Kamis, 24 Mei 2018

Masa Depan “Buram” Partai Idaman


Oleh: Ali Thaufan Dwi Saputra (Peneliti Parameter Politik Indonesia)

Partai Islam Damai dan Aman (Idaman) telah dinyatakan tidak lolos oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mengikuti Pemilihan Umum 2019. Tidak berselang lama setelah putusan tersebut, Ketua Umum Partai Idaman “Raja Dangdut” Rhoma Irama menyatakan bergabung dengan Partai Amanat Nasional (PAN). Bergabunganya Partai Idaman ke PAN dideklarasikan di Kuningan Jakarta pada Sabtu 12 Mei 2018.

Salah satu ciri negara demokrasi adalah memberi keleluasaan warga negara berserikat membentuk partai politik. Inilah yang terjadi di Indonesia sesaat pascakemerdekaan. Kemudian pada era Presiden Suharto, parpol dibatasi. Pada tahun 1973, partai-partai berasas Islam difusikan menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), partai nasionalis di fusikan dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan kemudian dibentuk Golongan Karya sebagai wadah kendaraan politik pemerintah.

Setelah era Presiden Suharto usai pada 1998, Indonesia memasuki babak baru berdemokrasi. Kebebasan berpolitik diberlakukan kembali. Sontak, saat itu segera lahir partai-partai politik baru dan partai-partai yang dulu telah ada sebelum fusi muncul kembali. Pada Pemilu 1999, diikuti sebanyak 48 parpol; Pemilu 2004 sebanyak 24 parpol; Pemilu 2009 sebanyak 44 parpol, Pemilu 2014 sebanyak 12 parpol tingkat nasional ditambah 3 partai lokal Aceh; dan pada Pemilu 2019 nanti diikuti sebanyak 16 parpol tingkat nasional dan 4 partai lokal Aceh.

Reformasi yang melahirkan banyak parpol ternyata diwarnai ketidakpercayaan publik pada parpol-parpol. Dalam berbagai survei, parpol dianggap sebagai lembaga politik yang korup. Meski demikian, partisipasi masyarakat masih terbilang tinggi dalam beberapa Pemilu pascareformasi. Pada Pemilu 1999 tingkat partisipasi pemilih sebanyak 92,74 persen; Pemilu 2004 sebanyak 84,07 persen; Pemilu 2009 sebanyak 77,99 persen; dan Pemilu 2014 sebanyak 75,11 persen (Litbang Kompas, 2016:20).

Di tengah ketidakpercayaan masyarakat pada parpol, ternyata tidak menyurutkan minat beberapa elit politik untuk membentuk parpol. Jumlah parpol peserta Pemilu mengalami pasang surut, naik dan turun. Menjelang Pemilu 2019, muncul 4 parpol baru yang lolos verifikasi KPU. Sebelumnya, KPU telah menyatakan 13 parpol tidak lolos verifikasi antara lain Partai Idaman, Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Ketiga parpol tersebut mengajukan banding, dan kemudian dinyatakan lolos menjadi peserta Pemilu 2019 kecuali Partai Idaman. Keputusan ini menjadi “cambuk menyakitkan” bagi Raja Dangdut Rhoma Irama yang memimpin Partai Idaman.

Keputusan ini menandai bahwa Partai Idaman tidak dapat mengikuti Pemilu 2019. Akan tetapi, nafsu berpolitik Rhoma Irama tidak surut. Ia kemudian membawa gerbong Partai Idaman untuk bergabung dengan PAN. Untuk menghadapi Pemilu 2019, kader-kader Partai Idaman difasilitasi untuk pencalegan melalui PAN dan dibuatkan kartu keanggotaan PAN. Keputusan Partai Idaman bergabung dengan PAN dalam pencalegan secara otomatis membuat gugur status keanggotaan kader-kader Partai Idaman. Hal ini merujuk pada Undang-undang No. 2 tahun 2011 tentang Partai Politik pasal 16 huruf c yang menyatakan “Anggota Partai Politik diberhentikan keanggotaannya dari Partai Politik apabila menjadi anggota Partai Politik lain”.

Kiprah Rhoma Irama di politik Indonesia bukan kali ini saja (bersama Partai Idaman). Pada Pemilu 2014 Rhoma bergabung dengan PKB, dan menawarkan diri menjadi capres. Ambisi Rhoma terjun ke politik dan ingin menjadi capres sebetulnya banyak disayangkan para pecinta lagu Bung Haji (sebutan Rhoma). Pasalnya, Rhoma dinilai lebih pas menjadi Raja Dangdut dari pada Raja Indonesia (Presiden RI).

Kepiawaian berpolitik Rhoma tidak secakap dalam bermain dangdut. Jalan politik yang ditempuh lebih banyak mengundang kontroversi. Yang terakhir adalah membawa Partai Idaman bergabung di PAN. Dengan beralasan bahwa Partai Idaman dan PAN memiliki kesamaan platform adalah hal konyol. Jika memang memiliki kesamaan, seharusnya Rhoma tak perlu “repot-repot” mendirikan Partai Idaman karena Rhoma bisa bergabung dengan PAN sejak dulu. Alasan kesamaan platform dalam menentukan pilihan politik terkadang di luar kendali logika.

Dengan bergabungnya kader-kader Partai Idaman ke PAN, otomatis menggugurkan status keanggotaan mereka sebagai kader Partai Idaman. Hal ini tentu membuat buram masa depan Partai Idaman, sebuah parpol yang baru dibentuk pada 14 Oktober 2015 itu. Sebelum berkompetisi di Pemilu, Partai Idaman telah gagal melewati ujian syarat dari KPU dan kini justru bergabung dengan partai lain yang seharusnya menjadi kompetitor. Sungguh Terlalu.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar