Oleh: Ali Thaufan DS
“Genderang perang” itu benar-benar ditabuh. Gugatan
pemilu yang diajukan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa ditolak MK, sebagaimana
diputuskan pada 21 Agustus 2014. Indonesia baru telah lahir dipimpin oleh Joko
Widodo-Jusuf Kalla. Suka cita dirasakan para pendukung atau simpatisan
Jokowi-JK. Pada saat yang sama, kegeraman menyelimuti otak, hati dan tubuh
pendukung Prabowo-Hatta. Peringatan HUT RI ke-69 lalu menjadi saksi ketegangan
politik yang mengancam disintegritas bangsa Indonesia.
Pilpres meninggalkan luka. Aroma oknum pengusik pada
pemerintahan Jokowi-JK pun semakin nyata. Mereka harus menghadapi barisan
koalisi merah putih (KMP) di DPR nantinya. Manuver KMP semakin nyata,
menunjukkan arogansi sahwat politik yang mengancam pemerintahan Jokowi-JK. Slogan
“siap kalah dan siap menang” lenyap dihembus angin. Akhir dari pesta demokrasi
bernama pilpres tersebut adalah “dendam pilpres”. Sungguh kebodohan politik
telah nyata.
Upaya nyata kubu yang kalah dilakukan dengan berbagai
cara, yakni: pembentukan pansus pemilu, revisi UU MD3 dan RUU Pemilu Kada. Tentu
saja upaya tersebut akan membuang-buang waktu, karena banyak UU penting lainnya
di DPR yang belum disahkan –semisal UU Keperawatan. Parpol yang tergabung dalam
KMP (Golkar, Gerindra, PAN, PPP, PKS dan Demokrat) ngotot untuk disahkannya
RUU pemilu kada. Salah satu yang menjadi perdebatan dalam RUU ini adalah bahwa
pemilu kada yang selama ini dilakukan secara langsung akan dikembalikan dengan
mekanisme pemilihan melalui DPRD.
Berbagai alasan partai yang menyetujui RUU pemilu kada
berdalih bahwa pilkada langsung hanyalah menghabiskan anggaran. Oleh karenanya
mereka menginginkan mekanisme pemilihan kepala daerah melalui DPRD dengan
alasan efisiensi. Partai yang menolak disahkannya RUU tersebut (PDIP, PKB dan
Hanura) berdalih bahwa pilkada adalah wadah menyalurkan aspirasi rakyat secara
langsung, yakni memilih pemimpin mereka secara langsung. Pemilihan kepala
daerah yang dipilih oleh DPRD hanya akan menguntungkan partai-partai koalisi
semata. Sungguh, disahkannya RUU pemilu kada hanya akan menjadi blunder
demokrasi Indonesia. Semakin nyata bahwa KMP bertujuan membawa model pemerintahan
ala orde baru. Kegagalan di pilpres lalu membuat partai-partai yang tergabung
dalam KMP terus berupaya berkuasa didaerah.
Berbagai spekulasi muncul atas ngototnya KMP
yang mendesak DPR mengesahkan RUU pemilu kada. “Skenario senyap” mulai
digerakkan oleh oknum KMP. Hal ini dapat dimaknai sebagai aksi “brutal” untuk mengusik
pemerintahan. Kekuasaan didaerah hanya akan dimonopoli oleh koalisi mereka
semata. KMP kehilangan spirit berdemokrasi. Dalam berbagai kesempatan, masih
terekam dalam ingatan publik, KMP berteriak lantang untuk menegakkan sistem
demokrasi karena sistem tersebut dianggap mengakomodir keinginan rakyat. Rakyat
dapat memilih pilihan mereka secara langsung. Sesuai dengan semangat “one
man one vote”. Usulan dan desakan pengesahan RUU pemilu kada oleh KMP telah
membuktikan bahwa pemahaman demokrasi para elit pun terlihat dangkal. Mereka manafikan
suara rakyat demi kolompoknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar