Oleh: Ali Thaufan Dwi Saputra (Peneliti Parameter
Politik Indonesia)
Sebagai partai politik Islam “tertua”, Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) telah merasakan manis-pahit politik Indonesia.
Berbagai tekanan dan intervensi oleh rezim Orde Baru hingga konflik internal,
adalah narasi yang tak terpisahkan bagi PPP. Campur tangan Orba saat berkuasa,
membuat PPP terkungkung dan tak mampu bergerak progresif (Haris, 1991:8). Setelah
berakhir Orba, PPP dihadapkan pada munculnya banyak parpol Islam, dan konflik
internal yang menggerogoti tubuh PPP. Kini, setelah dua dekade pascareformasi,
PPP tetap berkutat dengan konflik internal yang seolah tak berkesudahan.
Pada dekade pertama reformasi, PPP terpecah, sebagian
kelompok tetap bernaung di PPP dan sebagian lain bergabung di Partai Persatuan
(PP). PP didirikan pada 3 Januari 1999 dan diketuai mantan Ketua Umum PPP,
Jaelani Naro. Berdirinya PP tentu memecah suara PPP di Pemilu 1999. PP di bawah
Jaelani Naro tak mampu bersaing dengan PPP yang saat itu diketuai Hamzah Haz.
Pada Pemilu 1999, PP mendapat 1 kursi di parlemen. Selanjutnya PP tidak pernah
muncul lagi dalam kontes Pemilu (Litbang Kompas, 2016:417).
Selanjutnya, PPP juga dihadapkan pada konflik hebat
yang membuatnya pecah dan melahirkan parpol baru, yaitu Partai Bintang
Reformasi (PBR) pada 2003. Saat itu, ketua umum Hamzah Haz ingin menunda
pelaksanaan Muktamar V. Keinginannya itu ditolak oleh beberapa elit PPP yang
dimotori Zainuddin MZ. Mereka menghimpun kekuatan untuk mendesak Hamzah agar melaksanakan
Muktamar sesuai aturan. Akhirnya dari konflik ini adalah munculnya PPP
Reformasi yang pada perkembangannya berubah menjadi PBR. Munculnya PBR juga
memecah suara PPP dalam Pemilu 2004. Saat itu, PPP sendiri memperoleh 58 kursi
parlemen. Sedangkan PBR mendapat 14 kursi (Effendy, 2006:116).
Pada dekade kedua reformasi, konflik PPP seperti
menjadi bagian tak terpisahkan dari jalannya roda partai berlambang Ka’bah tersebut. Ka’bah yang menjadi simbol persatuan umum Islam tak mampu menjadi
semangat kader-kader PPP untuk tertap bersatu di “Rumah Besar Umat Islam” itu.
Konflik muncul dikarenakan perbedaan pendapat dalam dukung-mendukung pasangan
calon presiden.
Di era kepemimpinan Suryadharma Ali, ia membawa PPP
bergabung dalam koalisi mendukung Prabowo Subianto di Pilpres 2014. Akan
tetapi, keputusan Surya tidak diterima pengurus lain, karena pengurus lain
memberikan dukungan kepada Joko Widodo. Buntut konflik ini terus berlanjut
hingga PPP mengalami fase terburuk, yaitu dualisme kepengurusan. Konflik
dualisme ini membuat konsolidasi PPP terhambat dalam menghadapi Pilkada
serentak 2015, 2017 hingga 2018 karena ada beberapa pengurus wilayah (DPW) yang
tidak sependapat dengan keputusan DPP PPP dalam penentuan koalisi di Pilkada.
Konflik internal PPP, juga mengakibatkan adanya
beberapa kader yang berpindah partai. Mereka yang berpindah dikarenakan kecewa dengan konflik yang berkepanjangan. Perilaku elit yang terkesan
memburu kekuasaan (ketua umum) membuat kader hilang kepercayaan. Semangat PPP
menjadi wadah saluran aspirasi umat Islam tampaknya sulit terwujud dalam
kondisi internal yang terus berkonflik.
Dalam kasus konflik antara Romahurmuzy dan Djan
Faridz, kader senior, Dimyati Natakusumah yang juga Sekjend PPP
kubu Djan memutuskan keluar PPP dan bergabung ke PKS. Bahkan Dimyati yang masih menjabat
sebagai Anggota DPR RI Fraksi PPP tersebut sudah dikenalkan di lingkungan PKS
sebagai bakal caleg dari PKS. Dimyati mengakui bahwa ia bergabung dengan PKS
karena memiliki visi dan misi seperti PPP di era Orba. Ia juga tidak menutupi
bahwa alasan ia keluar dari PPP karena sudah lelah menghadapi konflik internal
selama empat tahun.
Salah satu tokoh PPP di Aceh, Muhammad Yus juga
memutuskan hengkang dari PPP. Alasan utama keputusannya adalah karena konflik
internal yang tak kunjung selesai. Yus yang telah bergabung dengan PPP sejak
tahun 1990 akhirnya bergabung ke Partai Bulan Bintang (PBB). Tokoh PPP lain
yang keluar adalah Ahmad Yani. Calon kandidat Ketua Umum PPP pada Muktamar VII
(2011) ini juga memutuskan bergabung ke PBB dan mengklaim mampu membawa dua
juta suara.
Kader PPP yang kecewa dengan dualisme membentuk kubu baru
bernama “PPP Khittah” yang dideklarasikan pada 4 Mei 2018 di Yogyakarta dan
diketuai oleh Tamam Achda. PPP Khittah merupakan poros baru yang berupaya
mengembalikan PPP pada shirat al-mustaqim
(jalan lurus). PPP Khittah juga menegaskan bahwa mereka tetap menjadi bagian
dari PPP hasil fusi parpol Islam sebelumnya, Nahdatul Ulama, Parmusi, Partai
Sarikat Islam Indonesia (PSII) dan Partai
Persatuan Tarbiyah Islamiyah Indonesia (Perti).
PPP Khittah menginginkan islah antara kubu Romy dan Djan Faridz dan menuntut keduanya
bertaubat. Kubu PPP Khittah juga menyampaikan kekecewaan mereka atas kebijakan
DPP PPP seperti mendukung Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Pigub DKI Jakarta
2017. Bagi PPP Khittah, mendukung “penista agama” hukumnya adalah “haram”.
Selain itu, PPP Khittah juga kecewa terhadap keputusan DPP PPP yang mendukung
disahkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Organisasi
Masyarakat (Ormas) menjadi undang-undang. Perppu ini dinilai mencederai
kebebasan umat Islam dalam berorganisasi.
Setelah mendeklarasikan diri, PPP Khittah membuka
kemungkinan untuk bergabung dengan Sekretariat Bersama (Sekber) Gerindra, PKS
dan PAN. Unsur kesamaan pandangan politik memang menjadi alasan bagi PPP
Khittah untuk bergabung dengan Gerindra dan koalisinya. PPP Khittah juga menegaskan
bahwa putusan ini bukan karena pragmatisme politik.
Munculnya gerakan PPP Khittah ini, ditanggapi dingin
oleh Ketua Umum PPP, Romy. Menurutnya, keputusan membentuk PPP Khittah adalah
bentuk dukungan terhadap Joko Widodo untuk kembali mencalonkan diri di Pilpres
2019. Romy menganalogikan PPP Khittah sebagai wajah PPP berdasarkan unsur fusi,
dan semua tokoh unsur fusi telah memberikan dukungan kepada Joko Widodo.
Fenomena kader “loncat partai” menjelang Pemilu 2019
menunjukkan bahwa ideologi parpol tak mampu menjadi pemersatu jika terjadi
konflik internal parpol. Bergabung atau keluarnya kader parpol tertentu sangat
bergantung pada patron yang diikuti di dalam sebuah parpol. Hal ini semakin
menunjukkan bahwa oligarki parpol masih sangat dominan di Indonesia. Seseorang
bisa bergabung ke parpol tertentu bukan atas dasar ideologi parpol, melainkan
atas kesamaan visi misi figur tertentu.
Penyelesaian konflik internal yang dialami kader-kader
dengan cara “loncat partai” seperti yang terjadi di PPP bukan tradisi yang baik
dalam menegakkan demokratisasi parpol. Menurut Wilhelm Hofmiester-Karsten
Grabow (2011:51), kondisi ini sangat membahayakan masa depan parpol karena
memungkinkan setiap kader yang tidak puas akan berpindah parpol. Oleh sebab
itu, dalam menyelesaikan persoalan tersebut, dapat dilakukan dengan menggunakan
dua pendekatan. Pertama, melalui forum formal seperti rapat pengurus dan
melalui mekanisme Mahkamah Partai. Kedua, penyelesaikan dapat dilakukan dengan
pendekatan non formal seperti mediasi dan kompromi.
Munculnya PPP Khittah sekalipun bukan menjelma menjadi
parpol baru, patut diwaspadai PPP. Demikian halnya dengan klaim dan pernyataan
terbuka yang dikeluarkan kader PPP yang loncat partai, bahwa ia akan membawa
massa PPP, juga menjadi warning bagi
PPP. Gerakan ini tentu menganggu PPP dalam upaya konsolidasi pemenangan Pemilu.
Jika tidak diantisipasi, suara PPP akan tergerus dan kemungkinan terburuk tidak
lolos parliamentary threshold (ambang
batas parlemen).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar