Oleh: Ali Topan DS
Ya
Nabi salam alaika. Ya rasul salam, salam alaika...
Salah satu wejangan guru
ngaji saya (selanjutnya penulis) waktu kecil adalah, jika seorang Muslim selalu
bersalawat dan doa untuk Nabi Muhammad, maka doa itu akan mengalir padanya.
Sederhananya, doa seseorang pada Muhammad, adalah doa untuk dirinya. Sebagai
nabi pembawa risalah Islam, Muhammad telah mencatatnya namanya dalam sejarah
sebagai orang yang punya pengaruh besar terhadap sebuah perubahan.
Karena pengaruhnya yang
sedemikian besar, maka tidak mengherankan jika umat Islam sangat mengagungkan.
Selain karena perintah mengagungkannya. Sekalipun ia tak menganggap agung
dirinya. Dalam dirinya terdapat kesempurnaan sifat dan sikap. Ia tauladan yang
wajib diteladani oleh seluruh umat manusia di jagat raya. Pengakuan atas
kesempurnaannya tidak hanya dari kalangan Muslim, tetapi juga umat Nasrani dan
Yahudi. Meski banyak pula yang mencercanya.
Setiap tanggal 12 Rabi’u
al-Awwal, umat Muslim sedunia memperingati hari lahirnya. Peringatan tersebut
bukan tanpa alasan. Tentu saja sebagai representasi dari rasa cinta umat Islam
terhadapnya. Lantunan sahdu salawat tersanjung untuk Muhammad Sang Kekasih
Tuhan. Dengan memejam mata, umat Islam yang larut dalam peringatan tersebut,
seakan merasa dekat dengan Muhammad. Nabi teragung tersebut hadir dalam denyut
nadi.
Momentum peringatan hari lahir Nabi Muhammad, atau yang sering disebut Mawlid Nabi adalah titik tolak untuk membangkitkan semangat umat Muslim agar berpegang pada ajaran yang ia bawa; sebagai wujud cinta umat pada Nabinya; serta berharap agar kelak dipertemukan dengannya. Dalam peringatan tersebut, beragam sajian tersuguhkan. Sajian rohani dan jasmani. Lantas, banyak orang berlomba menggelar hajatan peringatan tersebut.
Bagi umat Islam Indonesia,
peringatan Mawlid Nabi atau yang
sering dikata muludan menjadi bumbu
ekspresi keagamaan tersendiri, terlebih di pedesaan. Muludan seakan menjadi ritual tersendiri dan tiap daerah punya khas
dalam melakukannya. Sebutnya di salah satu daerah di Yogyakarta, saat
peringatan muludan, setiap warga
lingkungan daerah tersebut membuat berkat
(nasi tumpeng) yang kemudian dibawa ke masjid atau musallah dan kemudian saling
bertukar satu sama lainnya. Selain itu, ada pula yang menggelar pengajian
“super akbar”, serta bentuk peringatan lainnya. Perlu dicatat, ditengah suka
cita peringatan muludan, ada pula
sebagian golongan yang enggan memperingati hari lahir Nabi tersebut dengan
berbagai alasan –yang penulis tak perlu menyebutkan disini.
Jelas sekali bahwa dengan gelaran peringatan muludan, umat Islam merindukan Muhammad,
Nabi kekasih Tuhan, Nabi yang kita harapkan pertolongannya kelak di hari akhir.
Tentu saja, penulis berharap agar peringatan muludan yang semarak menggelora di berbagai pelosok negeri ini
memberi dampak psikis bagi umat Islam Indonesia. Dampak psikis yang penulis
maksud adalah meneladani sifat dan sikapnya. Seperti saat membaca al-Qur’an,
dampak psikisnya adalah mengingat kebesaran Tuhan. Sebagai manusia yang selalu
dekat dengan dosa, meneladani sifat Nabi memang bukan perkara mudah. Akan
tetapi bukan alasan bagi s untuk tidak berlaku jujur, dapat dipercaya, tabligh
dan cerdas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar