Oleh: Ali Topan DS
Hari ini saya (selanjutnya
penulis) sedang melakukan perjalanan menuju Kota Kembang, Bandung. Saat di Bus
Primajasa jurusan Bandung-Lebak Bulus, penulis duduk disamping pria, kira-kira
usianya 35-40 tahun. Sebelum duduk penulis bertanya “Apakah ada orang samping
bapak?. “Nggak ada dek”, jawabnya. Begitu duduk dan bus sudah berjalan, penulis
mulai membuka obrolan. “Mau kemana pak?”, tanya penulis. “Ke Bandung dek,
daerah Cipada”. “Sendiri aja neh pak?” lanjut penulis. “Istri saya sudah nggak
ada (meninggal), sekarang saya duda” jawabnya.
Sejak ia melontarnya
statusnya sebagai duda, penulis tidak menanyakan tentang rumah tangga si bapak
tersebut. Apa yang ada dalam benak penulis hanya pertanyaan “Enak gak ya jadi
duda?”. Penulis kemudian membuat survei sederhana meminta peryataan perempuan
mengenai “Duda”. Penulis mengirim sms ke sepuluh nomer teman-teman perempuan. Isi
sms tersebut “Mau kah anda menikah dengan seorang Duda? Apa alasannya?”. Kesepuluh
teman penulis semua menjawab “tidak mau”.
Alasan yang disampaikan
teman perempuan penulis cukup beragam. Ada yang menyatakan “Gue pengen sama
yang masih bujang dong pan” (pan= panggilan penulis). Ada pula yang
menjawab/membalas “Ogah gue pan sama duda, mending sama tetangga gue tuh yang
ganteng”. Ada juga yang menjawab “Mau, asal dudanya Topan aja” (jawaban ini
penulis anggap candaan belaka). Namun ada pula yang menjawab “Klo bisa jangan
sama duda dong pan. Tapi jika itu yang terbaik jodoh dari Allah, ya mesti kita
terima”. Jawaban yang terakhir ini menurut penulis sebuah jawaban yang bijak.
Dalam benak penulis seketika
terbesit, “Ada apa dengan duda?”. Beberapa penelitian Psikologi menduga alasan perempuan tidak mau menikahi dan
dinikahi duda karena ditakutkan si duda memiliki masa silam yang “buruk”. Sehingga
ini menjadi hal yang menakutkan bagi seorang perempuan yang ingin menikahinya
atau dinikahinya. Misalnya, si duda cerai dengan mantan istrinya karena sering
terlibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), sehingga pria tersebut (duda)
akan mendapat penilaian tersendiri bagi wanita lain, tentunya dipandang
negatif.
Pada saat yang sama, masyarakat
umum sudah memberi “label” bahwa menikah dengan duda atau juga janda, ibarat
sudah “terpaksa” tidak ada pilihan lain. Jika ada seseorang yang menikahi duda
atau janda juga kerap menjadi bahan buah bibir rekan, kerabat, teman bahkan
keluarganya. Sampai saat ini penulis belum mendapat sumber anggapan awal bahwa
menikahi duda atau janda adalah hal “diluar normal” atau bisa dikatakan “agar
tidak terjadi”. Barangkali pembaca sering pula menyatakan ungkapan “kaget” jika
ada teman atau keluarga yang menikah dengan duda atau janda. “Oh, kok menikah
dengan orang yang sudah duda/janda sih”, mungkin saja anda akan dapat berkata
demikian.
Padahal jika ditelisik lebih jauh, duda bukan sebuah “momok” yang mesti ditakuti atau dihindari. Sebuah penelitian Psikologi menunjukkan bahwa seorang yang sudah menduda lebih dari lima tahun, biasanya ia mempunyai kematangan dalam menata hidup sendiri. Ia merasa tidak perlu seorang pendamping lagi. Memang, si duda pernah gagal dalam membina rumah tangga, namun demikian bisa jadi ketika ia mencoba menjalin sebuah hubungan kembali, ia akan lebih berhati-hati. Duda mempunyai pengalaman ber-rumah tangga, ia tahu seluk beluk dan pel bagai masalah yang dihadapi. Pengalaman itu yang barangkali dijadikannya pelajaran saat ia merajut rumah tangga kembali. Selain itu, umumnya seorang duda memiliki usia yang dewasa, sehingga tingkat kedewasaannya tersebut dapat diaplikasikan dalam rumah tangga yang baru. Pada titik inilah apa yang penulis sebut dengan “kelebihan” seorang duda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar