Selasa, 12 Agustus 2014

Prabowo Dalam “Lingkaran Hitam” (Realita Politik Pasca Pencapresan Prabowo Subianto Pada Pilpres 2014)


Oleh: Ali Thaufan DS

“Genderang perang ditabuh”. Agaknya terlalu berlebihan jika mengaggap pemilu presiden sebagai medan perang. Memang, kedua kubu pasangan capres Prabowo dan Jokowi beradu strategi. Tetapi bukan strategi perang, melainkan strategi meraup suara. Pemilihan presiden sejatinya untuk memilih pemimpin baru yang lebih baik dari sebelumnya. Sungguh sangat sempit pikiran orang yang beranggapan jika pemilu hanya bertujuan demi tegaknya demokrasi, karena sesungguhnya demokrasi adalah alat.

Tanggal 9 Juli 2014 adalah hari bersejarah. Rakyat terpaksa dan sukarela menjatuhkan pilihannya untuk memilih antara dua capres, Prabowo dan Jokowi. Tetapi dari bersejarah bernama pilpres tersebut ternoda oleh adanya oknum yang lepas tanggung jawab akan integritas bangsa. Beberapa oknum bersembunyi dibalik masing-masing capres dan memberi atmosfir udara panas. Ibarat mengipas bara, masing-masing juru bicara capres melontarkan pernyataan-pernyataan yang kontra terhadap integritas bangsa. Sungguh memalukan. Hal ini kemudian diperparah karena capres pun mengamini pernyataan tersebut. Memang, Kedua pasangan capres juga memiliki tim-tim pemenang yang mempunyai kapasitas pada bidangnya. Tetapi hal tersebut tidak menjamin bahwa komando dari tim pemenangan menjadi satu suara. Banyak hal-hal dari para jurkam kedua capres yang saling kontradiksi. Kini, pilpres telah berlalu. Tapi menyisahkan “se-Gunung” masalah bagi hakim Mahkamah Konstitusi (MK). Hal ini dikarenakan pasangan capres-cawapres Prabowo-Hatta menggugat hasil pilpres karena banyak terjadi kecurangan.

Tulisan ini hadir ditengah sidang gugatan pasangan capres-cawapres Prabowo-Hatta yang tidak menerima hasil pilres dan menuntut ulang pilpres. Fokus penulis adalah mencermati dan menganalisa komponen pendukung di belakang Prabowo, yang memiliki sebab akibat terhadap pengambilan sikap Prabowo. Data dan fakta penulis dapatkan melalui berbagai media sejak pasca hitung cepat pilpres 9 Juli 2014 lalu hingga sidang gugatan MK berlangsung.

Pasca hitung cepat pilpes, masing-masing capres mengklaim dirinya sebagai pemenang. Jokowi bersama JK dan ketua umum partai pengusung menggelar jumpa pers terlebih dahulu. Lalu kemudian diikuti oleh Prabowo-Hatta. Pemirsa televisi kebingunggan melihat beberapa lembaga survei yang saling berbeda hasilnya. Sebagian memenangkan Jokowi dan sebagian lainnya memenangkan Prabowo. Sehingga muncul ungkapan “Jokowi presiden televisi A” dan “Prabowo presiden televisi B”. Masing-masing capres akhirnya harus legowo dengan hasil hitung cepat. Keduanya kemudian sepakat untuk menunggu putusan komisi pemilihan umum (KPU).

Putusan KPU pun tiba waktunya dibacakan. Mata melihat dan telinga mendengar. Rakyat akhirnya mengetahui siapa pemenang pilpres. Namun sayang sekali pada proses ini, Prabowo menarik mundur saksinya yang berada di KPU. Ia menganggap pilpres sarat kecurangan dan menuntut ulang. Ia bersikukuh sehingga ia harus menempuh melalui siding MK.

Ada satu –dan tentu masih banyak- fenomena yang oleh penulis menarik untuk dikaji pada pilpres ini, komponen pendukung Prabowo. Keberadaan komponen tersebut tak terbantahkan akan memengaruhi pengambilan sikap Prabowo. Penulis mencermati ada banyak benturan ide, gagasan, ideologi dan pastinya kepentingan di dalam komponen pendukung Prabowo. Benturan-benturan tersebut terlihat cukup keras dan berimplikasi pada memburuknya citra Prabowo. Banyak kesalahan-kesalahan fatal yang ditimbulkan oleh jurkam Prabowo. Sebagai misal saat sebelum pilpres, adanya kontradisksi dalam menanggapi suatu permasalah dan isu terkini. Sebagai contoh, Prabowo berkomitmen terhadap pemberantasan korupsi. Tetapi salah satu jurkamnya menilai bahwa KPK harus dihapuskan. Hal ini membuat gamang calon pemilih Prabowo.

Hal selanjutnya yang menjadi sorotan penulis saat ini adalah bahwa tim pemenang Prabowo terkesan  tidak solid dan “canggih” dalam menghadapi situasi pasca pilpres, termasuk gugatan pilpres di MK. Tim pemenangan Prabowo justru menggiring sosok Prabowo pada hal-hal yang tidak seharusnya. Sebagai mantan Jenderal TNI, mantan menantu Presiden dan Capres, tidak seharusnya diperlalukan seperti “ayam jago hendak diadu”. Penulis menggunakan istilah ini didasari pada sebuah fakta rill lapangan. Prabowo turun langsung memimpin orasi di depan gedung MK adalah salah satu contoh. Tidak semestinya hal tersebut dilakukan Prabowo. Ia seharusnya memposisikan diri sebagai seorang capres yang berwibawa. Prabowo bukan panglima yang sedang memimpin peperangan, ia juga bukan aktivis laiknya pemimpin demonstran. Tentu, disini dapat dilihat bahwa komponen tim pemenangan Prabowo tidak menimbang akibat sikap Prabowo. Dalam pidatonya di siding MK, Prabowo justru merendahkan proses pemilu dan menyinggung buruknya proses pemilu negara lain. Hal ini cerminan bahwa ia lemah dalam hubungan international.

Pencapresan Prabowo juga menyisakan kesan “transaksi politik” dan rapuhnya soliditas tim pemenangan. Ada kesan setengah hati yang dilakukan partai koalisi pendukungnya. Hal ini dibuktikan dengan tidak solidnya elit partai, karena dukungan mereka juga ditujukan pada capres lain, Jokowi. Orang-orang yang setia mendampingi Prabowo sampai saat ini pun menunjukkan adanya apa yang penulis sebut sebagai magic transaksi politik. Mereka yang kerap mendampingi Prabowo adalah kalangan elit partai dan pengusaha. Tim pemenang yang dipastikan memiliki think tank tidak tampil dimuka.

Diakhir tulisan ini, penulis menyampaikan bahwa Prabowo dalam lingkaran yang tidak tepat. Penulis menggunakan term “lingkaran setan” sebagai bentuk kekecewaan kepada Prabowo yang menunjukkan sikap tidak negarawan. Hal ini dapat dipastikan pengaruh “ulah” tim pemenangan yang ada dibelakangnya. Tim pemenang Prabowo terkesan memanfaatkan Prabowo semata. Memanfaatkan dalam arti luas, segi financial, pengalaman di TNI dan profesinya sebagai pengusaha.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar