Selasa, 18 Desember 2012

Masa Depan PSK, Kemana Negara dan Agama?



Oleh Ali Topan DS

Beberapa beberapa tahun yang lalu, penulis pernah mengikuti diskusi seputar masalah HAM. Kebetulan yang bertindak sebagai narasumber Prof Musdah Mulia. Salah satu yang penulis ingat dari paparannya adalah ketika ia menawarkan cara bagaimana seharusnya kita memperlakukan anak dari hasil zina (anak diluar nikah) dan berinteraksi dengan pekerja seks komersil. Ia (musdah mulia), hanya mengingatkan jika mereka (anak hasil zina dan PSK) adalah manusia yang berhak mendapat perlakuan manusiawi.

Pada tanggal 15-17 Desember, Perhimpunan Pekerja Seks Yogyakarta (P3Y) menggelar acara “Live in Lokalisasi”. Acara tersebut di ikuti beberapa aktivis mahasiswa khususnya di wilayah Yogyakarta. Mereka ditempatkan dan menginap di lokasisasi selama beberapa waktu yang ditentukan. Kegiatan ini salah satunya bertujuan mengurangi dan menghindari kekerasan yang kerap terjadi pada PSK.

Dengan melakukan observasi di lokalisasi, peserta/relawan yang menginap di tempat lokalisasi dapat mencari data secara langsung dengan mewawancarai para PSK dan pelanggannya. Arini, salah seorang mahasiswi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta membeberkan kisah pengalamannya sebagai peserta kegiatan ini. Menurutnya, lokalisasi yang terdapat di Yogyakarta dan sekitarnya tidak memenuhi standar kesehatan sebagai tempat ideal berhubungan seks. Hal ini disebabkan kumuhnya tempat tersebut. Lebih lanjut ia juga memaparkan alasan yang menjadi PSK untuk berprofesi sebagai PSK. Rata-rata para PSK memilih jalan pekerjaan ini karena sulit mencari pekerjaan. Selain itu, status PSK yang terlanjur meraka sandang membuatnya sulit untuk memulai hidup baru di luar lingkungan lokalisasi. Perihal ongkos PSK per sekali berhubungan dengan pelanggan menurut Arini juga sangat kecil, yakni Rp. 45.000-65.000.

Sungguh cukup memprihatinkan nasib PSK. Mereka harus hidup di lingkungan kotor dan tidak menyehatkan. Selain itu beban psikis pun mereka tanggung sebagai konsekuensi logis profesinya. Tentu saja hal yang paling miris adalah nominal rupiah rendah dari pekerjaan mereka. Dihadapan umum mereka harus menerima kenyataan pahit yang menjadi garis hidupnya, yakni PSK. Belum lagi anak-anak mereka yang entah siapa bapak/ayahnya. Lantas, dimana posisi negara yang harusnya menjamin kehidupan layak rakyatnya dan agama yang menjadi tuntunan hidupnya.

Semua PSK –sebagaimana dikisahkan di atas- adalah warga Republik Indonesia yang itu dinyatakan dengan kepemilikan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Mereka juga bukan orang yang tidak beragama, karena saat perayaan hari besar agama, mereka turut merayakan –tentunya dengan kepercayaannya masing-masing.

Meninjau fakta di atas, penulis ingin melihat dalam porsi obyektif. Pertama, harus ada pembinaan secara berkelanjutan yang dilakukan pemerintah, agar Sumber Daya Manusia (SDM) para PSK dapat ditepatkan sesuai pada porsinya. Sehingga pekerjaan melayani laki hidung belang tersebut dapat dihindari. Kedua, harus ada upaya perlakuan baik yang dilakukan masyarakat umum secara menyeluruh agar PSK dapat keluar dari tekanan psikis. Hal itu dapat dilakukan dengan memberikan motivasi untuk meninggalkan pekerjaan yang berbahaya itu. Selain itu, tidak perlu ada cercaan dan hinaan yang ditujukan pada PSK. Dalam ungkapan Jawa yang menggambarkan pandangan hidup ada istilah “Giri lusi janna kena angina” yang berarti “Jangan menghina orang lain”.

Tentu saja, apapun alasan bagi seorang PSK, bahwa hari ini dan esok, PSK adalah pekerjaan yang tidak sesuai dengan norma masyarakat dan agama. Dalam kitab suci agama Islam, al-Qur’an, PSK tergolong dengan perbuatan zina. Pelakunya akan mendapat hukuman rajam, di cambuk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar