Oleh: Ali
Thaufan DS
Suka cita
datangnya bulan Ramadhan menjadi cerita menarik bagi seorang muslim. Ada banyak
hal yang bagi setiap muslim Indonesia menyisahkan cerita-cerita menarik itu.
Seakan telah menjadi “tradisi”, setiap Ramadhan terlebih menjelang Idul Fitri,
telah “memaksa” orang muslim untuk menyibukkan diri. Kesibukan seperti membeli
baju baru, menyiapkan kue-kua lebaran, antri untuk membeli tiket dan liburan
pulang kampung halaman, yang akrab disebut mudik. Tulisan ini hadir dari
“refleksi” liputan mudik yang penulis amati baik di televisi maupun surat kabar;
makanan ketupat yang menjadi bagian tak terpisah di meja makan saat lebaran;
serta pesta petasan yang memeriahkan meski membahayakan pada saat malam-malam bulan
Ramadhan.
Jauh sebelum
Ramadhan tiba, para pekerja yang bekerja diluar daerahnya (perantau) telah
merencanakan secara matang persiapan mudik. Kota-kota besar semisal Jakarta
tampak sepi ditinggal penghuninya yang mudik ke kampung halaman. Ada banyak proses
para pemudik yang bagi penulis, menarik untuk diamati. Tidak sedikit dari
mereka harus rela mengantri untuk membeli tiket angkutan umum (bus, kereta,
kapal, dan pesawat). Mereka yang tidak menggunakan angkutan umum mempersiapkan
kelaikan kendaraan pribadinya untuk persiapan mudik. Selain sarana kendaraan,
pemudik juga menyiapkan oleh-oleh yang beragam dari tanah perantauannya. Buah
tangan khas daerah menjadi pilihan. Pada saat yang sama, jasa pertukaran uang
pun menjadi buruan.
Antrian
panjang kendaraan menjadi pemandangan di musim mudik dan balik. Volume
kendaraan yang keluar dari Jakarta menuju berbagai daerah pun tidak sedikit. Puluhan
ribu kendaraan keluar dari Jakarta mengantarkan penumpangnya kembali menuju
Hari Fitri di kampung. Tampilan kendaraan pribadi tak seperti biasanya. Agar mampu
membawa kapasitas lebih, bagian atap mobil dilengkapi perangkat untuk menaruh
barang bawaan. Pun demikian dengan motor. Pemudik yang mengendarai motor
terkadang meninggalkan kesan “bahaya berkendara”. Kapasitas motor yang idel
untuk dua orang harus dipaksa menjadi empat. Himbauan aparat kepolisian agar
tidak mudik mengendarai motor pun dihindari. Alasannya cukup sederhada: demi
menghemat uang dan jarak tempuh lebih cepat dibanding menggunakan kendaraan
roda empat.
Tentu, ada
pertanyaan yang menarik melihat fenomena mudik, “Kenapa harus rela macet
dijalan?”. Oleh kebanyakan pemudik, hal tersebut –kemacetan- akan terobati karena
kangen kampung halaman yang terlampau besar. Sepanjang apapun macet di jalan
tidak menjadi halangan. Harga tiket kendaraan angkutan umum yang melonjak pun
tidak menjadi alas an untuk tidak mudik.
Ditengah suka
cita ber-Idul Fitri, salah satu makanan yang tidak akan ketinggalan adalah
ketupat. Makanan berbahan dasar beras yang dibungkus dengan daun kelapa muda
(janur) menjadi bagian integral dari Idul Fitri. Makanan penuh makna, simbol dari
pengakuan kesalahan. Sehingga di hari yang Fitri seorang muslim saling memberi maaf
pada muslim lainnya. Hal ini sangat berkaitan dengan Fitri, yakni kembali pada
fitrah manusia yang terlahir tanpa dosa.
Hampir
diberbagai daerah di Indonesia melakukan tradisi makan ketupat pada saat Idul
Fitri. Umumnya di beberapa daerah Jawa, terdapat acara tersendiri untuk
merayakan makan ketupat. Di Jombang misalnya, ada istilah “riyoyo kupat” (lebaran ketupat) yang diperingati hari ketujuh pasca
Idul Fitri. Warga berdondong-bondong ke langgar
(mushallah) membawa ketupat untuk kemudian bersantap bersama di teras langgar.
Hal lain
yang tak kalah men-tradisi-nya saat Idul Fitri adalah petasan. Orang Jombang
menyebut “mercon”, orang yang melakukan aktivitas atau menyalakan mercon di “merconan”.
Suara petasan oleh sebagian orang sangat mengganggu, tetapi oleh sebagain
lainnya suara itu menghibur. Orang yang terlanjur “ngefans” petasan tak segan
mengeluarkan rupiahnya demi merayakan Hari Fitri dengan kemeriahan petasan. Musim
lebaran tentu mendatangkan rezeki melimpah bagi penjual petasan. Tetapi harus
diakui bahwa petasan dapat mendatangkan musibah jika ceroboh dalam menyimpan
dan menyalakannya. Setiap kali musim lebaran, selalu saja terdapat korban
meninggal akibat petasan.
Mudik, ketupat
dan petasan sudah menjadi identitas Idul Fitri di Indonesia. Idul Fitri yang
tentu berbeda dengan negara-negara lainnya. Diatas tiga identitas tersebut di
atas, hal yang menjadi subtansi Idul Fitri adalah perubahan yang lebih baik
seorang muslim pasca hari Fitri. Busana baru yang dikenakan saat Idul Fitri
harus memperbarui prilaku dari tercela menjadi terpuji. Itulah hakikat dan
subtansi Idul Fitri.
Bogor, 4
Agustus 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar