi dalam penegakan hukum juga muncul saat pembebaskan secara
bersyarat pembunuh Munir. Meski pemerintah berdalih bahwa seharusnya pembunuh Munir
dapat bebes tahun lalu, tetapi masyarakat tetap menilai keputusan tersebut
sebagai sesuatu yang disayangkan. Seperti disampaikan pada saat kampanye,
Jokowi-JK bersama pemerintah berkomitmen untuk menegakkan HAM. Tetapi sebaliknya,
pemerintah justru membebaskan pembunuh aktivis HAM.
Jokowi-JK
dalam tekanan kepercayaan. Pada satu sisi ia terlanjur dipercaya masyarakat
banyak untuk mampu menegakkan hukum. Pada sisi lainnya, ia tidak dapat lepas
dari “bayang-bayang politik” yang mengitarinya. Namun demikian, harapan akan komitmen
Jokowi dalam persoalan hukum tetaplah ada. Sebelumnya, Jokowi berencana akan mengeksekusi
hukuman mati bagi terpidana kasus narkoba. Hal ini yang secara tidak langsung
menunjukkan komitmen pemerintah untuk penegakan hukum secara adil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar