Sabtu, 23 Februari 2013

Lari, Berebut Kursi (Sebuah Catatan Potret Transportasi Negeri ini)


Oleh: Ali Topan DS

Pagi ini untuk pertama kalinya saya (selanjutnya penulis) menggunakan angkutan umum menuju Bogor. Sejak pukul 06.00, penulis bersiap berangkat dari Ciputat menuju Pasar Jum’at. Sesampainya di Pasar Jum’at, penulis melihat pemandangan pagi yang penuh keramaian. Ramai kendaraan mobil, angkutan umum dan warga yang hendak menggunakan jasa angkutan umum. Ditambah lagi pengendara motor yang menjadi “bumbu” pemandangan aktivitas Jakarta pagi ini.

Sambil berdiri menatapi suasana riuh Pasar Jum’at, penulis bertanya-tanya dalam hati “Ya, Allah ternyata seperti ini tho suasananya kalo pagi”. Maklum, karena pertama kali ini hendak menggunakan angutan umum menuju Bogor, terlebih saat pagi. Begitu “dahsyatnya” arus kendaraan dari arah Tangerang Selatan menuju Jakarta. Luar biasa banyaknya. Konon sebuah media massa pernah memberitakan bahwa setiap hari kurang lebih 400.000 ribu orang yang datang ke Jakarta dari arah Depok dan Tangerang Selatan. Belum lagi arah Bekasi. Tidak bisa dibayangkan aktivitas masih sangat tersentralisasi di Ibu Kota, Jakarta. Betapa Jakarta penuh dengan bunyi mesin mobil dan motor saat pagi.

Hal yang menjadi cacatan penulis adalah, pagi ini beberapa kali melihat orang berlari mengejar angkutan umum baik Metro Mini atau sejenisnya. Padahal hal tersebut sangat membahayakan, karena orang tersebut harus menantang maut berhadapan dengan kendaraan yang sedang melaju. Penulis berpikir, apakah mereka berlari karena terlambat?. Bisa jadi demikian, tetapi juga tidak. Apakah meraka berlari karena takut tertinggal angkutan?, pun juga tidak. Karena penulis berpikir bahwa masih banyak angkutan dibelakangnya, tanpa mengejar, mereka masih akan mendapatkan angkutan selanjutnya. Pertanyaan di atas inilah yang muncul dalam benak penulis, dan penulis mencoba menjawabnya sendiri.

Karena tidak puas dengan jawaban sendiri, penulis mendekati tukang jual keliling (asongan) dan bertanya “Mas, tuh orang knapa pada lari-larian?, kan masih banyak mobil yang lain”. Dengan nada datar ia menjawab “lagi telat kali bang”. Jawaban yang dilontarkan sama dengan apa yang ada dalam benak penulis. Penulis bertanya lagi, “Masa semua telat mas?”. “Ya, mungkin takut kehabisan angotnya kali bang”. Jawaban ini juga sama seperti apa yang ada dalam benak penulis. Lalu, penulis menghampiri perempuan setenga baya dan bertanya “maaf bu, tuh orang yang lari kenapa ya bu?”. Biasanya sih dek, saya juga sering lari-lari kecil gtu, supaya dapat kursi duduk”, jawab perempuan itu. Jawaban terakhir ini yang belum terpikirkan penulis. “Oh, gitu ya bu” lanjut penulis. “Iya dek, habis saya capek klo berdiri, desek-desekan lagi, kan bahaya juga buat keamanan kan”, lanjut si perempuan. “Betul bu, coba angkutan umum kita banyak dan layak, mereka gak usah lari-lari ya bu, kan bahaya juga tuh. Tuh kan, ada yang hampir keserempet motor”, cetus penulis sambil menunjuk orang yang lari di tengah jalan dan hampir tertabrak motor.

Memang, pemandangan ini sering penulis jumpai hampir di setiap terminal. Tetapi tidak di tepi, trotoar, atau bahkan jalan sekalipun. Hal ini cukup berbahaya bagi keselamatan pengguna jalan. Sudah saatnya kita berbenah dan merevitalisasi sarana angkutan umum. Memang, beberapa langkah nyata yang diambil Gubernur DKI Jakarta, Jokowi untuk kenyamanan berangkutan umum sudah terealisasi. Dengan menambah angkutan daerah perbatasan yang terintegrasi transjakarta atau yang populer dengan bus APTB (Angkutan Perbatasan Terintegrasi Bus TransJakarta). Meski demikian, hal itu dirasa belum maksimal. Ketidakmaksimalan tersebut juga kerap muncul akibat nothing trust pengguna angkutan umum karena seringnya terjadi tindak kejahatan. Tentu saja kita berharap agar kedepan, angkutan kita menjadi angkutan yang layak, memberi kenyamanan bagi penggunanya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar