Kamis, 24 Mei 2018

Konflik Internal PPP dan Lahirnya “PPP Khittah”


Oleh: Ali Thaufan Dwi Saputra (Peneliti Parameter Politik Indonesia)

Sebagai partai politik Islam “tertua”, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) telah merasakan manis-pahit politik Indonesia. Berbagai tekanan dan intervensi oleh rezim Orde Baru hingga konflik internal, adalah narasi yang tak terpisahkan bagi PPP. Campur tangan Orba saat berkuasa, membuat PPP terkungkung dan tak mampu bergerak progresif (Haris, 1991:8). Setelah berakhir Orba, PPP dihadapkan pada munculnya banyak parpol Islam, dan konflik internal yang menggerogoti tubuh PPP. Kini, setelah dua dekade pascareformasi, PPP tetap berkutat dengan konflik internal yang seolah tak berkesudahan.

Pada dekade pertama reformasi, PPP terpecah, sebagian kelompok tetap bernaung di PPP dan sebagian lain bergabung di Partai Persatuan (PP). PP didirikan pada 3 Januari 1999 dan diketuai mantan Ketua Umum PPP, Jaelani Naro. Berdirinya PP tentu memecah suara PPP di Pemilu 1999. PP di bawah Jaelani Naro tak mampu bersaing dengan PPP yang saat itu diketuai Hamzah Haz. Pada Pemilu 1999, PP mendapat 1 kursi di parlemen. Selanjutnya PP tidak pernah muncul lagi dalam kontes Pemilu (Litbang Kompas, 2016:417).

Selanjutnya, PPP juga dihadapkan pada konflik hebat yang membuatnya pecah dan melahirkan parpol baru, yaitu Partai Bintang Reformasi (PBR) pada 2003. Saat itu, ketua umum Hamzah Haz ingin menunda pelaksanaan Muktamar V. Keinginannya itu ditolak oleh beberapa elit PPP yang dimotori Zainuddin MZ. Mereka menghimpun kekuatan untuk mendesak Hamzah agar melaksanakan Muktamar sesuai aturan. Akhirnya dari konflik ini adalah munculnya PPP Reformasi yang pada perkembangannya berubah menjadi PBR. Munculnya PBR juga memecah suara PPP dalam Pemilu 2004. Saat itu, PPP sendiri memperoleh 58 kursi parlemen. Sedangkan PBR mendapat 14 kursi (Effendy, 2006:116).

Pada dekade kedua reformasi, konflik PPP seperti menjadi bagian tak terpisahkan dari jalannya roda partai berlambang Ka’bah tersebut. Ka’bah yang menjadi simbol persatuan umum Islam tak mampu menjadi semangat kader-kader PPP untuk tertap bersatu di “Rumah Besar Umat Islam” itu. Konflik muncul dikarenakan perbedaan pendapat dalam dukung-mendukung pasangan calon presiden.

Di era kepemimpinan Suryadharma Ali, ia membawa PPP bergabung dalam koalisi mendukung Prabowo Subianto di Pilpres 2014. Akan tetapi, keputusan Surya tidak diterima pengurus lain, karena pengurus lain memberikan dukungan kepada Joko Widodo. Buntut konflik ini terus berlanjut hingga PPP mengalami fase terburuk, yaitu dualisme kepengurusan. Konflik dualisme ini membuat konsolidasi PPP terhambat dalam menghadapi Pilkada serentak 2015, 2017 hingga 2018 karena ada beberapa pengurus wilayah (DPW) yang tidak sependapat dengan keputusan DPP PPP dalam penentuan koalisi di Pilkada.

Konflik internal PPP, juga mengakibatkan adanya beberapa kader yang berpindah partai. Mereka yang berpindah dikarenakan kecewa dengan konflik yang berkepanjangan. Perilaku elit yang terkesan memburu kekuasaan (ketua umum) membuat kader hilang kepercayaan. Semangat PPP menjadi wadah saluran aspirasi umat Islam tampaknya sulit terwujud dalam kondisi internal yang terus berkonflik.

Dalam kasus konflik antara Romahurmuzy dan Djan Faridz, kader senior, Dimyati Natakusumah yang juga Sekjend PPP kubu Djan memutuskan keluar PPP dan bergabung ke PKS. Bahkan Dimyati yang masih menjabat sebagai Anggota DPR RI Fraksi PPP tersebut sudah dikenalkan di lingkungan PKS sebagai bakal caleg dari PKS. Dimyati mengakui bahwa ia bergabung dengan PKS karena memiliki visi dan misi seperti PPP di era Orba. Ia juga tidak menutupi bahwa alasan ia keluar dari PPP karena sudah lelah menghadapi konflik internal selama empat tahun.

Salah satu tokoh PPP di Aceh, Muhammad Yus juga memutuskan hengkang dari PPP. Alasan utama keputusannya adalah karena konflik internal yang tak kunjung selesai. Yus yang telah bergabung dengan PPP sejak tahun 1990 akhirnya bergabung ke Partai Bulan Bintang (PBB). Tokoh PPP lain yang keluar adalah Ahmad Yani. Calon kandidat Ketua Umum PPP pada Muktamar VII (2011) ini juga memutuskan bergabung ke PBB dan mengklaim mampu membawa dua juta suara.

Kader PPP yang kecewa dengan dualisme membentuk kubu baru bernama “PPP Khittah” yang dideklarasikan pada 4 Mei 2018 di Yogyakarta dan diketuai oleh Tamam Achda. PPP Khittah merupakan poros baru yang berupaya mengembalikan PPP pada shirat al-mustaqim (jalan lurus). PPP Khittah juga menegaskan bahwa mereka tetap menjadi bagian dari PPP hasil fusi parpol Islam sebelumnya, Nahdatul Ulama, Parmusi, Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII) dan Partai Persatuan Tarbiyah Islamiyah Indonesia (Perti).

PPP Khittah menginginkan islah antara kubu Romy dan Djan Faridz dan menuntut keduanya bertaubat. Kubu PPP Khittah juga menyampaikan kekecewaan mereka atas kebijakan DPP PPP seperti mendukung Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Pigub DKI Jakarta 2017. Bagi PPP Khittah, mendukung “penista agama” hukumnya adalah “haram”. Selain itu, PPP Khittah juga kecewa terhadap keputusan DPP PPP yang mendukung disahkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Organisasi Masyarakat (Ormas) menjadi undang-undang. Perppu ini dinilai mencederai kebebasan umat Islam dalam berorganisasi.

Setelah mendeklarasikan diri, PPP Khittah membuka kemungkinan untuk bergabung dengan Sekretariat Bersama (Sekber) Gerindra, PKS dan PAN. Unsur kesamaan pandangan politik memang menjadi alasan bagi PPP Khittah untuk bergabung dengan Gerindra dan koalisinya. PPP Khittah juga menegaskan bahwa putusan ini bukan karena pragmatisme politik.

Munculnya gerakan PPP Khittah ini, ditanggapi dingin oleh Ketua Umum PPP, Romy. Menurutnya, keputusan membentuk PPP Khittah adalah bentuk dukungan terhadap Joko Widodo untuk kembali mencalonkan diri di Pilpres 2019. Romy menganalogikan PPP Khittah sebagai wajah PPP berdasarkan unsur fusi, dan semua tokoh unsur fusi telah memberikan dukungan kepada Joko Widodo.

Fenomena kader “loncat partai” menjelang Pemilu 2019 menunjukkan bahwa ideologi parpol tak mampu menjadi pemersatu jika terjadi konflik internal parpol. Bergabung atau keluarnya kader parpol tertentu sangat bergantung pada patron yang diikuti di dalam sebuah parpol. Hal ini semakin menunjukkan bahwa oligarki parpol masih sangat dominan di Indonesia. Seseorang bisa bergabung ke parpol tertentu bukan atas dasar ideologi parpol, melainkan atas kesamaan visi misi figur tertentu.

Penyelesaian konflik internal yang dialami kader-kader dengan cara “loncat partai” seperti yang terjadi di PPP bukan tradisi yang baik dalam menegakkan demokratisasi parpol. Menurut Wilhelm Hofmiester-Karsten Grabow (2011:51), kondisi ini sangat membahayakan masa depan parpol karena memungkinkan setiap kader yang tidak puas akan berpindah parpol. Oleh sebab itu, dalam menyelesaikan persoalan tersebut, dapat dilakukan dengan menggunakan dua pendekatan. Pertama, melalui forum formal seperti rapat pengurus dan melalui mekanisme Mahkamah Partai. Kedua, penyelesaikan dapat dilakukan dengan pendekatan non formal seperti mediasi dan kompromi.

Munculnya PPP Khittah sekalipun bukan menjelma menjadi parpol baru, patut diwaspadai PPP. Demikian halnya dengan klaim dan pernyataan terbuka yang dikeluarkan kader PPP yang loncat partai, bahwa ia akan membawa massa PPP, juga menjadi warning bagi PPP. Gerakan ini tentu menganggu PPP dalam upaya konsolidasi pemenangan Pemilu. Jika tidak diantisipasi, suara PPP akan tergerus dan kemungkinan terburuk tidak lolos parliamentary threshold (ambang batas parlemen).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar