Oleh: Ali Thaufan DS
Pada Januari 2015, Indonesia
digegerkan dengan perseteruan KPK dan Polri. Keduanya saling “tangkap” petinggi
di instansi tersebut. Sebetulnya perseteruan keduanya bukan baru sekarang,
tetapi juga beberapa tahun sebelumnya. Bahkan muncul istilah Cicak VS Buaya. Sebagian
pihak menyayangkan adanya oknum petinggi negara yang berusaha mengamputasi
kewenangan KPK dalam memberantas korupsi. Salah satunya adalah upaya memberedeli
para pimpinan KPK, dipolisikan. Tentu saja, ditangkapnya para pimpinan KPK oleh
polisi memunculkan spekulasi, yang pertama, polisi benar-benar memberedeli KPK
dengan tujuan melemahkan KPK. Kedua, KPK tidak betul-betul “bersih” sebagai
lembaga pemberantasan korupsi. Kuriositas para pengamat adalah ada apa dengan
KPK dan Polri?
Tulisan ini hadir dari
pembacaan berbagai pemberitaan yang sedang fokus mengulas perseteruan KPK dan
Polri. Sejatinya, baik KPK dan Polri sebagai lembaga penegak hukum, keduanya
sama-sama berkeinginan memberantas korupsi. Hanya saja, penulis mencermati
penegakan hukum yang dilakukan oleh keduanya, untuk saat ini tersandera unsur
politik.
Dalam beberapa tahun
terakhir, kasus korupsi terus meningkat. Hal ini didasarkan pada banyaknya
kasus korupsi yang terungkap oleh KPK, sekaligus laporan dugaan korupsi yang
dilaporkan kepada KPK. Atas banyaknya tersangka korupsi, muncul adagium bahwa
korupsi telah membudaya. Sehingga memberantasnya amat sangat sulit. Dalam buku
berjudul “Takdir” yang mengisahkan perjalanan perang pangeran Diponegoro, Peter
Carey mengulas terjadinya praktik korupsi pada masa itu, utamanya dilakukan pejabat
pemungut pajak. Jauh sebelumnya, beberapa sejarawan mencatat kasus korupsi pada
masa kerajaan seperti Majapahit dan kerajaan lainnya. (Kompas 28/1/2015).
Guna memberantas korupsi, negara
tidak tinggal diam. Dalam sejarah Indonesia, beberapa lembaga negara yang dibentuk
dan ditugaskan memberantas korupsi. Lembaga yang dibentuk adalah: Tim
Pemberantasan Korupsi (TPK) dibentuk pada tahun 1967; Komisi Anti Korupsi (KAK)
dibentuk tahun 1970; Komisi Empat dibentuk tahun 1970; Operasi Tertib (Opstib)
dibentuk tahun 1977; Tim Pemberantasan Korupsi (TKP) dibentuk tahun 1982; Komisi
Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) dibentuk tahun 1999; Tim Gabungan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) dibentuk tahun 1999; serta
terakhir Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk pada 2003. (Kompas
26/1/2015).
Sejarah Indonesia modern
juga mencatat beberapa kasus korupsi. Kasus korupsi pada orde lama antara lain pernah
menimpa Ishak Tjokrohadisurjo, politisi PNI atas dugaan kepemilikan barang
lebih dari wajar di dalam dan luar negeri. Kasus lain juga dialami Menteri Kehakiman
Jodi Gondokusumo (menjabat pada 1953-1955) atas dugaan menerima suap dari
pengusaha asal Hongkong. Kasus korupsi era erde lama juga menimpa partai Islam,
Masyumi. Salah satu politisi partai tersebut diduga melakukan tindak pidana
korupsi pada 28 Maret 1957. Pun demikian pada masa orde baru. Beberapa pejabat juga
tercatat berurusan dengan kasus korupsi. Meski pada masa orde baru dibentuk
lembaga anti korupsi, pola lembaga anti korupsi pada orde baru hanya memberi
masukan untuk pemberantasan korupsi. Pola yang digunakan bersifat preventif dan
represif.
Menilik kasus korupsi yang
banyak terjadi, penegak hukum yang menangani sejatinya bukan saja KPK, tetapi
juga kepolisian. Sangat disayangkan jika kedua lembaga penegak hukum terlibat
perseteruan. Masing-masing dari institusi tersebut harus dapat meredam konflik
yang dialami oleh beberapa petingginya, agar tidak larut dalam pusaran konflik.
Sinergi antarkeduanya dalam menegakkan hukum –memberantas korupsi- harus terus
dilakukan. Konflik KPK dengan Polri yang terjadi hanya akan membuat koruptor
tertawa; kasus-kasus yang sedang ditangani menjadi tertunda; serta memalukan
wajah hukum Indonesia. Dari sisi ekonomi, konflik ini dapat membuat enggan
investor melakukan investasi di Indonesia.