Oleh: Ali Thaufan DS
“Genderang perang ditabuh”. Agaknya terlalu berlebihan jika
mengaggap pemilu presiden sebagai medan perang. Memang, kedua kubu pasangan
capres Prabowo dan Jokowi beradu strategi. Tetapi bukan strategi perang,
melainkan strategi meraup suara. Pemilihan presiden sejatinya untuk memilih
pemimpin baru yang lebih baik dari sebelumnya. Sungguh sangat sempit pikiran
orang yang beranggapan jika pemilu hanya bertujuan demi tegaknya demokrasi,
karena sesungguhnya demokrasi adalah alat.
Tanggal 9 Juli 2014 adalah hari bersejarah. Rakyat terpaksa
dan sukarela menjatuhkan pilihannya untuk memilih antara dua capres, Prabowo
dan Jokowi. Tetapi dari bersejarah bernama pilpres tersebut ternoda oleh adanya
oknum yang lepas tanggung jawab akan integritas bangsa. Beberapa oknum
bersembunyi dibalik masing-masing capres dan memberi atmosfir udara panas. Ibarat
mengipas bara, masing-masing juru bicara capres melontarkan pernyataan-pernyataan
yang kontra terhadap integritas bangsa. Sungguh memalukan. Hal ini kemudian diperparah
karena capres pun mengamini pernyataan tersebut. Memang, Kedua pasangan capres
juga memiliki tim-tim pemenang yang mempunyai kapasitas pada bidangnya. Tetapi hal
tersebut tidak menjamin bahwa komando dari tim pemenangan menjadi satu suara. Banyak
hal-hal dari para jurkam kedua capres yang saling kontradiksi. Kini, pilpres telah
berlalu. Tapi menyisahkan “se-Gunung” masalah bagi hakim Mahkamah Konstitusi (MK).
Hal ini dikarenakan pasangan capres-cawapres Prabowo-Hatta menggugat hasil
pilpres karena banyak terjadi kecurangan.
Tulisan ini hadir ditengah sidang gugatan pasangan
capres-cawapres Prabowo-Hatta yang tidak menerima hasil pilres dan menuntut
ulang pilpres. Fokus penulis adalah mencermati dan menganalisa komponen
pendukung di belakang Prabowo, yang memiliki sebab akibat terhadap pengambilan sikap
Prabowo. Data dan fakta penulis dapatkan melalui berbagai media sejak pasca
hitung cepat pilpres 9 Juli 2014 lalu hingga sidang gugatan MK berlangsung.
Pasca hitung cepat pilpes, masing-masing capres mengklaim
dirinya sebagai pemenang. Jokowi bersama JK dan ketua umum partai pengusung menggelar
jumpa pers terlebih dahulu. Lalu kemudian diikuti oleh Prabowo-Hatta. Pemirsa televisi
kebingunggan melihat beberapa lembaga survei yang saling berbeda hasilnya. Sebagian
memenangkan Jokowi dan sebagian lainnya memenangkan Prabowo. Sehingga muncul
ungkapan “Jokowi presiden televisi A” dan “Prabowo presiden televisi B”. Masing-masing
capres akhirnya harus legowo dengan hasil hitung cepat. Keduanya kemudian
sepakat untuk menunggu putusan komisi pemilihan umum (KPU).
Putusan KPU pun tiba waktunya dibacakan. Mata melihat dan
telinga mendengar. Rakyat akhirnya mengetahui siapa pemenang pilpres. Namun sayang
sekali pada proses ini, Prabowo menarik mundur saksinya yang berada di KPU. Ia menganggap
pilpres sarat kecurangan dan menuntut ulang. Ia bersikukuh sehingga ia harus
menempuh melalui siding MK.
Ada satu –dan tentu masih banyak- fenomena yang oleh penulis
menarik untuk dikaji pada pilpres ini, komponen pendukung Prabowo. Keberadaan komponen
tersebut tak terbantahkan akan memengaruhi pengambilan sikap Prabowo. Penulis mencermati
ada banyak benturan ide, gagasan, ideologi dan pastinya kepentingan di dalam
komponen pendukung Prabowo. Benturan-benturan tersebut terlihat cukup keras dan
berimplikasi pada memburuknya citra Prabowo. Banyak kesalahan-kesalahan fatal yang
ditimbulkan oleh jurkam Prabowo. Sebagai misal saat sebelum pilpres, adanya kontradisksi
dalam menanggapi suatu permasalah dan isu terkini. Sebagai contoh, Prabowo
berkomitmen terhadap pemberantasan korupsi. Tetapi salah satu jurkamnya menilai
bahwa KPK harus dihapuskan. Hal ini membuat gamang calon pemilih Prabowo.
Hal selanjutnya yang menjadi sorotan penulis saat ini adalah
bahwa tim pemenang Prabowo terkesan tidak
solid dan “canggih” dalam menghadapi situasi pasca pilpres, termasuk gugatan
pilpres di MK. Tim pemenangan Prabowo justru menggiring sosok Prabowo pada
hal-hal yang tidak seharusnya. Sebagai mantan Jenderal TNI, mantan menantu Presiden
dan Capres, tidak seharusnya diperlalukan seperti “ayam jago hendak diadu”. Penulis
menggunakan istilah ini didasari pada sebuah fakta rill lapangan. Prabowo turun langsung memimpin orasi di depan
gedung MK adalah salah satu contoh. Tidak semestinya hal tersebut dilakukan
Prabowo. Ia seharusnya memposisikan diri sebagai seorang capres yang berwibawa.
Prabowo bukan panglima yang sedang memimpin peperangan, ia juga bukan aktivis
laiknya pemimpin demonstran. Tentu, disini dapat dilihat bahwa komponen tim
pemenangan Prabowo tidak menimbang akibat sikap Prabowo. Dalam pidatonya di siding
MK, Prabowo justru merendahkan proses pemilu dan menyinggung buruknya proses
pemilu negara lain. Hal ini cerminan bahwa ia lemah dalam hubungan
international.
Pencapresan Prabowo juga menyisakan kesan “transaksi politik”
dan rapuhnya soliditas tim pemenangan. Ada kesan setengah hati yang dilakukan
partai koalisi pendukungnya. Hal ini dibuktikan dengan tidak solidnya elit
partai, karena dukungan mereka juga ditujukan pada capres lain, Jokowi. Orang-orang
yang setia mendampingi Prabowo sampai saat ini pun menunjukkan adanya apa yang
penulis sebut sebagai magic transaksi
politik. Mereka yang kerap mendampingi Prabowo adalah kalangan elit partai dan
pengusaha. Tim pemenang yang dipastikan memiliki think tank tidak tampil dimuka.
Diakhir tulisan ini, penulis menyampaikan bahwa Prabowo dalam
lingkaran yang tidak tepat. Penulis menggunakan term “lingkaran setan” sebagai
bentuk kekecewaan kepada Prabowo yang menunjukkan sikap tidak negarawan. Hal ini
dapat dipastikan pengaruh “ulah” tim pemenangan yang ada dibelakangnya. Tim pemenang
Prabowo terkesan memanfaatkan Prabowo semata. Memanfaatkan dalam arti luas,
segi financial, pengalaman di TNI dan profesinya sebagai pengusaha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar