Rabu, 26 Desember 2012

Warna Natal 2012: Antara Toleransi dan Intoleransi



Oleh: Ali Topan DS
Setiap tanggal 25 Desember, umat Kristiani merayakan hari Natal. Natal adalah hari kelahiran Yesus Kristus yang dimaknai sebagai bentuk dari kebaikan dan kesederhanaan Tuhan. Pada hari tersebut, umat kristiani dengan penuh suka cita menyambut hari besar mereka. Berbagai bentuk perayaan mereka gelar, mulai dari menghias rumah dengan pohon cemara khas Natal; bartukar kado dan lainnya.

Di Indonesia terdapat bermacam tradisi menyambut dan merayakan Natal. Masing-masing daerah memiliki khas dalam perayaan, sebut saja Bali yang menghias gerajanya dengan ornamnent khas bali; Yogyakarta, dimana sang pendeta mengenakan blangkon sebagai simbol budaya Jawa Yogyakarta; serta Jakarta, yang dimeriahkan aksi coret muka dengan bedak putih saat perayaan Natal. Hal ini dimaksudkan sebagai penyucian dari dosa.

Berbeda-beda agama yang ada di Indonesia, serta beragamnya budaya. Tidak hanya Natal. Saat hari besar/raya setiap agama yang ada di Indonesia, kita melihat para pemeluknya dengan suka cita menyambutnya. Masing-masing perayaan hari besar agama tidak terpisah dari tradisi tempat tumbuhnya agama tersebut. Selalu ada nuansa tradisi yang kental terasa saat perayaan hari besar agama tertentu.

Ada hal yang menjadi catatan “merah” dan “putih” bagi penulis pada perayaan hari besar umat kristiani (Natal)tahun 2012 ini, toleransi dan intoleransi. Pertama, adalah toleransi. Penulis terperangah saat membaca kabar bahwa sebanyak 200 anggota Front Pembela Islam (FPI) di Makassar turut mengamankan perayaan Natal kali ini. Menurut Ketua Majelis Syuro FPI Sulsel, alasan pengamanan ini adalah sebagai bentuk toleransi antar umat beragama. Bagi penulis, ini hal yang patut diacungi jempol. Seperti yang sudah-sudah, FPI selalu diidentikkan dengan gerakan Islam secara seporadis saat memberantas kemungkaran, serta terkesan eksklusif dan anti non Muslim. Namun kali ini FPI sangat santun. Atas nama toleransi beragama, mereka mengamankan perayaan Natal.

Selain itu, di kawasan Jakarta terdapat pula halaman masjid yang sengaja dijadikan tempat parkir bagi jemaat yang melakukan perayaan Natal di Gereja. Menurut salah pengurus ta’mir masjidnya, hal ini sudah biasa dilakukan dalam rangka menjaga kerukunan beragama. Hal yang sama juga disampaikan salah seorang jemaat, ia menyampaikan bahwa saat perayaan Id Adha, pihak gereja memberi batuan hewan kurban.

Kedua adalah intoleransi. Kejadian ini terjadi saat petugas satpol pp dan beberapa orang yang mengenakan peci bulat putih menghadang umat kristiani yang hendak melakukan kebaktian Natal di Gereja Huria Kristen Batak Protestan Filadelfia Bekasi dan Gereja Kristen Indonesia Yasmin Bogor. Petugas satpol pp dan orang berpeci tersebut seakan tak punya hati. Belas kasih mereka entah dimana. Untuk memberikan kesempatan berbahagia bagi umat kristen melakukan kebaktian Natal saja mereka enggan. Lebih dari sekedar menghadang, mereka –satpol pp dan orang berpeci putih- juga mengusir jamaat gereja tersebut.

Apapun alasannya, mulai dari izin mendirikan bangunan atau sengketa tanah serta ketidakberpihakan yang dilakukan oleh pemerintah setempat. Sesungguhanya tidaklah layak jika sampai mengusir orang yang hendak melakukan ibadah kebaktian, terlebih saat hari besar mereka. Pengusiran yang dilakukan tidak mencerminkan prilaku manusia beragama. Tidakkah negosiasi itu dapat dilakukan sehingga umat kristiani tersebut dapat melaksanakan perayaan Natalnya. Karena pada saat bersamaan seluruh umat kristiani sedang bersuka-cita melaksanakan Natal.

Selain kejadian di atas, ada hal yang bertolok belakang dengan apa yang dilakukan oleh FPI Makasar. Yakni saat FPI Semarang melakukan aksi protes kepada Bupati Semarang yang mengizinkan umat kristiani melalukan misa di alun-alun kota. Menurut Sekjend FPI Semarang, perayaan misa Natal di alun-alun kota adalah rawan konflik karena letaknya yang berdekatan dengan masjid Agung. Ia menambahkan bahwa izin yang diberikan oleh Bupati adalah toleransi yang berlebihan.

Demikian catatan “merah-putih” penulis saat melihat suka cita perayaan Natal 2012. Tentu saja penulis berharap, kerukunan dan kesatuan warga Indonesia adalah di atas kepentingan siapapun. Apapun ragam kepercayaannya, tidak seharusnya ada intimidasi antara satu dengan yang lain. Jika umat Muslim menganggap bahwa umat kristiani adalah kafir, maka perlu ditinjau kekafirannya. Bahwa mereka adalah kafir dzimmi yang dilindungi negara dan berhak mendapat tempat dan perlindungan di negeri yang mayoritas umat Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar