Oleh: Ali Thaufan Dwi Saputra (Peneliti Parameter Politik Indonesia)
Muhaimin
Iskandar (akrab
dipanggil Cak Imin), Ketua Umum
Dewan Pempinan Pusat Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) gencar melakukan
sosialisasi untuk mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden. Namun, pada
saat yang sama, muncul gerakan yang dapat menurunkan elektabilitasnya, yaitu Pergerakan Pemuda Kemahasiswaan Bersatu (Pergerakan-PKB).
Gerakan ini menggunakan nama singkatan yang mirip dengan “PKB”. Memunculkan
kesan bahwa PKB tidak solid.
Menjelang Pemilihan Presiden 2019, beberapa ketua umum partai politik
menjajaki kemungkinan koalisi pencapresan. Mereka juga memasang spanduk capres
dan cawapres dalam rangka sosialisasi meski belum memasuki masa kampanye. Pada
partai berbasis pemilih muslim, muncul beberapa nama seperti Cak Imin (PKB),
Zulkifli Hasan (PAN), Romahurmuzy (PPP). Diantara ketiga nama tersebut, Cak
Imin relatif unggul dalam berbagai survei. Keunggulan Cak Imin bisa dipastikan
karena PKB memiliki basis pemilih dari masyarakat Nahdliyin (sebutan bagi masyarakat Nahdatul Ulama, sebuah
organisasi massa Islam terbesar di Indonesia). Cak Imin membuat gagasan
Sudurisme, sebuah gagasan untuk menggabungkan ide-ide Sukarno yang nasionalis
dan Gus Dur yang memiliki konsep “Pribumi Islam” (Lihat dalam Detik X
Investigasi “Sudurisme dan Konflik Cak Imin Vs Gus Dur”).
Meski mendapat dukungan dari sebagian masyarakat NU, pada saat yang
sama, Cak Imin juga mendapat penolakan dan tidak diterima oleh sebagian
masyarakat NU, terutama dari NU Gusdurian (kelompok masyarakat NU pecinta dan
pengagum Gus Dur). Hal ini disebabkan konflik antara Gus Dur dengan Cak Imin
pada 2007. Puncak dari konflik ini, Gus Dur akhirnya tersingkir dari PKB (Firman
Noor:2016).
Luka hati pecinta Gus Dur kepada Cak Imin tak mereda. Mereka menolak
pencalonan Cak Imin untuk menjadi cawapres. Sejak konflik itu, berbagai upaya
dilakukan kubu Cak Imin untuk bisa kembali “merangkul” keluarga Gus Dur dan
para pengagumnya. Salah satu pengurus PKB, Daniel Johan mengungkapkan bahwa
konflik Gus Dur dan Cak Imin pada 2007 adalah penggemblengan Gus Dur kepada
anak-anak muda di PKB saat itu. Menurut Daniel, Gus Dur tidak pernah marah
kepada Cak Imin.
Pernyataan Daniel tersebut bertolak belakang dengan apa yang dinyatakan
pihak keluarga Gus Dur. Bahkan dalam beberapa kesempatan, Allisa Wahid, putri
Gus Dur menceritakan kepada publik bagaimana sebetulnya perasaan Gus Dur saat
dikudeta Cak Imin dari PKB: Gus Dur sakit hati kepada mereka yang telah dibawa
masuk ke politik (PKB). “Sebagai orang yang blak-blakan, (saya) mengingat
bagaimana Gus Dur bersikap bahkan kepada ‘musuh-musuh’ politiknya, respons
Bapak saat itu amat sangat jelas: tidak suka bertemu dengan mereka.” demikian
kata Allisa. Konflik Gus Dur dengan Cak Imin bisa menyulitkan langkah Cak Imin
untuk menuju kursi capres atau cawapres.
Selain konflik dengan Gusdurian, langkah Cak Imin terganjang kasus “Kardus Durian” kasus yang sering dikaitkan
dengan Cak Imin. Istilah Kardus Durian merujuk pada pada peristiwa ditemukannya
kardus durian berisi uang 1,5 miliar di Kantor Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi (Kemenakertrans) pada 25 Agustus 2011. Uang ini diduga sebagai
gratifikasi PT. Alam Jaya karena terpilih sebagai kontraktor sebuah proyek.
Saat itu, Cak Imin sedang menjabat sebagai menteri. Peristiwa inilah yang
membuat Cak Imin terseret atau
“diseret-seret” dalam
kasus tersebut.
Dua pokok
masalah di atas menjadi batu sandungan bagi Cak Imin menuju jalan cawapres
2019. Cak Imin harus melakukan konsolidasi kepada keluarga Gus Dur dan
Gusdurian karena betapapun, mereka adalah pemilih potensial. Isu keterlibatan
Cak Imin dalam kasus Kardus Durian juga harus ditanggapi serius oleh Cak Imin.
Pasalnya, seseorang yang dikait-kaitkan dengan kasus korupsi, sekalipun tak
terbukti, cukup membuat jatuh moralitas, dalam konteks Cak Imin,
elektabilitasnya bisa menurun.