Senin, 05 Januari 2015

Jokowi-JK dibawah Tekanan Kepercayaan



Oleh: Ali Thaufan DS
 
Pada awal pemerintahan presiden Joko Widodo dan wakil presiden Jusuf Kalla, ada beberapa hal baru terkait kebijakan pemerintah yang mungkin menjadi topik utama perbincangan dan bisa dirasakan. Kebijakan yang cukup kontroversi adalah penaikan harga subsidi BBM. Sementara itu, ada juga kebijakan yang cukup “populer”, yakni pembakaran kapal nelayan asing yang dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan dan rencana hukum mati bagi terpidana kasus narkoba. Harapan masyarakat adalah agar pemerintahan kedepan lebih baik. Gebrakan yang dilakukan diawal-awal pemerintahan Jokowi –meski tak luput dari kritik- adalah sinyal optimisme menuju kebaikan Indonesia Raya.

Tulisan ini hadir dari pembacaan media massa atas berbagai harapan dan kepercayaan terhadap pemerintah serta beberapa keraguan yang muncul. Diantara keraguan itu adalah keputusan Jokowi mengangkat Jaksa Agung dari kalangan politisi serta pembebasan bersyarat pembunuh Munir, Pollycarpus Budhihari Priyanto. Dua keputusan itu dianggap “membuyarkan” harapan masyarakat atas komitmen Jokowi dalam urusan penegakan hukum.

Harian Kompas merilis hasil jajak pendapat yang dilakukan pada 27-29 Desember 2014. Hasilnya menunjukkan bahwa publik sangat percaya pemerintahan Jokowi-JK akan menghadirkan banyak perubahan. Komitmen Jokowi yang akan memberantas korupsi tanpa pandang bulu sangat mendapat kepercayaan dari publik. Sebanyak 77,8 persen responden menjawab yakin, 20 persen tidak yakin dan 1,9 persen tidak tahu (Kompas 5/1/2015). Sebelumnya pada 30 Desember 2014, Kompas juga merilis hasil jajak pendapat bahwa harapan terbesar publik terhadap Jokowi adalah memberantas korupsi.

Setidaknya hasil jajak pendapat tersebut di atas membuktikan bagaimana publik terlanjur percaya dan menaruh harapan terdahap komitmen pemerintahan Jokowi untuk menegakkan hukum secara adil, tegas tidak pandang bulu. Masyarakat wajib mengawal setiap kebijakan menyangkut persoalan hukum. Namun, keraguan atas komitmen Jokowi dalam urusan hukum muncul dengan sendirinya. Setidaknya hal ini ditandai dengan pengangkatan Jaksa Agung Prasetyo yang juga politisi partai Nasdem dan pembebesan pembunuh Munir.

Seperti diketahui, setiap politisi yang memegang jabatan sebagai aparat penegak hukum tidak mungkin terlepas dari kepentingan politis dan partai politiknya. Amat sangat sulit untuk lepas dari ikatan-ikatan kepartaian dan kekerabatan dengan rekan separtai. Hal ini setidaknya terbukti dengan terkuaknya kasus hakim Mahkamah Konstitusi, Akil Mukhtar. Sebelumnya, akil adalah politisi partai Golkar, sebelum menjadi hakim MK. Fakta Akil tersebut yang kemudian memunculkan keberatan mayoritas pengamat hukum saat keputusan Jokowi mengangkat Jaksa Agung dari kalangan politisi. Berbagai stigma justru dialamatkan kepada Jokowi atas pengangkatan Prasetyo. Jokowi dianggap mengamankan kasus-kasus hukum yang seharusnya “dieksekusi”.

Keraguan atas komitmen Jokowi dalam penegakan hukum juga muncul saat pembebaskan secara bersyarat pembunuh Munir. Meski pemerintah berdalih bahwa seharusnya pembunuh Munir dapat bebes tahun lalu, tetapi masyarakat tetap menilai keputusan tersebut sebagai sesuatu yang disayangkan. Seperti disampaikan pada saat kampanye, Jokowi-JK bersama pemerintah berkomitmen untuk menegakkan HAM. Tetapi sebaliknya, pemerintah justru membebaskan pembunuh aktivis HAM.

Jokowi-JK dalam tekanan kepercayaan. Pada satu sisi ia terlanjur dipercaya masyarakat banyak untuk mampu menegakkan hukum. Pada sisi lainnya, ia tidak dapat lepas dari “bayang-bayang politik” yang mengitarinya. Namun demikian, harapan akan komitmen Jokowi dalam persoalan hukum tetaplah ada. Sebelumnya, Jokowi berencana akan mengeksekusi hukuman mati bagi terpidana kasus narkoba. Hal ini yang secara tidak langsung menunjukkan komitmen pemerintah untuk penegakan hukum secara adil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar